CHAPTER SEVEN

1K 174 26
                                    

Titan menatap nanar pecahan kaca yang berada di dekat kakinya. Bukan hanya serpihan beling yang berasal dari gelas, tetapi ada juga genangan air yang ikut tumpah bersamaan dengan jatuhnya gelas yang terbuat dari kaca tersebut.

Sial, semenjak keluar dari penthouse milik pria brengsek itu, hidup Titan seketika menjadi berantakan. Bahkan untuk sekedar meminum air dari gelas tanpa menimbulkan suatu masalah saja Titan tidak bisa.

"Titan?"

Kepala Titan langsung terangkat begitu mendengar namanya di panggil. Di ujung dapur, terdapat Lazarus dengan matanya sayunya sedang menatap Titan dengan bingung. Mata pria itu kemudian beralih ke dekat kaki Titan, dimana kebodohan Titan berada.

"Shit," gumam Lazarus. Dengan langkah besarnya, Lazarus berjalan menghampiri Titan yang terlihat sedikit linglung. "Are you okay?" tanya pria itu ketika sudah berada di hadapan Titan.

Titan menatap pecahan gelas dan Lazarus bergantian sebelum akhirnya dengan sedikit terbata berkata, "I, um..., yeah..., I mean..., um..., I'm okay."

No she's not.

Titan sedang tidak baik-baik saja. Bagaimana bisa dia baik-baik saja setelah mengetahui kalau semua cinta yang selama ini dia terima dari Askara adalah kebohongan. Bagaimana Titan baik-baik saja kalau dia tidak tahu bagaimana caranya dia melanjutkan hidup tanpa Askara karena pria brengsek itu telah berhasil membuatnya bergantung selama delapan bulan terakhir.

Tadi, ketika sampai di apartemen milik Lazarus dan pria itu mempersilahkannya untuk masuk ke dalam kamar tamu, hal pertama yang Titan lakukan setelah berada di dalam kamar sendirian adalah menangis. Dia menangisi hidupnya yang sepertinya penuh dengan segala masalah yang selalu berdatangan dan tidak pernah selesai.

Titan sangat benci untuk mengakui hal tersebut, karena menurutnya menangisi pria brengsek seperti Askara adalah hal yang sangat tidak berguna. Tetapi setiap dia berusaha untuk berhenti, bukannya terdiam, tangisan Titan malah semakin kencang. Sampai akhirnya Titan tertidur karena kelelahan setelah menangis.

Dan apa yang dia alami saat tertidur juga tidak lebih baik. Selama dua bulan, tidak pernah sekali pun Titan memimpikan apa yang terjadi padanya dua bulan lalu. Dan malam ini, untuk pertama kalinya, Titan harus bangun dengan terengah dan perasaan takut setengah mati karena memimpikan bagaimana Jeremy terus memukul dan menjambaknya.

Seharusnya semuanya akan baik-baik saja setelah Titan meminum obat miliknya. Tetapi dirinya yang bodoh itu malah mengemas pakaian dan alat elektronik yang tidak cukup berguna alih-alih obat yang selama ini dia konsumsi untuk masalah mimpi buruknya ataupun obat lainnya yang sangat Titan butuhkan.

Jadilah Titan dengan sekujur tubuh yang bergetar berjalan ke dapur untuk mengambil minum. Karena pikirnya, kalau tidak ada obat, setidaknya dia harus minum untuk sedikit menenangkan pikirannya.

Namun bukannya tenang, Titan malah semakin panik ketika tangannya yang gemetar itu kehilangan kendali atas gelas yang dipegangnya, membuat gelas beling tersebut jatuh ke atas lantai.

Titan kembali menatap pecahan gelas yang berada di dekat kakinya. Kenapa harus seperti ini? Seharusnya bukan dia yang menderita. Seharusnya Askara yang menderita, bukan dirinya. Tetapi kenapa malah sekarang Titan yang tidak bisa hidup dengan tenang? Kenapa Titan malah mengalami mimpi buruk pada malam pertamanya tanpa Askara?

Pertanyaan-pertanyaan yang terlintas di otaknya itu membuat Titan sadar akan satu hal. Semua rencana Askara. Semua rencana pria itu yang ingin membuat Titan bergantung padanya, itu semua berhasil. Karena sekarang, Titan benar-benar tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

Biasanya, ketika dia mengalami mimpi buruk tentang kejadian tiga belas tahun lalu atau kejadian dimana dia menusuk Dikta Pangestu, selalu ada Askara di sampingnya. Selalu ada Askara yang menemaninya dan membantunya. Sekarang pria itu sudah tidak ada dan Titan benar-benar bingung apa yang harus dia lakukan.

Past The Point of No ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang