CHAPTER NINE

1K 168 26
                                    

"Brenny!" dengan riang Titan berlari keluar dari gedung studio dan menghampiri Brennan yang sudah menunggunya di pelataran Richard Strauss Studio. "Hai," sapa perempuan itu dengan senyum cerah di bibirnya.

Melihat senyum pada wajah cantik Titan membuat Brennan ikut tersenyum. "Hai, Ms. Producer," sapa balik Brennan yang membuat Titan tersipu.

Sampai sekarang, Titan masih tidak percaya kalau karyanya diproduksi oleh perusahaan opera terbesar di Amerika Serikat dan akan tayang perdana sebulan lagi. Hal itu tentu saja diketahui oleh Brennan dan pria itu jadi sering menggoda Titan dan menyebutnya sebagai produser.

"You're done for today?" tanya Brennan ketika dia melihat Titan membawa tas ransel di punggungnya. Pria itu dengan sigap mengambil tas ransel dari pundak Titan dan menaruhnya di pundaknya sendiri.

"Ya." Titan mengangguk sembari mengambil paper bag berwarna coklat dari tangan Brennan. Dia membuka paper bag itu dan senyumnya kembali mengembang begitu melihat isi dari kertas berwarna coklat tersebut. "Aw, Brenny, you don't have to do this."

Brennan tersenyum bangga begitu melihat mata Titan yang berbinar. Dia kembali mengambil paper bag dari tangan Titan dan mengeluarkan satu potong sandwich. "Alfredo's Deli, your favorite," katanya sembari menyerahkan roti lapis berisikan daging kepada Titan.

Titan menerima roti lapis pemberian Brennan dan langsung melahapnya pada detik berikutnya. Dia mengunyah makanan yang menjadi kesukaannya selama lima bulan terakhir sembari mengerang bahagia.

"Kenapa pulang sepagi ini?" Brennan bertanya kepada Titan sembari memakan roti potongnya. Mereka berdua sekarang tengah berjalan menyusuri

Titan mengedikkan bahunya. "Hari ini sangat berantakan. Karena skandal Maria Antariksa, semua orang jadi khawatir akan keberlangsungan pertunjukkan opera. Karena itu aku dan Scott sepakat kalau lebih baik kami menyelesaikan latihan untuk hari ini lebih cepat."

"Ah." Brennan mengangguk. Dia tahu berita mengenai Maria Antariksa yang menjadi selingkuhan seorang anggota parlemen. Berita itu sangat besar, sampai teman dalam tim hoki esnya juga ikut membicarakan. "Jadi sekarang apa yang akan kamu lakukan?"

"Mencari perempuan Asia lainnya yang merupakan seorang soprano dan bisa menghafal semuanya dalam waktu satu bulan," kata Titan. Mulut perempuan itu berhenti mengunyah begitu mendengar perkataannya sendiri. Mencari soprano dalam waktu satu bulan, walaupun itu bukan hal yang mustahil, tetapi tetap saja, itu bukanlah hal yang mudah.

Tanpa Titan sadari, langkahnya juga ikut memelan dan pada akhirnya berhenti, membuat dirinya tertinggal dari Brennan dengan langkah besarnya. Menyadari kalau perempuan yang sedari tadi berjalan di sampingnya itu menghilang, Brennan pun menghentikan langkahnya. Dia membalikkan badannya dan terkekeh melihat Titan dengan dahi yang mengernyit dan netra yang menatap kosong roti lapis di tangannya.

Brennan berlari kecil untuk menghampiri Titan. Pria itu kemudian mengulurkan tangannya untuk menyentuh pundak Titan yang langsung dia urungkan. Titan tidak suka sentuhan secara tiba-tiba, apalagi saat dia sedang tidak awas dengan keadaan sekitarnya. Brennan tidak tahu apa alasannya, tetapi dia pernah mendapati Titan terkena serangan panik hanya karena dirinya yang menyentuh bahu Titan saat perempuan itu jalan sendiri di malam hari. Sejak saat itu, Brennan tidak pernah lagi menyentuh Titan di saat perempuan itu sedang lengah.

"Titan?" panggil Brennan yang membuat Titan langsung tersadar dari lamunannya. Wanita itu mengerjapkan matanya dan menggeleng beberapa kali sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan menatap Brennan dengan senyuman. "Kamu berhenti berjalan."

"ah, maaf," kata Titan sebelum kembali melangkahkan kakinya, kali ini dengan cepat yang membuat Brennan mau tidak mau harus melangkahkan kakinya dengan lebar jika tidak ingin berjalan di belakang Titan.

Past The Point of No ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang