CHAPTER SIX

1.2K 215 56
                                    

Titan mengantongkan flash disk merah ke dalam saku celananya dan mengambil satu tas ransel dari sekian banyak tas yang berjejer di dalam lemari. Mengabaikan koper kecil miliknya yang berada di tengah walk in closet, Titan berjalan keluar dari ruangan tersebut menuju ke kamarnya.

Titan memasukkan segala perangkat elektronik miliknya ke dalam tas ransel tersebut. Dan setelah semua barang elektronik miliknya sudah masuk ke dalam tas, barulah Titan kembali ke dalam walk in closet untuk mengambil koper miliknya.

Agak susah sebenarnya, menggeret koper dengan kondisi yang menggunakan kruk, tetapi Titan tidak punya pilihan lain. Memangnya mau apa? Mau memanggil Askara lalu meminta pria itu membawa kopernya?

"Titan?" panggil Askara yang masih berada di ruang makan. Mata pria itu bergantian menatap koper dan sang istri dengan bingung.

Berbeda dengan Askara, Titan malah dengan santai menaruh koper kecil dan tas ransel miliknya di ruang tamu. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Askara yang sudah berjalan menghampirinya. "Paspor gue, lo taruh di brankas kan ya? Tadi gue sempet liat sih pas ambil surat sama foto Priscilla."

Tanpa menunggu jawaban dari Askara, Titan langsung berjalan menuju ruang kerja pria itu. Kakinya melangkah untuk menghampiri brankas yang sampai sekarang masih terbuka.

Titan tidak langsung mengambil paspor yang terlihat jelas ada di dalam brankas. Mata perempuan itu malah mencari-cari hal lain.

Tadi, Titan terlalu fokus dengan satu foto polaroid dan surat dari Priscilla, sehingga dia tidak memperhatikan barang lain yang mungkin saja merupakan milik sang kakak.

"Titan."

Titan menghela napasnya kasar. Mengabaikan kegiatan mencari barang kepunyaan Priscilla, Titan mengulurkan tangannya dan mengambil paspor miliknya.

Setelah mengantongkan buku kecil tersebut ke dalam saku belakang celananya, Titan membalikkan badannya. Masih tetap mengabaikan Askara, Titan berjalan ke arah ruang tengah, dimana tas ransel dan kopernya berada.

Dengan kasar Titan melepas kruk yang berada di sisi kanannya, membuat suara nyaring karena besi dari kruk menghantam marmer yang menjadi alas lantai penthouse Askara. Tangan Titan mengambil paspor dari saku belakang celananya dan memasukkannya ke dalam tas ranselnya.

Ketika sudah memastikan kalau tidak ada ritsleting yang masih terbuka, Titan mengambil tas tersebut dan berniat untuk menaruhnya di punggung. Tetapi gerakannya itu harus terhenti karena tangan Askara juga memegang tas ransel miliknya.

Askara menahan tas Titan dengan kuat, membuat Titan yang bahkan sulit berdiri dengan benar karena hanya menggunakan satu kruk itu tidak dapat menyingkirkan tangan sang pria.

Tetapi Titan terlalu malas untuk berdebat. Karena itu dia memutuskan untuk mengangkat wajahnya dan menatap datar Askara.

Tatapan yang layangkan Titan tentunya tidak membuat Askara bergeming. Pria itu malah semakin kuat menahan tas ransel milik istrinya. "Kamu mau kemana, Titan? Untuk apa bawa koper dan ransel?"

Titan berdecak dan memutar bola matanya malas. "Lepas," pintanya dengan datar. Dan saat Askara tak kunjung melakukan perintahnya, Titan kembali berbicara, kali ini diikuti dengan ancaman. "Lepas atau gue telepon Pak Janu sekarang dan bilang lo KDRT sama gue?"

Askara langsung melepas cengkramannya dari tas Titan begitu mendengar ancaman sang istri. Bukan. Askara bukannya takut dengan ancaman KDRT yang Titan katakan, tetapi dia tidak mau ada orang lain yang ikut campur dengan masalah mereka.

"Okay, saya lepas. Tapi saya harus tahu kamu mau kemana. Kalau kamu memang enggak mau lihat saya dulu, biar saya yang keluar dari sini, jangan kamu."

Past The Point of No ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang