CHAPTER ONE

1.1K 114 18
                                    

Tiga belas tahun yang lalu. Boston, Amerika Serikat.

Askara tidak tahu apa yang terjadi dengannya hari ini. Askara bukanlah orang yang menikmati seni. Dia menghargai seni, tentu saja, mengingat ibunya—Sharon Bamantara adalah seorang aktris sebelum menikah dengan sang ayah. Tetapi hanya itu. Askara tidak pernah tertarik untuk mengamati karya seni lainnya.

Jadi bayangkan seberapa bingungnya Askara pada dirinya sendiri ketika dia mengendarai mobilnya menuju Museum of Fine Arts sehabis kuliah. Askara juga tidak mengerti kenapa dia malah melangkahkan kakinya masuk ke dalam bangunan tersebut alih-alih kembali menyalakan mobilnya dan pulang ke apartemennya.

Namun tetap saja, selama berada di dalam museum, Askara tidak pernah berhenti untuk menikmati barang satu karya saja. Matanya memang mengamati lukisan-lukisan dan pahatan-pahatan yang ada, tetapi kakinya tetap melangkah.

Setidaknya sampai matanya menatap sebuah lukisan besar yang menarik perhatiannya. Ah, bukan lukisan megah yang menarik perhatian Askara, melainkan seorang perempuan yang sedang menatap lukisan tersebut.

Dan Askara sendiri tidak bisa menjelaskan alasannya. Walaupun yang dia lihat hanyalah bagian belakang sang perempuan, tapi Askara tidak bisa menampik ketertarikannya. Mungkin karena pita besar berwarna putih yang perempuan itu pakai untuk menjepit rambut panjangnya. Atau mungkin karena gaun floral yang wanita itu gunakan. Tetapi mau apa pun itu alasannya, Askara tetap melangkahkan kakinya menghampiri sang wanita.

Begitu dia berada di samping perempuan yang berhasil menarik perhatiannya, Askara berhenti berjalan. Dia tidak mengeluarkan satu patah kata pun. Menatap lukisan yang memiliki sedikit warna merah namun sangat mencolok itu.

"It's beautiful, isn't it?"

Askara menoleh ke arah sang wanita yang baru saja mengeluarkan suaranya. Kepalanya kemudian menoleh ke seluruh arah, mencoba untuk mencari orang yang diajak perempuan itu bicara. Saat Askara tidak menemukan siapa pun selain dirinya, barulah dia sadar kalau dialah yang sedang perempuan itu ajak bicara.

"It is," jawab Askara dengan anggukkan kepala. Askara tidak mengerti tentang lukisan, jadi dia hanya bisa mengangguk dan menyetujui perkataan perempuan cantik di sampingnya.

Perempuan di sampingnya tersenyum dengan mata berbinarnya yang masih fokus dengan lukisan di hadapan mereka berdua. "It's Panini."

"Panini?" ulang Askara yang sekarang sudah menahan tawanya itu. "Like the sandwich?"

Perempuan di sampingnya itu ikut tertawa. "Yes, like the sandwich."

Senyum cerah perempuan di sampingnya membuat Askara ikut tersenyum juga. "Gideon." tanpa aba-aba, Askara mengulurkan tangannya dan memperkenalkan dirinya.

Sang perempuan yang sedari tadi fokus menatap lukisan karya Giovanni Paolo Panini itu seketika menoleh dan menatap Askara dengan wajah terkejutnya.

Melihat keterkejutan di wajah perempuan yang berada di sampingnya membuat Askara meringis dalam hati. Askara adalah orang yang melakukan segalanya sesuai dengan kalkulasinya, dia tidak pernah bertindak spontan. Entah ada apa padanya hari ini sehingga semua yang dia lakukan adalah hasil dari spontanitasnya.

Askara sudah bersiap untuk menurunkan tangannya, saat perempuan di sampingnya membalas uluran tangannya. "Hi, Gideon," sapa sang wanita, dengan tawa di bibirnya. Tawa cantik yang membuat bibir Askara kembali membentuk sebuah senyuman.

Jabatan tangan mereka harus terputus ketika ponsel milik sang wanita yang dia taruh di dalam tas kecilnya berbunyi. Perempuan itu menarik tangannya dan genggaman Askara dan mengambil ponsel dari dalam tas.

Askara bisa melihat kerutan tipis di dahi sang wanita ketika melihat siapa orang yang menghubunginya, sebelum akhirnya perempuan itu menjawab panggilan tersebut.

Past The Point of No ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang