CHAPTER ELEVEN

841 161 20
                                    

"Dan bagaimana perasaanmu mengenai hal itu?"

Titan tidak langsung menjawab pertanyaan perempuan yang duduk di depannya. Dia memilih untuk menatap sang wanita sembari otaknya memikirkan jawaban dari pertanyaan yang diberikan kepadanya.

"Cemas? Takut? Tidak peduli?" jawab Titan ragu. Dia mengadahkan kepalanya dan menatap langit-langit ruangan milik wanita di hadapannya selama beberapa saat sebelum akhirnya fokusnya kembali pada sang perempuan. "Aku tidak tahu, dokter Oscar. Mengetahui ada orang yang tinggal di depan unitku setelah lima bulan sendiri, rasanya aku takut. Aku takut kalau akan terjadi sesuatu kepadaku. Tetapi di saat yang bersamaan, aku juga tidak peduli. Maksudku, aku punya Brennan di lantai bawah dan Scott di gedung sebelah. Jadi seharusnya aku tidak apa-apa, bukan?"

Sang perempuan yang Titan sebut dengan dokter Oscar tersenyum. "You tell me. Bagaimana menurutmu, Titan? Apakah kamu akan baik-baik saja setelah memiliki tetangga?"

Tiga hari yang lalu, ketika Titan sedang asik bekerja di apartemennya, telinganya menangkap suara bising yang berasal dari luar unitnya. Titan yang penasaran pun memutuskan untuk keluar dan mencari sumber suara. Ketika membuka pintu apartemennya, dia mendapati beberapa orang sedang mengangkut perabotan rumah ke dalam unit apartemen yang berada di depannya.

Melihat itu, tentunya Titan kebingungan. Karena selama ini, sama sekali tidak ada yang berminat untuk menyewa unit tersebut, meskipun persaingan untuk sebuah rumah di New York sangat ketat. Jadi, Titan memutuskan untuk pergi ke bawah dan mencari Sally, si doorman tua yang akrab dengannya selama lima bulan dia tinggal di apartemen itu. Sally mengatakan kalau ternyata selama ini unit di depannya sudah dibeli lima bulan yang lalu, tidak lama setelah Titan pindah dan sekarang sang pemilik memutuskan untuk tinggal di New York.

Mendengar hal tersebut, Titan tentunya langsung dilanda kepanikan. Selama ini dirinya merasa baik-baik saja hidup sendirian karena tidak ada siapa pun yang tinggal dengan jarak hanya lima langkah dari pintu apartemennya. Bukannya Titan berburuk sangka, tetapi dua kali diculik membuatnya menjadi orang yang lebih awas dengan keadaan sekitar. Dengan adanya orang yang tinggal di lantai yang sama dengannya, Titan takut kalau akan terjadi sesuatu terhadapnya.

Karena ketakutannya itu, Titan memutuskan untuk menginap di apartemen Brennan yang berada satu lantai di bawah dari unitnya, setidaknya sampai Titan yakin kalau tetangganya bukanlah orang jahat seperti Jeremy Madhava ataupun Lani Damitsa.

Namun, mau sampai kapan dia merepotkan Brennan dan tinggal di apartemen milik pria itu? Brennan memang tidak pernah mengeluh atau mengusirnya, tetapi Titan tahu diri. Tinggal bersama seorang perempuan yang tidak normal pastilah membuat Brennan kesulitan, apalagi setiap malam Titan selalu terbangun karena mimpi buruk.

"Titan?"

Panggilan dari dokter Oscar membuat Titan tersadar kalau sedari tadi dia melamun. Titan menggelengkan kepalanya sebentar dan kembali memusatkan perhatiannya kepada sang dokter. "Ya?"

"Tell me, Titan. Apakah kamu baik-baik saja sekarang?" dokter Oscar mengulangi pertanyaannya.

"Tidak?" jawab Titan ragu. Dia menghembuskan napasnya dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. "Aku tidak tahu, dokter. Aku sekarang merasa tidak aman karena adanya tetangga baru. Tetapi di saat yang bersamaan aku juga tahu kalau dia bukanlah orang jahat seperti mereka."

Mendengar kata mereka, dokter Oscar tersenyum maklum. Perempuan paruh baya itu memang memiliki rekam medis milik Titan ketika Titan masih ditangani oleh Tika dan Mary. Jadi, dokter Oscar tahu jelas siapa yang Titan maksud. Dia juga tahu kalau keadaan sang pasien menurun semenjak perempuan itu pindah ke New York. Titan jadi sering mengalami serangan panik dan mimpi buruk, padahal keadaannya sudah membaik dan Titan juga sudah jarang mengalami kedua hal tersebut beberapa bulan sebelum kepindahannya ke New York.

Past The Point of No ReturnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang