Rinjani menyilangkan kedua kaki di balkon kamarnya sembari berbicang lewat telepon dengan mata yang terus memandang ke arah bulan.
"Gara, coba deh kamu lihat langit, bulannya cantik banget, ya?"
Saraga yang sedang terbaring kini memposisikan dirinya untuk duduk. "Iya, Rin. Bulannya cantik banget. Selain itu bulannya juga bercahaya, ya?"
"Iya. Tapi, bulan akan lebih bersinar ketika bersama dengan bintangnya. Seperti seseorang yang akan lebih menganggap dirinya bermakna ketika ia bisa bersama dengan seseorang yang tepat untuk dirinya," ucap Rinjani sembari menangkup wajahnya.
"Bener banget. Aku juga ingin, ingin sekali di pertemukan dengan seseorang yang tepat," ucap Sagara sembari menundukan kepalanya.
"Hm..." Rinjani mempoutkan bibirnya, ia benci pikirannya ketika ia berharap bahwa orang yang di maksud Sagara adalah dirinya.
Sagara mengerutkan dahinya. "Kenapa, hm? Rinjani dengerin aku, meski kita jauh seperti ini, setidaknya kita masih bisa memandang langit yang sama. Sebelumnya aku belum pernah deket dan ngobrol begini sama cewek lain. Tapi gak tau kenapa, ketika aku ngobrol sama kamu rasanya nyaman banget," ungkapnya.
"E-ehh..." Rinjani jadi salah tingkah, ia tidak tahu apa yang harus ia ucapkan setelah mendengarkan pengakuan dari Sagara.
"Are you okay, Rin?" tanya Sagara, mencoba memastikan apa yang terjadi dengan Rinjani.
"I-im fine. Tunggu sebentar, aku mau masuk ke dalam dulu. Di luar dingin banget," ucapnya sembari bergegas masuk ke dalam kamar.
"Udah-udah gimana tadi?" tanya Rinjani.
Sagara berpikir sejenak. "Hm, aku mau cerita, boleh gak?"
"Boleh. Cerita aja," ucap Rinjani lembut.
"Aku itu sebenarnya pengen pacaran gitu kaya temen-temen aku. Tapi aku gak mau buat dosa. Entah kenapa aku ngerasa percuma aja," ucap Sagara.
Rinjani mengangguk paham, berpikir bahwa prinsip ia dengannya hampir sama. "Oh, ya? Tapi sebelumnya pernah nyoba buat ngedeketin atau di deketin sama cewek?"
"Aku bingung. Perasaan di sekolah aku pendiem orangnya, gak terlalu banyak ngobrol juga, tapi ada salah satu adik kelas aku yang ngejar-ngejar sampe sekarang. Dia dm dan chat aku, tapi gak aku respon. Bahkan dia pernah ngasih aku coklat, permen, dan roti waktu aku turun dari tangga. Ya, aku terima atas dasar ngehargain aja. Emang si dia itu..." Sagara menjeda ucapannya.
"Dia itu kenapa?" tanya Rinjani penasaran.
"Cantik," ucap Sagara pelan.
Ekspresi Rinjani berubah, agak sedikit murung dan memalsukan senyumannya. "Oh, cantik."
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang mengganggu?" tanya Sagara khawatir.
Rinjani menghela napas pelan. "Tidak. Menurut aku dengan kamu menerima pemberian dari dia, sama aja kaya kamu ngasih celah harapan buat dia."
"Aku cuman ngehargain aja, kok. Tenang aja, aku sukanya sama kamu bukan dia atau siapapun itu," ungkap Sagara sembari terkekeh kecil.
"Aku tebak, pada akhirnya kamu bakalan sama dia juga kok. Aku yakin. Segimana keras kamu nolak dia, pasti ada setidaknya sedikit perasaan kamu ke dia kan?"
Sagara tidak bergeming, dia tidak ingin lagi membahas sesuatu yang berhubungan dengan adik kelasnya. Dengan cepat dia mengalihkan topik pembicaraannya. "Gak mau tidur? Sebentar lagi aku mau keluar, mau nongkrong sama temen. Pulang paling jam satu malam. Tunggu aku, ya?"
"Nongkrong? Kemana?"
"Warkop paling. Kalo gak ya kemana aja gitu, aku ngikut mereka aja. Please, tungguin aku, ya? Aku pengen ngobrol lagi sama kamu. Kamu jangan dulu bobo, oke?" tanya Sagara sembari menyambar kunci motor yang di gantung di balik pintu kamarnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
akara
Fiksi RemajaJika setiap pertemuan seseorang akan berakhir dengan perpisahan, akankah kisahku dengannya sama dengan kisah orang lain di luaran sana? Meskipun perpisahan itu sudah menjadi hal yang biasa, semoga kita tidak pernah mengalaminya. Tuhan, aku tahu dia...