Berharap lebih akan sesuatu memang sangat menyakitkan. Apalagi harapan untuk bisa memilikinya itu sangat mustahil. Entah apa yang Rinjani rasakan, ia selalu berpikir bahwa dirinya tidak pantas untuk mendapatkan sebuah cinta dari seseorang. Ia termenung, menatap langit-langit kamar dengan air mata yang mengalir di pipinya.
"Ribuan followers dia cewek semua. Mana cantik-cantik lagi, jadi wajar aja aku di biarin gitu aja," gumam Rinjani setelah mengamati satu persatu followers ig milik Sagara.
Rinjani bangun dari duduknya lalu beranjak pergi ke arah kamar mandi untuk mencuci muka yang sudah di banjiri dengan air mata. Ia melihat ke arah pantulan cermin, yang dimana terlihat dirinya yang berbeda dari sebelumnya. Matanya yang sembab, mukanya yang memerah, juga kepalanya yang terasa sakit.
"Ngapain pake nangis segala si, lagian cengeng banget jadi orang. Gapapa juga kali, lagian kan aku bukan siapa-siapanya." Tak lama dari itu dering telepon dari ponsel Rinjani terdengar di dalam sana, ia segera menghampiri untuk mengetahui siapa yang menghubunginya.
"Umh, Kenzo..." gumam Rinjani sembari mengangguk pelan. Ia pun menekan tombol hijau di tengah untuk memulai panggilan.
"Kenapa, Ken? Ada apa?" tanya Rinjani sembari mendudukan dirinya di tempat tidur.
"Enggak, Rin. Aku ganggu kamu, ya?" tanya Kenzo lembut.
"Haaa? Kamu bilang apa, Ken? Di sana berisik banget, jadinya gak kedengeran," ucap Rinjani dengan sedikit meninggikan suaranya.
Kenzo memisahkan diri dari teman-temannya untuk dapat berbincang dengan Rinjani, orang yang dia suka. "Sorry aku lagi nongkrong sama temen-temen, jadinya agak sedikit berisik tadi," ucapnya sembari menyibak rambutnya kebelakang.
"Gapapa, Ken. Santai aja. Jadi, ada apa kamu telepon aku?" tanya Rinjani dengan suaranya yang sedikit serak.
"Emangnya gak boleh, ya? Kamu kenapa, Rin? Kedengerannya kaya habis nangis gitu. Apa ada orang yang nyakitin kamu? Kasih tau aku, siapa orang ituuuu?" Terdengar kekhawatiran dari nada bicara Kenzo, dia tidak ingin seseorang yang dia kagumi ada yang menyakitinya.
"Gak ada, Ken. Aku emang lagi sakit tenggorokan aja, makannya suaranya agak parau. Ada apa Ken tiba-tiba banget call malem-malem gini?" tanya Rinjani.
"Aku ke rumah, ya? Aku beli dulu obat buat kamu. Tadinya aku mau ngajak kamu jalan, Rin. Tapi gapapa kamu kan lagi sakit, jadi mending diem di rumah dulu aja ya? istirahat jangan lupa," ucapnya sembari berjalan berniat menghampiri teman-temennya untuk berpamitan pulang terlebih dahulu.
"Gak usah, Ken. Aku gapapa. Sorry, aku lagi mau istirahat dulu aja. Kamu lanjutin aja nongkrong sama temen-temen kamu, makasih ya udah khawatir sama aku. Aku tutup teleponnya ya, baiii..." Rinjani langsung menutup panggilannya tanpa mendengarkan respon selanjutnya dari Kenzo. Entah kenapa Rinjani merasa sedikit risih dan terganggu ketika Kenzo mencoba untuk mendekatinya. Berbeda jika Sagara yang menghubunginya, meskipun ia terkesan di hubungi pada saat di butuhkan saja, tapi ia sangat menantikan momen dimana 'hanya di butuhkan' oleh Sagara.
Rinjani berdecak kesal, ia memutuskan untuk mengerjakan tugas sekolah yang belum ia kerjakan. Tentunya di temani dengan lagu yang ada di playlist spotify favoritnya.
"Ah, ya... lagu. Apa aku bikin playlist spotify ajaa ya buat dia?" gumamnya sembari memainkan pulpen di sela-sela jarinya.
Gak! Dia aja gak pasti begini, ngapain aku bikinin playlist segala! Gak akan! pikirnya.
Rinjani bingung dengan perasaannya, bingung dengan perlakuannya, bingung atas semuanya. Ketika ia berpikiran mencoba untuk menjauhi Sagara, tetapi hatinya selalu berkata untuk terus memperjuangkannya.
"Sialan! Bisa-bisanya dia terus-terusan ada di pikiran akuuuu!" geram Rinjani sembari menarik rambutnya sendiri.
Sementara itu di luar sana Sagara terlihat sedang berkumpul dengan teman-temannya. Segala macam obrolan mereka bicarakan. Hujan rintik-rintik membasahi kota Bandung yang ia tinggali. Di temani dengan secangkir kopi dan rokok aroma bold kesukaannya.
"Ra, lo gak tergoda gitu buat kaya si Ryan? Liat dia sibuk banget teleponan sama ceweknya atau lo emang gak suka cewek? Duh anjing, lo gak demen sama yang pulen apa?" tanya Rio sembari merebut korek milik Sagara di sakunya.
"Korek gue mau di bawa kemana nyet?" tanya Sagara sembari menikmati hisapan demi hisapan rokoknya.
"Minjem doang anjing bentar. Gak ngejawab berarti emang bener gak demen cewek lo?"
Sagara merasa muak dengan pertanyaan yang di lontarkan oleh Rio temannya. "Penting banget lo nanya soal itu? Bukannya gue gak demen, emang males aja anjing. Lagian gue bukan lo yang ceweknya ada di mana-mana," jawab Sagara sembari salah satu tangannya mencoba untuk mematikan rokoknya di dalam asbak.
"Lagian gak ada salahnya mereka semua gue pacarin, Ra. Biasa buat nyoba-nyoba," ucap Rio dengan mulutnya yang sedikit menyeringai.
"Kasian mereka. Yang lo pake itu anak orang bego!" hardik Sagara dengan alis yang di tekuk ke bawah.
"Santai aja. Mereka gak nolak ajakan gue. Kita juga sama-sama mau. Gue cuman icip-icip dikit. Asli Ra, beh enak banget dah. Lo harus nyo—" ucap Rio terpotong kala Sagara langsung berdiri dan meninggalkan Rio yang sedang mencoba menahannya.
"Semuanya, gue duluan! Umi udah nyuruh gue balik. Kapan-kapan main ke rumah gue, nanti kita main play station, oke?" pamit Sagara yang tentunya itu hanya alasan untuk menghindari obrolan yang menurutnya tidak penting bersama Rio.
Sagara menghampiri satu persatu dari mereka untuk melakukan tos andalan mereka.
"Sip, ketua. Nanti kapan-kapan ngumpul lagi kita!" ucap Kifli sembari mengadu kepalan tangannya bersama Sagara.
"Oke bro! Hati-hati abis ujan licin jalannya," ucap Putra sembari menepuk pundak Sagara.
"Yeuu, lo mah gue belum selesai ngomong udah balik aja, gimana si?" ucap Rio sembari mengembalikan korek milik Sagara.
Sagara tersenyum lalu mendekatkan wajahnya tepat di hadapan wajah Rio. "Obrolan lo gak penting buat gue, Ri." Rio yang mendengar ucapan Sagara hanya terdiam dan ragu untup menatap Sagara.
"Ryan, Deril, gue pamit, ya! Kalo kalian mau ngopi, ngopi lagi aja. Udah gue bayarin, oke? Bye bro!" pamit Sagara dengan helm yang sudah terpasang di kepalanya.
"Thank bro!" seru mereka semua.
Sagara mengendarai motornya dengan kecepatan penuh tanpa rasa takut. Selama di perjalanan, Sagara hanya memikirkan Rinjani dan berniat untuk menghubunginya kembali. Suaranya yang ia rindukan, ingin ia dengarkan. Sagara bukan ingin membiarkan Rinjani begitu saja, ia hanya merasa malu jika teman-temannya mengetahuinya.
Setelah sampai di dalam rumah, Sagara langsung masuk ke dalam kamarnya tanpa membersihkan dirinya terlebih dahulu. Ia langsung membuka ponsel di dalam sakunya untuk menelepon Rinjani.
Rinjani yang sedang berbaring mencoba untuk memejamkan mata setelah mengerjakan semua tugasnya. Suara dering telepon kini terdengar tepat di telinganya. Ia senang ketika Sagara mencoba untuk menghubunginya kembali, tetapi di sisi lain ia merasa sedih karena lagi-lagi Sagara datang hanya pada saat tengah malam di jam-jam rawan. Rinjani merasa ia hanya menjadi bagian shift malam di kehidupan Sagara.
"Hallo, Rin. Akhirnya kamu angkat juga, aku kangen kamu!"

KAMU SEDANG MEMBACA
akara
Fiksi RemajaJika setiap pertemuan seseorang akan berakhir dengan perpisahan, akankah kisahku dengannya sama dengan kisah orang lain di luaran sana? Meskipun perpisahan itu sudah menjadi hal yang biasa, semoga kita tidak pernah mengalaminya. Tuhan, aku tahu dia...