CHAPTER 04

14 3 5
                                    

Isabelle duduk di kursi kayu keras, tangannya terikat di belakang punggungnya. Kamar itu besar, penuh dengan ornamen klasik dan lantai kayu yang berderak di bawah setiap langkah. Sudah beberapa hari dia berada di sini, di mansion Giustine, terperangkap seperti hewan liar yang menunggu dilepaskan atau dieksekusi.

Pintu terbuka perlahan, dan langkah kaki ringan namun tegas memasuki ruangan. Vincenzo, dengan aura tenang yang membuatnya tampak lebih menakutkan dari pria manapun yang pernah Isabelle temui, mendekat. Dia tak pernah benar-benar memahami pria ini. Semakin lama dia menghabiskan waktu mengawasi Vincenzo, semakin besar keheranannya.

Dan Vincenzo, semakin besar pula obsesinya terhadap Isabelle.

Matanya terpaku pada Isabelle sejak pertama kali mereka bertemu—sebuah kombinasi antara ketertarikan dan kekaguman yang terjalin dalam dirinya. Isabelle bukan hanya seorang pembunuh, dia adalah seorang seniman dalam seni kematian. Setiap gerakannya mengungkapkan kesempurnaan; kecantikannya tak tertandingi, namun ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rupa yang memikat. Bagi Vincenzo, Isabelle adalah sosok yang tak lazim—bahkan di tengah kegelapan dunia bawah yang keras, dia berbeda. Hal itu mengganggunya, sekaligus membuatnya terobsesi.

“Kau tampak lebih tenang hari ini,” ujar Vincenzo, duduk di kursi di depannya. Senyumnya tipis, tetapi matanya tak pernah melepaskan Isabelle. Dia mengamati setiap gerakan halus di wajahnya, mencoba mencari celah di balik tatapan dinginnya.

"Kau tidak punya pilihan," jawab Isabelle dingin. "Keluarga Lombardi tidak akan berhenti sampai kau mati."

Vincenzo tertawa kecil, seolah ancaman itu hanyalah angin lalu. "Lombardi, ya? Kau bicara seolah-olah mereka benar-benar peduli padamu." Tatapannya melekat pada Isabelle, penuh rasa ingin tahu. Seolah-olah dia sedang membaca sesuatu yang tidak diungkapkan oleh kata-kata.

Dia mendekatkan wajahnya sedikit, berusaha lebih dekat dengan kebenaran yang tersembunyi di balik dinding dingin Isabelle. "Kebebasan. Aku menawarkan mu kebebasan, Isabelle. Bergabunglah dengan ku, dan kau bisa keluar dari bayang-bayang mereka, keluar dari perang yang tak berujung ini."

Isabelle menatapnya, dan meski di matanya terlihat ketidakpercayaan, di hati kecilnya, Vincenzo tahu tawaran itu menggoda. Namun, Isabelle tidak seperti orang lain. Dia tidak mudah dimanipulasi.

“Aku tidak tertarik untuk bergabung dengan keluarga manapun,” jawabnya tegas. "Kebebasan bagiku bukanlah menjadi bagian dari rantai baru. Aku lebih baik mati."

Vincenzo tersenyum pelan, ada kekaguman dalam tatapan itu. Keras kepala dan kuat—dua hal yang membuat Isabelle semakin menarik. "Keras kepala seperti yang kuduga," gumamnya dengan nada penuh kekaguman.

Tanpa peringatan, dia mengeluarkan kunci dari saku jasnya, membuka borgol yang menahan tangan Isabelle. Isabelle berdiri dengan cepat, tetapi Vincenzo tidak merasa terancam. Sebaliknya, semakin dia menunjukkan kekuatannya, semakin kuat pula obsesi Vincenzo. Dia menikmati pertempuran batin yang tampak jelas di mata Isabelle.

"Tenang, Isabelle. Kau aman untuk saat ini," ujarnya, suaranya rendah namun penuh kendali. "Bagaimana jika kita menghabiskan sore ini bersama? Ada hutan di belakang mansion ini. Kita bisa berburu."

Isabelle meliriknya dengan curiga. "Berburu? Apakah ini semacam permainan bagimu?"

Vincenzo tersenyum tipis, matanya bercahaya penuh misteri. "Kadang, untuk memahami seseorang, kau harus melihat bagaimana mereka bertindak di alam liar."

---

Hutan di belakang mansion Giustine dipenuhi pepohonan tinggi yang menjulang, memayungi jalan setapak yang terjal. Di tangan Isabelle, sebuah busur kayu elegan, sementara Vincenzo berjalan di sampingnya, sesekali mencuri pandang ke arah Isabelle.

Dia sempurna, pikir Vincenzo. Seorang pemburu yang terlatih, tenang, tajam, dan tak kenal takut. Ada kekuatan dalam setiap gerakannya, namun juga keindahan yang hampir tak manusiawi. Semakin lama dia memandang Isabelle, semakin besar keinginannya untuk memilikinya—bukan sebagai alat, bukan sebagai senjata, tapi sesuatu yang jauh lebih dalam.

"Kau pernah berburu sebelumnya?" tanya Vincenzo, memecah keheningan di antara mereka. Tapi sesungguhnya, dia tidak peduli akan jawabannya. Itu hanyalah alasan untuk mendengar suaranya lagi, suara yang meski penuh dengan kemarahan, selalu terdengar indah di telinganya.

"Berburu bukan hal baru bagiku, tapi aku lebih suka target yang tidak bergerak," jawab Isabelle dengan dingin.

Vincenzo tersenyum mendengar jawaban itu. Memberikan sebuah busur pada wanita itu. Dia mengamati setiap detail—cara Isabelle menarik busur, tatapan fokus di matanya terhadap burung merpati yang terbang di langit, serta ketenangan yang memancar dari tubuhnya. Ya, dia sempurna dalam caranya sendiri, pikir Vincenzo, dan semakin dalam dia terjebak dalam obsesinya.

Mereka menemukan jejak rusa, dan Vincenzo berhenti, memberi isyarat agar Isabelle memperlambat langkah. Dengan tenang, dia mengangkat busurnya, menarik anak panah. Fokusnya tak tergoyahkan, namun di balik tindakan sederhana ini, dia tahu bahwa Isabelle sedang mengamatinya. Dia ingin mengesankan wanita itu—bukan hanya dengan kemampuannya, tapi juga dengan kendali dan ketenangan yang ia tampilkan.

Dengan satu tarikan cepat, dia melepaskan anak panah. Rusa itu jatuh, dan Vincenzo menurunkan busurnya dengan senyum kemenangan.

"Sekarang giliranmu," katanya, tatapannya tak pernah lepas dari Isabelle.

Isabelle mengangkat busurnya, menarik anak panah. Tapi saat dia menarik tali busur, ada yang mengganggunya. Bukan karena dia merasa gugup—tetapi karena kehadiran Vincenzo. Tatapan pria itu begitu intens, seolah-olah dia sedang memburu lebih dari sekadar binatang liar.

Ketika Isabelle melepaskan anak panahnya, dia tahu itu mengenai sasarannya dengan sempurna. Namun, ketika dia menurunkan busurnya, dia bisa merasakan senyuman Vincenzo di sebelahnya, dan itu membuatnya gelisah.

"Kau berburu dengan baik, Isabelle," katanya lembut, hampir seperti bisikan. "Tapi... bagaimana jika ada sesuatu yang lebih dari sekadar membunuh? Mungkin ada bagian dari dirimu yang sedang kau hindari."

Isabelle menatapnya tajam, tapi Vincenzo sudah berbalik dan melangkah pergi, meninggalkannya dalam keheningan. Dia sudah tahu,—Vincenzo tahu dia telah mengusik sesuatu dalam diri Isabelle, dan hal itu hanya membuat obsesi Vincenzo semakin dalam.

Untuk pertama kalinya, Isabelle merasa terjebak, bukan oleh kekuatan fisik atau borgol, tetapi oleh tatapan seorang pria yang terlalu terobsesi padanya.

"..Kau sudah gila ya?"

.
.
.

TBC

Hayo tebak siapa yang gila diantara Isabelle, Vincenzo, author atau readernya?😌

𝗟𝗘𝗧𝗛𝗔𝗟 𝗔𝗟𝗟𝗨𝗥𝗘Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang