🫧AWAL DARI SEGALANYA🫧

388 19 0
                                    

 raden💗

Kamu udah sampai mana?
Raden, ibu dan Ayah udah nanyain
Aku mohon...

"Gimana Han, udah ada kabar?" Ucap Nadin kala menghampiri sang sahabat di kamar pengantin.

"Belum, Nad." Hana menjawab dengan lesu.

Bagaimana tidak? Ini hari H pernikahannya. Beberapa menit lalu harusnya akad sudah dimulai, Namun calon mempelai laki laki dan keluarganya belum juga datang. Membuat gelisah seluruh panitia dan keluarga hana.

"Coba di telpon lagi, Han." Nadin berucap menyemangati Hana.

Hana pun mengiyakan. Mencoba menelpon Raden untuk yang kesekian kali, Namun Raden tetap tidak menjawab.

Raden💗

angkat telponnya raden.
Ini adalah hari yang kita persiapkan dari jauh jauh hari. Kita kan rad? Bukan aku doang.
Sekiranya kamu ga dateng tolong, tolong beri aku penjelasan.

"Nggak di angkat, Nad." Hana berkata lirih. Matanya basah, sedari tadi ia menahan diri agar tak menangis.

Nadin mengusap usap bahu Hana. Ia bisa merasakan betapa putus asanya Hana menunggu Raden.

raden💗

raden, demi Allah aku kecewa sama kamu.

Drrrtt drrtt drrtt

Tiba tiba ponsel Hana berdering. Tertera nama Raden dilayar.

Hana pun buru buru mengangkat, mengatur napasnya agar beraturan saat menjawab.

"Assalamualaikum Raden, kenapa kamu belum dateng? Kenapa nggak jawab pesan pesan aku? Kenapa kamu nggak-"

"Hana, maaf." Hana menghentikan pertanyaan beruntunnya ketika mendengar suara Raden yang sengau seperti habis menangis.

"Apa maksud kamu? Buruan dateng Raden. Keluarga aku, tamu undangan, semuanya udah nungguin kamu." Hana mengabaikan semua firasat buruk yang menderas di kepalanya.

Nadin menatap Hana. Bertanya lewat mata apa yang terjadi.

"Hana, maaf aku nggak bisa dateng."

Hana merasakan oksigen di sekitanya menipis. Apa yang berusan diucapkan Raden seperti mimpi buruk baginya.

"Ke-kenapa Raden?" Lidahnya kelu. Air mata yang sedari tadi ditahan pun mulai menganak sungai.

"Ibu aku ngancem bakalan bunuh diri kalau aku tetap nekat dateng, aku nggak bisa apa apa, Han!" Suara Raden memekik di akhir kalimat.

Hening.

"Kenapa? bukannya ibu kamu kamu udah setuju? kenapa jadinya gini? kenapa kamu lakuin ini? Rayyan Raden Wijaya JAWAB AKUUU!!"

"Maaf Hana, maaf.."

Panggilan diputus sepihak oleh Raden.

Nadin memeluk hana yang terisak. meskipun bingung dengan apa yang terjadi, Ia hanya bisa menebak nebak.

Hana terus terisak dalam pelukan Nadin. Pernikahan yang ia idam idamkan kini hancur. "Raden nggak bisa dateng, ibunya ngancem bakal bunuh diri kalau dia tetap nekat. Sekarang Aku harus gimana Nadin?"

"APA?! nggak bisa dateng? Ibunya ngancem bundir? Kenapa jadi kayak gini?" Wajah Nadin tampak syok. Kisah sahabatnya kini macam novel yang suka ia baca.

"Aku butuh waktu sendiri."

"Tapi, han.." Nadin terlihat enggan meninggalkan Hana. Ia takut Hana melakukan hal yang menyakiti dirinya sendiri.

"Please, Nad."

"Oke oke. Kalau ada apa apa langsung panggil aku ya. Inget Hana, kita semua disini sayang sama kamu. Kamu ga sendirian."

Hana hanya mengangguk.

Hana langsung mengunci pintu begitu Nadin keluar. Bulir bulir bening itu kembali membasahi pipinya, jemarinya membekap mulut agar isaknya tak terdengar. Pelbagai pertanyaan berkumpul di kepalanya.

"Kenapa begini? Kenapa Allah ciptakan alur seperti ini untuk aku? Kenapa Ya Allah, kenapaa?"

Dalam remangnya pencahayaan kamar.
Gadis penyuka warna biru muda itu terus terisak.

***

"Aku udah lakuin apa yang ibu minta. Tolong turunin pisaunya sekarang juga, Bu.

Raden menatap wanita yang selama ini begitu ia sayangi. Tadi pagi saat ia mencari ibunya untuk berangkat ke rumah Hana, ia dapati sang ibu mengancamnya.

Di depan Raden, ibunya menempelkan pisau dapur ke leher sembari berucap.

Flashback on

"Batalin pernikahan kamu, atau ibu akan mengakhiri hidup ibu."

"Ibu ngomong apa sih? Turunin pisaunya bu! Itu bahaya!" Raden hendak mendekat tapi sang ibu kerap mendekatkan pisau itu ke lehernya.

"Jangan mndekat Raden! Turutin aja apa kata ibu! Batalin pernikahan kamu sekarang juga! Ibu nggak main main!"

"Bu, kita udah bahas ini puluhan kali dan terakhir kali ibu udah setuju. Ibu bilang ibu bakalan bahagia kalau liat aku bahagia. Kenapa sekarang ibu lakuin ini?!" Raden berujar frustasi. Tak habis pikir dengan ibunya.

"Ibu berubah pikiran, kamu nggak boleh ngelawan perintah ibu. Pokoknya kamu harus nurut." Ucap ibunya penuh otoriter.

"Terserah ibu. Aku bakalan tetap pergi. Hana pasti udah nungguin aku." Raden berbalik hendak meninggalkan ibunya yang ia pikir berpura pura.

"Radennn!"

Raden berdecak, Dia kembali menatap ibunya dan terkejut melihat tetesan darah dilantai.

"Ibu udah bilang kan? Cepet kamu telpon dia dan bilang kalau kalian nggak jadi nikah. Cepet Raden!"

Raden kalut. Tanpa sadar sedari tadi air matanya juga turun. Dengan gemetar ia menekan nomor hana dan mengucapkan hal yang mungkin akan ia sesali seumur hidup.

Flashback off.

Dengan telaten Raden mengobati ibunya. dalam pikirannya wajah dan suara tangisan hana terus berkelebat. Ia sungguh merasa bersalah namun tak mampu berbuat apa apa.

Unexpected PlotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang