1. Hari Pertama

7.3K 570 66
                                    


Berita itu belakangan ini membuatku tidak tenang.

Nafsu makanku mendadak hilang saat headline itu ditulis besar-besar di bawah layar TV sampai layar televisiku yang cuma dua puluh satu inchi itu kelihatan kalah besar. Sesuap nasi tertahan dalam perjalanan menuju mulutku dan kurasa tidak akan pernah sampai ke sana.

Pembunuh Berantai Kembali Beraksi

Di bawah tulisan itu, secara bergantian muncul dua kalimat:

Korban Sudah Mencapai Dua Puluh Orang

Satu Polisi Menjadi Korban

Pembunuh, pencuri, perampok, bahkan teroris memang sudah berita basi. Aku pun biasa menganggap lalu berita-berita itu tanpa peduli tangisan pilu para korban (memangnya salah? Mereka bukan keluargaku... sepertinya) atau sensor kotak-kotak yang menutupi pemandangan berdarah mengerikan yang ada di baliknya (yeah, darahnya kan tak kelihatan. Kenapa aku harus jijik?) Tapi kali ini berbeda.

"Om rasa kamu bener-bener harus ganti nama, Nirina." kata om Nuri dari seberang meja makan kami yang kecil. "Sekalian nama belakangmu yang Subrata itu diganti juga."

"Om, aku beneran takut nih." Dan aku tidak mengada-ada.

"Wajah takutmu datar banget." Baiklah, pamanku yang satu ini enaknya diapain ya? Kenapa hampir setiap hari kerjaanya di meja sarapan cuma mengkritik wajahku, mengatainya lebih mirip triplek alias lempeng saja. "Yah, Om juga takut. Pelaku ada dendam apa ya sama nama Nirina?"

Benar. Selama empat bulan belakangan ini seputaran Jabodetabek diteror oleh serangkaian pembunuhan tak terpecahkan. Aku yang tadinya cuek pada berita basi semacam ini, sekarang pasang telinga baik-baik. Pasalnya, semua korban itu punya nama sama: Nirina. Tak pelak berbagai pendapat dari berbagai kalangan dari yang ahli sampai yang hanya sebagai pemanis layar, serta berbagai spekulasi muncul, mulai dari kasus ini didalangi komplotan alih-alih dilakukan seorang pembunuh gila (seorang saja sudah seram dan sekarang ada sekelompok pembunuh gila? Dunia ini memang semakin gila dari hari ke hari!)ada juga yang bilang ini ulah sindikat penjual organ, dan ada satu lagi hal gila yang kudengar hari ini dari berita yang sekarang kutonton.

Penyiar wanita di televisi melakukan wawancara terbuka dengan seorang penyidik kepolisian. "Saya dengar dari berita nih, Pak, katanya pelaku itu sudah dipojokkan, tapi berhasil kabur. Bagaimana bisa begitu, Pak?"

Wajah polisi itu di layar tampak tak suka disinggung soal kegagalan pasukannya. Yeah, semua orang memang tidak suka disinggung soal kegagalan apalagi di depan kamera yang disaksikan entah berapa juta pasang mata di Indonesia. "Saat ini kami masih menyelidikinya, Mbak. Kalau hasilnya sudah keluar akan kami kabari. Untuk saat ini kami menduga pelaku tidak sendirian saat melarikan diri kemarin."

"Benarkah kabar yang mengatakan kalau saat polisi mengejar si pelaku kemarin, pelaku tiba-tiba menghilang beserta tangan salah satu polisi?"

Hah? Apa?

Sebelum polisi itu menjawab, TV sudah dimatikan om Nuri. Sebelum mulutku protes, omku sudah bangun dari kursi dan mengenakan jaket.

"Cepetan habisin sarapanmu! Nanti kita kesiangan!"

***

Bau asap menyesakkanku. Berulang kali akumengusap mata dengan kasar untukmengusir rasa perih akibat terpapr asap. Tubuhku rasanya ingin meleleh. Sepanjang penglihatanku hanya ada api dan api.

Seluruh ruangan terbakar. Mayat-mayat terbakar api bergelimpangan. Lalu langkahku berhenti pada mayat yang belum terbakar,menyaksikan mayat itu tak lebih dari serpihan daging dan tulang saja.

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang