Aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
Di atap toko yang berada tepat di atasku, aku melihat sosok yang tak asing. Mataku terbakar sinar matahari hingga semua terlihat gelap, namun dengan cepat aku bisa mengatasinya. Tidak salah lagi.
Sosok di atap toko itu memang Mahendra.
Kenapa dia ada di sana? Kenapa dia tidak turun ke sini dan menolongku dan malah menonton dari posisi aman dan nyaman di atas sana?
Pikiranku buyar saat satu tendangan mendarat di perutku. Sekali lagi aku memuntahkan darah dan cairan lambung. Tanpa daya dan terasa terhina sekali, aku berguling ke samping, merintih kesakitan di bawah kaki gadis gila ini.
Di sela rintihanku, kudengar tawanya samar-samar. Sial, kesadaranku mulai menjauh.
"Aku rasa sudah cukup main-mainnya. Sekarang, ayo ikut aku temui yang lain!" Kurasakan tangannya menyentuh leher jaketku. Tidak ada jaminan dia akan membawaku sampai ke tempat tujuannya—di mana pun tempat tujuan yang kuyakin bukan tujuan yang bagus buatku itu—dalam keadaan utuh. Dia bisa menyeretku sepanjang jalan dengan wajahku di aspal tanpa berpikir dua kali. Ya, dia orang yang sanggup melakukannya, aku yakin itu.
Ini saatnya.
Kedua tanganku yang sedang memegang perut sebenarnya adalah samaran agar dia lengah. Dengan tangan kananku, dengan gerakan seminimal mungkin, kuselipkan jari jemariku ke dalam lengan jaket kiri. Aku terus merogoh hingga ujung jemariku meraih apa yang kubutuhkan.
Pisauku.
Tanpa ragu kucabut pisau itu dari sarungnya dan menancapkannya ke lengan yang sedang memegang jaketku. Tepat di pergelangan tangan.
Anehnya gadis itu bergeming.
Aku membalikkan separuh tubuhku dan melihat pisauku menancap di pergelangan tangan Fin. Gadis gila itu menatap pisau di tangannya dengan mata terbuka lebar, tanpa berkedip. Kaget tapi tidak kelihatan kesakitan sama sekali.
"Apa lo pikir itu bakal menyakitkan buat gue?" Dia mendadak memelototiku. "Setelah apa yang lo perbuat, lo pikir tusukan segini bakal sakit?"
Dia mencengkam pergelangan tanganku yang masih memegang pisau dan menggenggamnya keras hingga... terdengar suara berderak dari sana.
Jeritanku pecah.
Genggamanku pada pisau terlepas. Untungnya benda itu tidak terlempar jauh, hanya terjatuh di bawah tanganku. Tanpa bisa kucegah, air mataku keluar. Bukan karena aku menangis, tapi karena rasa sakit ini. Kupegangi lengan kananku yang berdenyut sakit sambil berharap rasa sakitnya reda.
"Sakit?" Fin bertanya di belakangku. Dengan kaki, dia membalikkan tubuhku. Membalikkanku agar aku menghadapnya walaupun aku masih kesakitan. Dengan mata nyalang dan pergelangan tangan yang memancarkan darah, dia berdiri di atasku bagai dewa kematian. "Tenang, itu bukan apa-apa dibanding apa yang bakal—
Ucapannya terhenti saat darahnya memancar lebih deras ke dekat wajahku. Mataku melirik luka di pergelangan tangannya, menyaksikan darah yang keluar dari sana semakin banyak. Tak sampai semenit kemudian, Fin mulai mengerang kesakitan. Kakinya terangkat dari tubuhku dan dia jatuh berlutut memegangi pergelangan tangannya yang terluka. Tapi tangannya masih memegang leher jaketku.
"Elo!" Dia memelototiku. Sorot matanya sarat akan ketidak warasan. "Beraninya lo!"
Aku menggerakkan jari jemari tangan kananku. Sudah bisa bergerak. Kugerakkan dengan cepat pergelangan tangan kananku yang tadi patah. Sudah bisa bergerak. Bagus.
Hal pertama yang terlintas di kepalaku adalah pisauku. Benda itu terletak masih dalam jangkauanku. Sekali lagi bagus. Kuraih benda itu dan dengar sekuat tenaga menarik diri dari cengkaman gadis gila ini. Sayangnya genggamannya pada jaketku lebih keras dari yang kukira. Aku bangkit berdiri sambil terseok-seok, dan mulai menarik diriku darinya. Menarik dan terus menarik hingga akhirnya jaketku koyak. Tapi hal bagusnya aku terlepas dari cengkamannya. Sisa lengan jaketku jatuh begitu saja dari kedua lenganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasendriya
Paranormal[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] Pembunuhan aneh itu membuatku tak pernah tenang. Kenapa tidak? Semua korban pembunuhan itu bernama depan sama denganku: "Nirina". Awalnya aku tidak menanggapinya. Hidupku normal-normal saja sampai bertem...