Mahendra mengeratkan pelukannya kepada gadis bertubuh kecil yang berdiri kaku di dalam rengkuhannya. Ia menekan kuat-kuat perasaan untuk melepas jaket ini dan memeluk gadis itu secara langsung sambil terus meyakinkan dirinya bahwa inilah yang terbaik dan dia tidak bisa berharap lebih. Sebagaimanapun mencoba, ia tidak akan bisa menyentuh gadis ini secara langsung. Ia tahu, tapi jiwanya tidak mau menurut. Jiwanya terus merengek menuntut ingin merasakan kehangatan yang pernah gadis ini berikan di malam itu, kehangatan yang menjalar dari genggaman lembut sang gadis pada tangannya. Sekeras hati, Mahendra berusaha mencukupkan dirinya bahwa semua ini sudah lebih dari yang ia harapkan, bahwa dapat memeluk gadis ini lagi saja sudah merupakan suatu keajaiban.
Dalam rengkuhannya, ia merasakan gadis itu menggenggam erat bagian depan kausnya. Dalam hati ia berharap agar gadis itu jangan menolaknya. Tak apalah jika tidak membalas pelukannya ini, asalkan jangan menolaknya.
Jika sekali lagi ia mendapat penolakan, jika dari gadis ini dia mendapat penolakan, ia tidak akan sanggup lagi.
Dan untungnya gadis itu memang tidak menolaknya. Tubuhnya kaku dan gemetar, tidak lebih. Tangan mungilnya memang menggenggam bagian depan kausnya, namun tidak mendorongnya.
Itu sudah lebih dari cukup bagi Mahendra.
Seluruh diri Mahendra dialiri kesenangan yang amat sangat. Kebahagiaan yang membuncah, suatu perasaan yang sudah sangat asing bagi dirinya, namun sanggup dibawa dengan sangat sempurna oleh gadis ini ke dalam seluruh sel tubuhnya. Bisa memeluk gadis ini, merasakan bahwa dia masih hidup dan tidak membencinya, sudah membuatnya merasakan kebahagiaan yang membludak.
Membuatnya merasakan seolah hidup kembali menjadi manusia.
Namun membuatnya hancur berkeping-keping di saat yang sama.
Dirinyalah yang sudah membawa penderitaan ke hidup gadis ini. Jika saja malam itu ia menolak gadis ini, ia mengempaskan tangannya tanpa ragu, mengusirnya sekasar yang ia bisa, semua yang terjadi beberapa tahun belakangan ini akan jadi sangat berbeda. Mungkin juga hidup gadis ini akan berbeda jauh. Tanpa dirinya, gadis ini akan jauh lebih bahagia.
Mahendra melepaskan pelukannya dari gadis itu ketika didengarnya ada suara di kejauhan. Ia menyampirkan jaketnya ke bahu gadis itu lalu tanpa ragu pasang badan, gantian melindunginya.
"Mahendra! Lo ngapain—
"Aku nggak mungkin biarin kamu pasang badan. Biar gimanapun, di sini aku yang laki-laki," jawabnya berusaha bergurau meski ia dengar sendiri betapa cemas nada gadis itu tadi.
"Hei," Mahendra merasakan dorongan untuk memeluk gadis itu lagi ketika dirasakannya ada tangan yang memegang ujung bajunya erat-erat, "gue udah bilang kan? Lo diem aja dan nonton di belakang. Ini nggak akan makan waktu lama kok."
Mendadak saja kebahagiaan yang membanjiri Mahendra diselimuti kemarahan yang tak sedikit. Dengan marah, ia berbalik, menunjuk hidung kecil gadis itu dengan jari telunjuknya yang kurus dan pucat.
"Terakhir kali aku percaya sama ucapanmu, ingatanku hilang bertahun-tahun, aku jadi orang tolol, dan hampir membunuhmu berkali-kali! Jadi nggak makasih, aku yang mutusin sendiri sekarang!" hardiknya penuh amarah yang tidak ditahan-tahan demi alasan etika terhadap perempuan.
Kinnara menjengit tak suka. "Gue lebih suka lo nggak inget apa-apa," kata Kinnara tanpa mengalihkan pandangan darinya. Menatapnya lurus-lurus. "Lo nggak banyak tingkah kayak gini."
"Kamu pernah bilang aku manusia paling banyak tingkah, jadi kata-katamu barusan nggak masuk hitungan," Mahendra memprotes. "Lagian kamu senang aku jadi penonton sambil tersenyum melihatmu terluka? Kalau kamu lebih suka itu, silakan, tapi tunggulah selamanya karena itu nggak akan pernah terjadi lagi, paham?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasendriya
Paranormal[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] Pembunuhan aneh itu membuatku tak pernah tenang. Kenapa tidak? Semua korban pembunuhan itu bernama depan sama denganku: "Nirina". Awalnya aku tidak menanggapinya. Hidupku normal-normal saja sampai bertem...