Apa aku sedang bermimpi?
Mahendra di sini. Di rumahku. Berdiri di antara aku dan Len. Memisahkan kami jauh-jauh.
Dia melindungiku. Dia memang sudah memecahkan kaca jendela ruang tamu rumahku tapi dia tetap saja sudah menolongku.
Dia menolongku? Kenapa?
Sayang aku tidak bisa mendapatkan jawabannya dalam waktu dekat. Ucapan macam apapun urung keluar dari mulutku di hadapan Mahendra yang sekarang.
Ekspresi pemuda itu bukan lagi tak antusias seperti Mahendra yang biasa. Bukan juga terlihat kejam seperti dia yang waktu itu. Ekspresinya sekarang sekeras batu. Dingin dan tanpa keraguan.
Dengan ekspresi sekeras itu, ia terlihat lebih menakutkan dari terakhir kami bertemu. Wajahnya tak menyunggingkan senyum sama sekali. Tatapan matanya lurus menatap Len. Aku yakin dia sadar aku sedang memandangnya dengan wajah tablo sekarang, tapi kelihatannya dia tidak peduli. Kemudian, satu pertanyaan menggema di dalam kepalaku sekeras alarm.
Kenapa tahu-tahu dia ada di sini? Dia kan tidak tahu alamat rumahku!
"Seharusnya ada orang yang mengabari gue kalau ada yang menyusup ke sini." Len tersenyum ramah pada Mahendra. "Lo apain temen-temen gue di luar?"
Apa? Kenapa Len kelihatan mengenal Mahendra?
"Gue nggak bunuh mereka. Cuma bikin mereka pingsan." balas Mahendra tenang. Namun... astaga... tangannya perlahan merangkul pundakku!
"Tiga hari lalu teman gue mengabarkan kalau lo nggak akan ikut campur dan cuma akan jadi penonton." Meski masih tersenyum, dua alis mata Len nyaris bertemu. Membuat senyum yang terukir di wajahnya berubah menjadi senyum kejam. "Apa lo mau melanggar kata-kata sendiri?"
Mahendra tersenyum sama kejinya. "Gue nggak boleh bohong?"
Len tertawa datar. "Udah gue duga. Nggak mungkin lo yang begitu deket sama anak ini tiba-tiba berubah benci sama dia," kata Len seraya menudingku. "Apa semua ini rencana lo dari awal? Atau rencana lo?" Pertanyaan yang terakhir itu ditujukan padaku.
Aku hanya bisa melongo. Aku? Dekat dengan Mahendra?
Andaikan aku masih punya tenaga untuk menengok, aku sudah pasti akan menuntut jawaban dari Mahendra sendiri. Tapi bahkan menjaga kesadaranku saja sekarang sudah sulit. Aku merasakan sekujur tubuhku didera sakit. Luka-lukaku terbuka lagi.
"Gue nggak perlu menjawab itu." jawab Mahendra dengan serius.
Len menghela napas. "Seharusnya waktu itu gue nggak percaya sama lo. Gue pikir lo bakal bunuh dia atau nyiksa dia alih-alih cuma bikin dia amnesia." jelasnya. "Gua nggak akan biarin lo rebut dia kali ini, makhluk penipu rendahan!"
"Jangan berlagak kayak lo derajatnya lebih tinggi dari gue. Lo cuma kopian gue, rasendriya sialan!"
Rasendriya? Kopian Mahendra?
"Mulut lo bener-bener harus diajari sopan santun!" Saat itulah baru kusadari rumahku sudah dikepung. Ada sekelompok muda mudi yang berdiri di luar rumah dengan tampang siap mati. Atau mungkin lebih tepat disebut siap membunuh. Mata mereka semua menyorot benci padaku dan Mahendra. Terutama padaku. "Rebut Nirina!"
Hari ini ada banyak hal—atau harus kubilang keajaiban—yang terjadi. Kebanyakan benar-benar di luar nalarku. Di luar pekiraan terburukku sekalipun.
Pertama, tiba-tiba Mahendra merangkul dan menggendongku bak tuan putri. Aku tersanjung dan sumpah wajahku benar-benar mendidih saat ini saking malunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasendriya
Paranormal[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] Pembunuhan aneh itu membuatku tak pernah tenang. Kenapa tidak? Semua korban pembunuhan itu bernama depan sama denganku: "Nirina". Awalnya aku tidak menanggapinya. Hidupku normal-normal saja sampai bertem...