6. Darah

3.5K 377 23
                                    

"Belanja? Bareng makhluk ini?" Aku memandang nanar tante Tri, tidak percaya atas idenya.

"Barang bawaannya cukup banyak. Kamu nggak akan sanggup sendiri." Tante Tri berkata dengan nada membujuk. "Mahendra juga nggak akan sanggup bawa sendiri."

"Saya sanggup!" tukas Mahendra tegas.

"Kalau kita berdua pergi, Tante sendirian gitu jaga toko?" Aku masih berusaha membujuk tante Tri agar tidak membuatku harus menghabiskan setidaknya dua jam bersama Mahendra.

"Ya, terus kenapa? Kamu takut Tante nggak kuat? Lupa kalau sebelumada kalian berdua Tante urus toko ini sendiri?"

Argh! Sudah mustahil mengubah pikiran wanita satu ini! "Iya, iya. Aku nyerah!" Aku berpaling ke Mahendra, yang ternyata malah menonton TV. "Hei!"

Mataku menangkap headline berita yang sedang ditampilkan di TV. Tentang pembunuhan tak kunjung usai dan entah kapan akan menemui titik terangnya itu. Sudah lima bulan berlalu dan korban masih terus bertambah.

Mahendra memalingkan separuh wajahnya kepadaku, menunjukkan mata kananya beserta wajahnya yang tanpa ekspresi padaku, artinya tidak ada toleransi sedikit pun di hatinya. Bukan kabar baru.

"Kok lomasih hidup ya?"

Kurang ajar.

"Mungkin hoki gue bagus." jawabku asal.

"Atau pembunuhnya terlalumalas nyari lo yang nggak penting-penting amat." Sekali lagi, kurang ajar!

"Jangan banyak bacot! Ayo cepet berangkat! Keburu sorenih!" Aku segera meninggalkan pemuda itu yang masih diam di tempat.

"Atau mungkin pembunuhnya lagi siapin sesuatu yang lebih buruk buat elo."

Buru-buru aku berbalik, melihat Mahendra mengambil kunci motor dan segera menghampiriku. Dalamsekejap, aku ada di belakangnya, di posisi orang yag diajak. Posisi yang seharusnya jadi punya Mahendra.

"Lo tadi ngomong sesuatu?" tanyaku curiga, merasa telingaku tadi tak salah dengar.

Mahendra berhenti, memalingkan separuh wajahnya. Silau matahari membuatku menyipit, namun melihat salah satu pilar cahaya menerpa menembus wajahnya, aku mematung.

Kulit pucat Mahendra berubah bagai pualam, mata hitamnya sehitam batu giok. Ekspresi cueknya entah kenapa terlihat cocok dengan angin semilir yang berembus pelan di sekitar poni panjangnya.

Oh Tuhan, kenapa mendadak dia kelihatan memesona?

"Emang gue ngomong apa?" tanyanya tanpa antusias.

Oke, mendadak aku lupa mau ngomong apa. "Udah nggak usah dibahas lagi! Basi!" omelku. "Cepet berangkat, Siput! Kalau nggak kita kesorean nanti!"

Di beberapa saat di hidupku setelah ini, aku akan sedikit menyesal kenapa aku tidak menyadari kebencian itu lebih cepat.

***

Kami pergi ke kompleks pertokoan yang jauh dari perumahan Taman Mandala. Kompleks itu lebih miripplaza pertokoan dengan berbagai toko yang berjejer sepanjang lima ratus meter. Di luar kompleks hingga ke bagian tengah, didominasi oleh toko-toko elektronik yang dari ukuran tokonya paatilah toko lama dan sudah punya banyak pelanggan. Di bagian tengah kompleks, tepat di jantung pertokoan ada sebuah mall yang baru didirikan. Kudengar Tante Tri belakangan sering main ke supermarket di mall ini. Lalu di sekeliling mall, masih berada di jantung kompleks, ada deretan toko-toko kecil. Kalau kulihat mall ini sebagai sebongkah gula, maka toko-toko ini semutnya. Posisi mereka sudah sangat tersingkir dengan luas masing-masing kios seluas rumah kontrakan murah.Tapi dibanding mallnya sendiri, toko-toko itu kondisinya jauh lebih ramai. Dan para pembeli pun bukan hanya dari golongan menengah ke bawah. Ada beberapaorang yang kelihatan borjuis relamasuk ke sana dan berjubeldengan ratusan orang lainnya dan ikut belanja.

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang