19. Melindungi dan Dilindungi

2.2K 374 12
                                    

Fin mencengkam tanganku. Wajahnya sarat kebencian. Darah keluar dari mulutnya namun sepertinya dia belum mau menyerah. Kutekan pisauku semakin dalam ke dadanya, dalam diam merasakan detak jantungnya yang merambat ke tanganku melalui pisau yang sedang kugenggam. Bola duri terasa menyumbat kerongkonganku menyaksikan Fin yang perlahan sekarat kehabisan darah di hadapanku. Mataku tak kuat menyaksikannya dan tepat saat aku mulai berpaling,

"Fin!"

Suara itu menyentakku, membuatku secara refleks menarik pisauku dari jantung Fin. Seorang pemuda, bukan Len, masuk ke dalam toilet dan segera menahan tubuh Fin yang hampir jatuh ke tanah. Gadis itu masih belum mau menyerah. Dia menekan sendiri lubang di dadanya agar tak mengeluarkan darah sambil terus berusaha duduk sendiri, meski itu mustahil. Darahnya sudah keluar terlalu banyak. Meski begitu, kebencian dari mata itu terhadapku tidak sedikit pun meluntur. Malah terlihat semakin kental.

Pemuda yang menopang Fin juga tampak sama bencinya kepadaku. Bola duri di kerongkonganku terasa semakin besar dan semakin sulit ditelan. Kebencian masih akan terus kuterima. Mereka berdua, Mahendra, dan Len bukanlah apa-apa jika dibandingkan semua rasendriya yang telah kubuat.

Tidak boleh. Aku tidak boleh lemah. Aku harus kuat dan jangan menangis berduka di hadapan mereka.

Aku harus kuat sampai semua ini berakhir.

Diam-diam, aku mengepalkan tangan, berusaha menghentikan gemetar hebat yang menjalari seluruh tubuhku. Aku baru saja menikam jantung seseorang. Memang dia bukan manusia secara teknis, namun dia tetaplah jenis manusia. Dia sama sepertiku. Dan aku baru saja merasakan dengan tanganku sendiri, nyawanya yang perlahan surut. Menyedihkan dan aku merasa sangat kotor saat ini, tapi ini yang terbaik.

Daripada gadis ini terus membunuh semua orang, daripada dia terus hidup menyimpan dendam padaku sebagai seorang rasendriya, lebih baik dia mati.

Ah... aku mulai terdengar seperti diriku di masa lalu.

Mungkin kata-kata bahwa kematian bisa mengubah seseorang tidaklah benar. Pepatah itu sepertinya tidak berlaku padaku. Buktinya, meski sudah pernah mati dan hidup sebagai orang baru, dosa-dosaku masih ada dan terus mengikuti. Bahkan sekarang semua dosa itu dicerminkan tepat ke hadapanku, memaksa untuk ditebus dengan harga yang tidak murah.

"Lo bener-bener manusia rendah!" kecam pemuda itu, yang wajahnya kulihat di dalam salah satu file warisan diriku yang dulu. Kalau tidak salah dia salah satu rasendriya pertama. Namanya bukan nama pendek seperti Len dan Fin. Aku masih memberinya nama kode.

R-26... itu namanya. Tapi nama aslinya bukan itu.

"Adyaksa dan... Violenia..." Ketika aku menyebut dua nama itu, mereka membelalak. Kilasan yang tadi sempat muncul, sekali lagi menari-nari di depan mataku. Tadi itu bukan halusinasi. Aku memang mengalami kilasan dan kuyakin kilasan itu memang benar pernah terjadi.

Kutatap Fin... ah maksudku Violenia, mengabaikan semua darah yang membanjiri lantai. "Lo udah bener dengan benci gue waktu itu." Kutatap pemuda yang kini kembali dari keterkejutannya dan sekali lagi waspada padaku. Aku tidak ingat apapun soal dirinya, jadi aku tidak bisa berkata apapun.

Saat itu kusadari jeritan di luar sudah berhenti. Bahkan sunyi sama sekali. Tidak ada suara sirine ambulans ataupun polisi yang kuduga akan terdengar beberapa saat lagi. Ada sesuatu yang aneh.

Ketika aku menatap ke depan lagi, Fin dan Adyaksa menghilang. Teleportasi. Ah ya, di file itulah kemampuan Adyaksa. Pemuda itu bukan kopian yang mendekati sempurna sehingga hanya kemampuan lain yang muncul, alih-alih kemampuan yang aku harapkan.

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang