8. Luka

2.7K 342 23
                                    


Tanpaada yang tahu, ada seseorang yang sedang menyaksikan semua peristiwa yang terjadi, mulai dari saat pembantaian dimulai hingga sekarang, saat sesosok gadis bertubuh kecil berambut bob sedang disiksa oleh sesama gadis. Orang itu, Mahendra, menyaksikan semua dari atas atap salah satu toko. Tanpa repot bersembunyi. Semua orang—dua orang, tepatnya—di bawah sana terlalu sibuk dengan urusan mereka berdua.

Melihat anak gadis berambutbob itu ditendang ke sana kemari, diinjak-injak bagai sampah membuatnya senang. Mahendra tak bisa menahan senyum.

"Bagaimana rasanya diinjak dan diperlakukan seperti hewan, Nirina?" Mahendra membatin.

Telinganya menangkapdengan jelas percakapan yang ada di bawah sana.

Nirina, dalamkeadaan kepayahan, bermandikan darah dirinya dan darah belasan orang yang telah tewas di bawah sana, berusaha bicara kepada gadis yang sedang menginjak perutnya. "Kenapa..." Gadis itu memuntahkan darah. "Kenapa kamu—

"Melakukan ini? Bermain-maindenganmubegini?" Gadis gila itu bertanya dengan nada penuh kebencian dan semangat yang dikenali Mahendra sebagai semangat balas dendam. Gadis itu tertawa. "Kamu ini masih nanya aja! Ah ya aku lupa kamu lupa ingatan! Kamu bahkan nggak ingat siapa aku!"

Diamsebentar. Mahendra penasaran ekspresi macamapa yang ditunjukkan gadis gila itusekarang."Aku nggak suka mengingat kejadian ini, tapi kalau kamu benar-benar lupa, apa boleh buat, akan kukatakan semua yang aku tahu dengan singkat," Sekali lagi ia menjeda.

"Semua inisalah lo!" Mahendra tidak kaget mendengar perubahan cara bicara gadis itu. Mendengar nadanya, sepertinya gadis gila itu memang biasanya ber-gue-elo saat bicara. "Semua ini dari awal, keberadaan gue di sini, semua orang yang mati di sini, semua Nirina dan orang yang harus mati karena menyandang nama itu, semua itu karena lo!"

Mahendra bisa melihat betapa shocknya Nirina mendengar itu. Terutama pasti karena dituduh dirinyalah yang menyebabkan semua kematian sebelum ini.

Tapi itu memang kenyataannya.

Ekspresi terpukul dan bingung Nirina membuatnya tersenyum senang sekali lagi. Dia tidak bisa membayangkan hancurnya hati anak itu mendengar kenyataan pahit ini.

Si gadis gila tertawa. "Gue nggak nyangka bakal liat ekspresi kayak gini dari lo yang sama sekali nggak punya hati! Apa lo sekarang merasa bersalah?" cibir gadis gila itu. "Baru sekarang lomerasa bersalah? Kenapa lo dulu nggak merasa bersalah? Kenapa lo dulu samasekali nggak kasihan sama orang-orang yang udah lo bikin menderita, Pengkhianat?"

Kata pengkhianat itu membuat sebelah alis Mahendra terangkat. Dia sedikit terkejut, tak seperti Nirina yang seperti tersambar petir di siang bolong. "Kalau dia mengatai Nirina pengkhianat artinya... oh aku mengerti sekarang."

"Apa lo tau kalau apa yang kami lakukan sampai saat ini nggak ada apa-apanya dibandingin sama apa yang lo lakuin?" Gadis itu meneruskan. "Dan sebelum gue serahin lo ke Len, gue akan main-main dulu di sini. Tenang, gue nggak akan biarin lo mati. Lo belum boleh mati sampai gue ngizinin lo mati."

Mahendra tersenyum senang walaupun di dalam hatinya ia benar-benar tidak puas. Ia ingin melakukannya sendiri, mencabik-cabik gadis itu dengan tangannya sendiri. Namun begini juga lumayan untuk menghilangkan penatnya. Gadis gila di bawah sana sudah cukup mewakili perasaannya yang ingin melihat gadis itu menderita sebelum mati.

Dan perasaan itu sudah berdiam di dalam dirinya lama sekali sebelum ini.

***

Mahendra tidak akan pernah lupa semua hari-hari itu. Di hidupnya yang panjang sekalipun, kesakitan yang ia rasakan di sana tidak ada bandingannya.

RasendriyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang