Di depan toilet itu, aku melepaskan jaket merahku yang ternyata mulai basah oleh darah di bawahnya. Tenru saja aku melepaskannya dengan hati-hati agar pisauku tidak jatuh dan Devi tidak melihatnya. Gadis itu mengamati perban yang membungkus kedua lenganku. Perban itu sudah merah dan lengket sekali ketika hendak dibuka.
Mata Devi membelalak melihat semua luka-lukaku. Lantas dia beralih ke wajahku dengan ekspresi tak percaya.
"Jangan bilang ini alasan lo selama ini pakai jaket." ucapnya tak percaya.
"Kurang lebih." Aku mengakui. "Tapi nggak begini. Tadinya semua ini cuma bekas luka, terus tau-tau semalam semuanya kebuka."
"Semua?" Devi memekik. "Masih ada lagi?"
Setengah kaget dan heran, aku mengangguk. Kenapa Devi tiba-tiba memekik panik plus kaget begitu?
"Yang kayak kita nggak bisa punya bekas luka kan?" tanyaku memastikan.
Mata Devi masih terpaku pada semua luka-lukaku. Ia menatapnya seolah ini pertama kalinya ia melihat bekas-bekas luka mengerikan itu. "Kalau dengan senjata biasa, nggak. Tapi kalau pakai senjata itu bisa."
"Senjata itu?" Detak jantungku meningkat sedetak mendengar satu hal yang menggantung di akhir pernyataan itu.
Tapi kenapa muka Devi seperti orang mau nepok jidat begitu?
"Ada satu bahan tambang metaloid yang cukup langka. Namanya naurusium. Senyawa belerang dalam bahan tambang itu beracun. Efeknya, buat manusia, instant dead. Buat kita, itu bisa melukai dan sulit pulih sampai meninggalkan bekas luka. Mana perbannya? Kita cuma bisa balut dulu buat sekarang." Aku segera menyerahkan perban yang ada di dalam tasku kepadanya. Dengan gerakan takkalah cepat, dia mulai membalut semua luka-luka itu. "Kalau sampai kebuka lagi begini..."
Devi menatapku curiga. Uh-oh. Ada apa ini? "Kamu... nggak pernah ketemu orang mencurigakan?"
"Mencurigakan gimana?"
"Selalu sendirian, punya bekas luka di dahi?" Yang pertama terdengar sepertiku, tapi yang kedua jelas bukan. Aku menggeleng sebagai jawaban. "Gejala kayak gini cuma mungkin kalau kamu dekat-dekat Aswathama."
Sekarang gantian aku yang melongo. Sejujurnya aku ingin bertanya: orang itu benar-benar ada? Tapi mengingat sudah banyak hal mustahil yang aku lihat belakangan dan mengingat aku satu jenis dengan aswathama, diaada di dunia ini danmasih hidupjuga bukan mustahil. Jadi kuganti pertanyaanku. "Memangnya dia di sini?"
"Aku nggak tau!" Nah lo, kenapa Devi panik? "Kalau udah begini, paling singkat sembuh minggu depan."
Sembuh? Aku bisa sembuh minggu depan? "Ini nggak berbahaya kan?"
Kepahitan muncul di wajah Devi selagi dia membalut lukaku di lengan sebelah kiri. "Aku udah banyak liat orang mati gara-gara gejala ini. Memang nggak semua meninggal. Ada yang benar-benar sembuh. Berdoa saja."
"Kalau boleh aku tau, apa hubungannya gejala ini sama Aswathama?"
"Maksudmu kenapa mesti Aswathama dan kenapa ini terjadi kalau dekat-dekat dia?" Omigod, dia sakti sekali sampai tahu semua pertanyaanku. "Aku juga nggak tau. Karena efek ini, nggak ada chiranjiwin yang mau dekat Aswathama. Orang itu cuma bawa kematian."
"Kamu kayaknya kenal dia."
"Cuma pernah ketemu beberapa kali. Nah!" jawab Devi yang secara bersamaan menyelesaikan pembalutan lenganku. Setelah selesai, dia memandangku lekat-lekat. Tanpa suara sama sekali selain suara napasnya. Namun kutunggu berapa alama pun dia tidak juga bersuara.
"Kamu mau keluar? Di sini bau."
Devi menurutiku tanpa protes. Kurasa dia juga sebenarnya tak betah di dalam sana. Selagi berjalan, aku mengenakan kembali jaketku. Ah ngomong-ngomong soal jaket, pisauku masih ada di sini. Berdasarkan apa yang Devi katakan tadi, ada kemungkinan pisauku dibuat daei metaloid naurusium itu kan?
KAMU SEDANG MEMBACA
Rasendriya
Paranormal[WATTYS AWARD 2016 KATEGORI PENDATANG BARU] Pembunuhan aneh itu membuatku tak pernah tenang. Kenapa tidak? Semua korban pembunuhan itu bernama depan sama denganku: "Nirina". Awalnya aku tidak menanggapinya. Hidupku normal-normal saja sampai bertem...