Chapter 3

128 26 0
                                    

[Name] terus menggerutu, berjalan bolak-balik dengan ekspresi masam di wajahnya. Kedua temannya hanya duduk memandangnya dengan tatapan prihatin. Blue, yang duduk tenang dengan senyum tipis, akhirnya angkat bicara. "Sylus itu memang sangat kaya, [Name]," ucapnya, mencoba meredakan amarah temannya.

Namun, [Name] tampaknya tak peduli. Ia masih dikuasai rasa geram setelah kejadian memalukan di pelelangan kemarin. "Kalau saja tidak banyak orang di sana, aku sudah... ah, lupakan saja! Mengingatnya membuatku semakin kesal!" pekiknya.

Blue dan gadis di sebelahnya hanya tertawa pelan mendengar ucapan [Name]. Mereka sudah lama mengenalnya, dan sangat jarang melihatnya marah seperti ini. Biasanya, [Name] begitu tenang, hampir tak pernah kehilangan kendali, bahkan ketika dihadapkan dengan situasi yang paling menyebalkan sekalipun. Kali ini, bagaimanapun, kemarahannya jelas tak bisa diredakan dengan mudah.

"Pria tua itu! Gara-gara telepon darinya, aku tidak bisa mendapatkan buku itu," gerutu [Name] lagi, kali ini menyalahkan atasannya yang meneleponnya tiba-tiba di tengah-tengah pelelangan, tepat saat ia hampir memenangkan tawarannya. "Aku akan mencukur janggut orang itu kalau bisa!"

Blue hanya menggeleng, senyumnya makin lebar. Di sisi lain, ada seorang gadis berlesung pipi yang duduk santai di sofa-tersenyum riang. "Aku tidak bisa membayangkan dirimu benar-benar melakukannya, Scarlet," ucapnya sambil tertawa kecil.

[Name] memelototinya dengan mata menyipit, tapi senyum tipis tak bisa disembunyikan dari wajahnya. "Oh, aku akan melakukannya, Lovely. Jangan tantang aku," jawab [Name] dengan nada setengah serius, setengah bercanda.

Lovely hanya terkekeh lagi, kemudian bersandar lebih santai di sofa, kepalanya bertumpu pada bahu Blue. Melihat keduanya, [Name] menghela napas pelan. Perhatiannya kemudian beralih ke jam dinding yang menunjukkan waktu hampir pukul satu dini hari. "Sudah jam segini," gumamnya lirih, menyadari betapa larutnya malam.

Matanya melirik ke arah Lovely, dan nada suaranya melembut sedikit. "Jangan bilang dia menginap di ruang mayat lagi?" tanyanya dengan rasa cemas yang samar.

Lovely bergidik, mengingat ruangan mengerikan itu. "Entahlah, dia mungkin sedang berada di minimarket dekat kantor, menikmati mie instan," jawabnya dengan santai.

[Name] mendengus pelan, membayangkan adegan itu dalam pikirannya--dan entah kenapa, hal itu membuatnya ingin tertawa meski ia masih kesal.

Tiba-tiba suara dering ponsel memecah keheningan. Itu adalah ponsel milik [Name], dan ketika dia melihat layar, nama yang tertera membuat wajahnya sedikit berubah. Orang yang baru saja mereka bicarakan sedang meneleponnya.

Dengan cepat, ia mengangkat telepon itu. "Hey, di mana kau? Apa yang sedang kau lakukan?" tanyanya, suaranya sedikit tegang. Di seberang sana, terdengar suara tergesa-gesa dari si penelepon.

"Untuk apa kau membutuhkannya?" seru [Name] dengan nada yang jelas menunjukkan ketidakpercayaan. Ia mendengarkan dengan serius, sementara Blue dan Lovely saling pandang, wajah mereka menunjukkan rasa penasaran yang sama.

Love, yang tak tahan lagi, berdiri dari tempat duduknya dan mendekat pada [Name]. Dia menempelkan telinga ke sisi lain dari ponsel itu, mendengarkan percakapan. Matanya membulat saat mendengar penjelasan dari penelepon di seberang.

"Oh No," ucap Lovely akhirnya, ekspresinya berubah khawatir. "Sepertinya aku harus pergi," keluhnya, matanya menatap [Name] penuh permohonan.

[Name] menutup telepon itu dengan satu desahan panjang, seolah ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. "Kita semua harus pergi," katanya, suaranya datar namun penuh pengertian. "Aku akan buatkan surat izinnya. Kau dan Blue, pergilah lebih dulu ke sana. Aku akan menyusul nanti."

La Vie En Rose || Sylus (Love And Deepspace)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang