Prolog

63 8 4
                                    

Di larang melakukan Screenshoot, Copypaste atau hal lain untuk menyebarkan isi cerita ini tanpa seizin penulis. Plagiarisme adalah tindakan ilegal dan bisa terjerat hukum.

---

"Om Seno? Kenapa gak telpon dulu kalau mau kesini?"

Vanya kaget bercampur bingung, melihat Om Seno yang tiba-tiba datang ke apartemennya. Padahal saat ini dia sudah rapi dan merias wajahnya dengan cantik, untuk bertemu pacarnya Laksana.

"Aku tiba-tiba pengen, ayo layani aku!"

"Tapi Om, Vanya baru aja mau pergi."

"Sejak kapan kamu boleh menolak?"

Seno langsung menarik tubuh Vanya kemudian mendekapnya. Dia menelusuri bagian leher Vanya yang tertutup rambut hitam panjangnya. Memakai mini dress berwarna hitam, serta polesan bibir yang merah menyala, semakin membangkitkan gairah Seno yang sedang butuh belaian wanita.

Meski hal itu mendapatkan penolakan dari Vanya dan berusaha menjauhkan diri dari dekapannya, Seno masih terus berlanjut mencumbunya ke bagian dada hingga meremasnya seakan tak kuasa membendung hasrat yang sudah memuncak.

"Om bisa gak besok aja, aku beneran ada janji."

"Vanya, kamu sudah janji kan, mau menuruti semua permintaanku kalau mau dapat job."

"Iya, tapi om__"

Dengan cepat Seno melumat bibir Vanya secara kasar, hal itu membuat Vanya terpaksa menghentikan bicaranya. Dia membuang tas Vanya yang ada di tangannya kemudian mengenggamnya dengan lembut.

Satu persatu, baju wanita sexi itu di lepasnya, hingga tak ada sehelai kainpun yang tersisa di tubuhnya. Kini Seno dapat melihat dengan jelas, kemolekan tubuh Zivanya yang membuatnya terus tergoda. Dia adalah seorang selebgram cantik, yang berambisi merintis karirnya di dunia acting. Sehingga memilih jalan pintas dengan menuruti nafsu bejat sutradara itu.

Disisi lain, Laksana pacar Zivanya, tengah bersiap menunggunya di sebuah cafe favorit mereka.

Malam ini, Laksana berencana melamar Zivanya yang sudah dipacarinya selama tiga tahun.

Lengkap dengan sepasang cincin pertunangan, serta seikat bunga mawar merah yang tertata rapi di atas meja, Laksana tak sabar menunggu Vanya dan ingin segera melamarnya. Beberapa kali, dia terlihat belajar mengutarakan niatnya.

"Vanya maukah kamu- e'hem - aa, ee - Vanya, menikahlah denganku. Ahh tidak...! Vanya, kita sudah lama pacaran, gimana kalau-" Laksa menghentikan bicaranya, dia tersenyum dan merasa malu pada dirinya sendiri.

Sembari menunggu Vanya yang tak kunjung tiba, Laksa menyibukkan diri dengan merapikan kemejanya, kemudian sesekali menata rambutnya yang sudah terlihat acak.

Dia mulai gelisah, duduknya tak tenang dan jantungnya tak stabil hingga berdegup kencang. Ia terus-menerus mengecek jam yang ada di tangannya. Itu sudah sekitar enam puluh menit berlalu dari waktu yang seharusnya mereka janjikan.

Lalu berkali-kali dia mencoba menelpon Vanya, namun tak pernah ada jawaban. Dia merasa khawatir sehingga memutuskan untuk menyusul Vanya ke apartemennya.

***

Tak lama kemudiam, taxi yang membawanya telah sampai di  apartemen Anandamaya Residences.Laksa berlari menuju lift, kemudian segera naik ke Lantai 11 Kamar 1105. 

Laksa yang sudah sangat hafal dengan sandi apartemen Vanya, begitu mudah menekannya sehingga pintu apartemen itu terbuka dengan cepat.

Matanya membelalak, seketika dia merasa tertusuk seribu pisau. Dia tak percaya dengan apa yang di lihatnya saat ini.

"Omh, aahh, aahhh sudah Omh, sudah dua kali Om Seno keluar. Cukup Omh, Vanya mau pergi, aahh aahh..."

Desahan Vanya terdengar sangat jelas di telinga Laksa. Begitupun matanya, ia dipaksa melihat wajah Vanya yang ikut menikmati permainan lelaki tua itu.

"Tunggu Vanya, aku masih ingin menikmati tubuhmu. Aaahhh, nikmat sekali lubangmu ini Vanya, bikin aku ketagihan dan tak ingin melepasmu. Aaahh aahh, aku tak mau berhenti bercinta denganmu Vanya."

Seno tak henti-hentinya menyodok lubang kenikmatan Vanya dengan kejantanannya. Dia yang berada di atas tubuh Vanya memegang kendali penuh dalam permainan kuda-kudaan ini.

Sementara Laksa masih terdiam, mematung, melihat adegan dewasa yang di lakukan oleh pacarnya itu. Bahkan Laksa saja tak pernah menyentuhnya selain berpegangan tangan. Hatinya kini telah patah seutuhnya, dia menjatuhkan bunga serta cincin yang ada di tangannya. Hal itu membuat Vanya kaget dan melihat ke arahnya. Kini mata mereka saling bertemu. Seketika Vanya shock, dia mendorong Seno untuk segera menghentikan aktifitasnya.

"Laksa..." panggilnya sembari menutup tubuhnya dengan selimut.

Laksa yang merasa telah dihianati memilih segera pergi dan tak menghiraukan panggilan Vanya. Seperti lautan tenang yang tiba-tiba diterjang badai, begitupun hidup Laksa setelah melihat pacar yang akan dilamarnya malah asik bercinta dengan laki-laki lain. Rasa sakit yang ia rasakan tak seperti luka fisik yang mudah disembuhkan dengan waktu, melainkan seperti angin dingin yang akan selalu menusuknya, meski hari demi hari terus berlalu.

 Rasa sakit yang ia rasakan tak seperti luka fisik yang mudah disembuhkan dengan waktu, melainkan seperti angin dingin yang akan selalu menusuknya, meski hari demi hari terus berlalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Zivanya Florence

***

To be continue...

Jangan lupa klik tanda bintang di bawah!

Laksana EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang