Dilarang melakukan Screen shoot, Copy paste atau hal lain untuk menyebarkan isi cerita ini tanpa seizin penulis. Plagiarisme adalah tindakan ilegal dan bisa terjerat hukum.
---
Vanya tertegun di ambang pintu. Wajahnya yang semula cerah mendadak berubah pias. "Om Seno? Kenapa nggak telepon dulu kalau mau ke sini?" tanyanya dengan suara gemetar, berusaha menutupi kegugupannya. Di hadapannya berdiri pria paruh baya itu, mengenakan jas rapi, dengan ekspresi datar yang sulit diterka.
Baru beberapa menit lalu, Vanya masih sibuk di depan cermin, menyempurnakan polesan lipstik merah menyala yang kini terasa terlalu mencolok. Rencananya untuk bertemu Laksana tampak semakin menjauh seiring kehadiran pria ini yang jelas membawa intensi lain.
"Aku tiba-tiba pengen. Layani aku," ujar Seno singkat, nada suaranya terdengar seperti perintah.
"Om... tapi, aku baru aja mau pergi. Aku ada janji," jawab Vanya dengan nada ragu, mencoba mencari alasan.
Seno mengangkat alis, langkahnya maju selangkah mendekati Vanya. "Sejak kapan kamu punya hak untuk menolak aku?" katanya, suaranya tajam namun tetap tenang.
Tanpa memberi ruang untuk penolakan lebih lanjut, Seno menarik tubuh Vanya dengan kasar. Dekapannya erat, aroma parfumnya yang tajam memenuhi indera penciuman Vanya. Pria itu menyingkap rambut panjang Vanya, bibirnya melayang di dekat lehernya, mengabaikan upaya gadis itu untuk melepaskan diri.
"Om, jangan!" seru Vanya panik, tubuhnya memberontak meski tenaganya jauh kalah dibandingkan Seno.
Tangan pria itu bergerak tanpa ragu, menjelajahi bagian tubuh Vanya yang terbalut mini dress hitam. Gairah yang meluap membuatnya kehilangan kendali, meremas dan mencumbu meski Vanya terus berusaha melawan.
"Om, tolong jangan begini!" pinta Vanya lagi, matanya memanas, tubuhnya terus bergeliat, berusaha menjauh dari pria itu.
Namun, hasrat Seno yang sudah mencapai puncaknya membuatnya tak peduli dengan perlawanan Vanya. Ia hanya fokus pada keinginannya, sementara Vanya terjebak dalam ketakutan dan frustrasi, mencari cara untuk menghentikan situasi yang semakin tak terkendali.
Vanya menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan emosi yang bergolak di dadanya. "Om, bisa nggak besok aja? Aku beneran ada janji penting," rengeknya, suaranya bergetar memohon.
Seno menatapnya dengan pandangan tajam, wajahnya tak menunjukkan sedikitpun empati. "Vanya, kamu sudah janji, kan? Kamu bilang bakal turuti semua permintaanku kalau mau dapat job besar," balasnya dingin, dengan nada penuh otoritas.
"Iya, tapi, Om..." kata Vanya lagi, suaranya semakin lirih.
Namun sebelum kalimat itu selesai, Seno menariknya lebih dekat dan melumat bibirnya dengan kasar. Vanya terkejut, tubuhnya menegang, tetapi suaranya tertahan oleh tekanan pria itu. Seno, dengan gerakan tegas, mengambil tas Vanya dan membuangnya ke lantai sebelum menggenggam tangan gadis itu dengan sikap yang bertolak belakang—seolah lembut, tapi penuh kendali.
Satu per satu, pakaian seksi yang melekat di tubuh Vanya dilepaskan, meski ia berusaha menahan. Namun, kekuatannya kalah jauh dari pria itu. Kini, tubuhnya yang molek sepenuhnya terekspos di hadapan Seno. Wajah pria itu dipenuhi hasrat liar saat menatap tubuhnya, seolah Vanya adalah trofi yang harus ia miliki.
Sementara itu, di sisi lain kota, Laksana tengah duduk di sebuah kafe yang menjadi tempat favoritnya bersama Vanya. Ia mengenakan setelan rapi malam ini, lengkap dengan dasi hitam, dan sebuah kotak kecil yang terselip di saku jasnya. Di atas meja, seikat bunga mawar merah yang tertata rapi menunggu kedatangan wanita yang sudah tiga tahun ini menjadi tambatan hatinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana Embun ( On Going Dan Proses Revisi )
RomanceLaksa, mengalami trauma jatuh cinta akibat dihinati pacarnya, Zivanya. Ia rela menyelingkuhi Laksa dengan seorang sutradara demi mengejar karirnya sebagai artis. Akibatnya, Laksa selalu menolak perjodohan yang diatur oleh neneknya, Oma Tari. Sampai...