Bab 7 Luka Lama

11 1 0
                                    

"Mas Laksa mau ke mana? Endak mau nemenin Embun nonton?" teriaknya, memandang pundak Laksa yang meninggalkannya. "Kenapa sih, kok tiba-tiba saja pergi. Ah, masa bodoh. Embun mau nonton sinetron saja," gumamnya sendiri.

Sementara Embun sedang asik menikmati sinetron yang menampilkan artis idolanya, Laksa justru mengurung diri di kamar. Dia berdiri di dekat jendela, menggigiti kuku-kuku jarinya sembari menatap kosong keluar gedung. Pikirannya berputar, kembali menelusuri luka-luka yang pernah ia coba lupakan, tapi kenangan itu tetap ada, mengendap di dasar ingatannya. Dalam batinnya bicara, 'Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia bahagia hidup tanpaku?' Hatinya terasa hampa, penuh dengan rasa kehilangan yang menyesakkan, seakan masa lalu itu masih merenggut bagian dari dirinya yang tak akan pernah kembali.

***

Tok tok..

"Masuk!"

Seorang karyawan wanita yang berasal dari devisi pemasaran, masuk untuk meminta tanda tangan. Laksa segera mengambil pena kemudian menandatangani berkas tersebut.

"Maaf Pak, mengenai lounching produk baru. Apa Bapak ada saran tentang artis yang akan di pakai untuk mempromosikan produk kita?"

"Emm... belum, sih. Baiknya bagaimana?"

"Kami ada ide tentang endorse selebgram saja Pak. Karena zaman sekarang promosi lewat sosisal media lebih cepat meningkatkan penjualan."

"Pakek Mbak Vanya saja Mas..." usul Embun yang sedang membaca koran di sofa.

Seketika mata Laksa terbelalak, lagi-lagi nama itu. Semalaman dia tidak bisa tidur karena terus memikirkan masalalunya yang menyakitkan.

"Ello tu cuma asisten, ngapain loe nyaranin dia?" bantahnya, tersulut.

"Ya, kan, sapa tau Embun bisa sekalian kenalan sama Mbak Vanya," jawabnya murung.

"Apa maksud Kak Embun, Zivanya Florence?"

"Iya, bener, itu dia..." seringainya, antusias.

"Zivanya memang sedang naik daun Pak. Saya rasa gak ada salahnya kalau kita kerja sama dengannya. Mengingat akun sosmednya juga sedang banyak folower."

"Saya akan pikirkan itu nanti ya..."

"Baik pak, saya permisi..."

Laksa mengangguk sembari memberikan dokumen yang sudah ditandatanganinya. Kemudian Embun menghampirinya, sesaat setelah karyawan pemasaran itu pergi.

"Mas, ayo dong, endorse Mbak Vanya, yah?"

"Kenapa sih loe suka sama dia?"

"Dia itu kan cantik, baik..."

"Tau dari mana loe dia baik?" potongnya.

"iya, dari gosip. Hehehe..." seringainya.

"Jangan ketipu sama gosip. Gak semua yang loe liat itu sesuai dengan pikiran loe," sergahnya.

"Ih, kenapa sih, Mas Laksa kayak gak suka banget sama Mbak Vanya?"

"Harusnya gue yang tanya, kenapa loe suka banget sama orang yang belum loe kenal?"

"Uda kenal kok..."

"Dari mana?"

"Dari TV..."

Laksa menarik napas panjang. "Terserah loe deh..."

Laksa mengerutkan kening pada Embun yang tampak begitu membela Vanya. Dengan kesal, ia duduk membelakanginya, seolah enggan memperpanjang perdebatan tentang sosok yang justru mengoyak ketenangan hatinya. Sejak kemarin, pikirannya terus berkecamuk, dihantui bayangan masa lalu yang menampilkan kenangan manis di antara mereka, kenangan yang kian hari semakin sukar ia kubur.

Laksana EmbunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang