Vanya melangkah keluar dari ruangan Laksa dengan langkah gontai. Pandangannya kosong, air matanya masih mengalir, membasahi pipinya. Ia bahkan tak menyadari kehadiran Embun yang melangkah ke arahnya di lorong sempit itu.
"Oh, Mbak..." Embun mencoba menyapa, namun suaranya tertahan ketika melihat mata Vanya yang sembab.
Tanpa menoleh, Vanya terus berjalan. Tangannya sibuk menyeka air mata yang enggan berhenti, seolah ingin segera meninggalkan segala kenangan yang kembali menghantamnya. Langkahnya terburu-buru, menggambarkan keinginannya untuk menjauh sejauh mungkin dari ruang itu—dari Laksa, dan dari luka lama yang tak pernah sepenuhnya sembuh.
Pertemuan singkat dengan Laksa tadi seharusnya menjadi kesempatan untuk merajut hubungan baru, kali ini hanya sebagai teman. Namun, Laksa justru mengajaknya kembali menjalin hubungan. Sebuah tawaran yang tak pernah ia bayangkan akan datang.
Alih-alih merasa bahagia, Vanya dihantui rasa bersalah yang dalam. Ia tahu dirinya tak pantas lagi untuk Laksa. Hidupnya kini penuh dengan noda: lima tahun menjalani hubungan terlarang sebagai simpanan seorang sutradara. Jika Laksa mengetahui kebenaran ini, ia yakin luka yang dulu ditinggalkan takkan pernah sembuh.
Di sisi lain, Embun hanya bisa menatap punggung Vanya yang perlahan menghilang di balik pintu kaca. Wajah sendu itu membuat hatinya diliputi rasa penasaran. "Apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana?" pikir Embun, sembari melanjutkan langkahnya menuju ruangan Laksa.
Saat masuk ke dalam, Embun tertegun. Pemandangan Laksa yang duduk dengan tatapan kosong dan wajah sembap menyambutnya. Jejak air mata masih jelas terlihat di pipi pria itu. Embun berusaha menguasai diri, namun rasa ingin tahu yang besar memaksanya bertanya.
"Mas Laksa... habis nangis, ya?"
Laksa tersentak, seperti tersadar dari lamunannya. Kehadiran Embun seakan menariknya kembali ke dunia nyata. Ia buru-buru mengusap wajahnya, mencoba menghapus jejak emosinya. "Enggak," jawabnya singkat, dengan nada datar yang memaksa.
Embun mendekat. Sorot matanya penuh perhatian, bercampur rasa penasaran. "Tapi mata Mas Laksa merah..." katanya pelan, seolah takut menyinggung.
Laksa diam. Kedekatan Embun membuat pikirannya melayang ke kejadian semalam—saat serangan panik menghantamnya, dan ciuman tak terduga itu terjadi. Ia memalingkan wajah, berusaha menata napas dan emosi yang kembali bergejolak.
"Bun... elo mau gue cium lagi?" gumamnya tanpa sadar. Suaranya nyaris seperti bisikan.
Embun terkejut, wajahnya memerah seketika. Ia buru-buru menjauh. "Mas Laksa masih ingat, kan, kalau semalam Mas cium Embun?" tanyanya, dengan nada setengah tak percaya.
Laksa terdiam. Kata-kata Embun menyadarkannya pada kebodohan yang baru saja ia ucapkan. "Enggak... enggak mungkin. Kapan gue cium elo?" ujarnya tergagap, berusaha menyangkal.
Embun menyipitkan mata, tersenyum kecil. "Ah, Mas malu, ya? Makanya pura-pura lupa," godanya.
Laksa berdeham, mencoba mengalihkan perhatian. "Apaan sih lo? Udah, gue ada meeting sebentar lagi. Siapin dokumen-dokumennya," katanya, dengan nada memerintah.
Meski terlihat tenang, di dalam hati, Laksa tahu persis apa yang terjadi semalam. Ciuman itu—yang tak pernah direncanakan—masih terekam jelas dalam ingatannya. Entah mengapa, meski Embun hanyalah asistennya, kehadirannya mampu membawa rasa nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Embun menghela napas, lalu beranjak mengambil dokumen yang diminta. Meski ia mencoba percaya pada alasan Laksa, ingatan akan kejadian semalam tetap membekas di benaknya. Mungkin saja ciuman itu hanyalah efek dari situasi panik, namun ia tak bisa memungkiri bahwa hatinya mulai merasakan sesuatu yang berbeda setiap kali berada di dekat pria itu.
![](https://img.wattpad.com/cover/378908702-288-k478042.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Laksana Embun ( On Going Dan Proses Revisi )
RomanceLaksa, mengalami trauma jatuh cinta akibat dihinati pacarnya, Zivanya. Ia rela menyelingkuhi Laksa dengan seorang sutradara demi mengejar karirnya sebagai artis. Akibatnya, Laksa selalu menolak perjodohan yang diatur oleh neneknya, Oma Tari. Sampai...