#4 MANY QUESTIONS

172 23 0
                                    

"Sebentar, aku mau ke bawah lagi."

Pangeran menunggu. Kemudian surai basah itu terlihat lagi.

"Ibundamu meminta saran padaku. Aku hampir memiliki 1000 nama yang bagus namun memutuskan untuk memilih 'Draco' sebagai pilihan." Duyung itu tersenyum sembari mengingat waktu dimana Narci datang padanya saat Senja. Wajahnya kelihatan cemberut.

Ternyata, Narci memiliki sebuah masalah yang menyangkut soal buah hati yang tengah dikandungnya itu. Bukan sesuatu yang serius, melainkan bingung perihal memberikan nama saja. Lalu akhirnya pasrah dan berkata bahwa ratu itu siap menerima nama apapun yang akan disarankan oleh dirinya.

Akan tetapi, siapa yang akan mengira kalau Narci benar-benar menamai anaknya itu dengan nama yang ia bantu pilihkan?

Satu lengan pangeran tertekuk di depan dada. Jari-jemarinya terkepal dengan tegas. Membuat gestur seperti ia menghadap ayahandanya saat sedang melapor di kerajaan. "Terima kasih atas kebaikanmu, Harry. Nama yang kau berikan sangatlah cocok untukku."

Harry menggeleng, "bukan apa-apa." Dan mulai menyentil mutiara-mutiara yang dilepaskan dari genggaman tangan sang pangeran.

Pangeran menarik lengannya. "Apa selama ini kau berada di goa ini, Harry?"

"Ya. Narci yang memindahkan aku ke sini."

"Lantas apa kau juga benar-benar sendirian?"

"Aku... sendirian." Nada bicara itu mulai terdengar sendu. Matanya berkaca-kaca. "Terkadang aku berpikir untuk mengakhiri hidup saja. Karena bagaimanapun, rasanya sungguh tidak adil ketika hanya aku yang masih hidup sedangkan keluargaku tidak."

Pangeran merasa iba. Membayangkan dirinya hidup sendirian di dalam goa yang cukup gelap seorang diri dan semua keluarganya mati. Pasti rasanya akan sangat kesepian, hampa. Merasa sangat bersalah.

"Aku memahamimu."

Sang duyung mengangkat wajahnya, menatap rahang yang terlihat begitu sempurna, mengulas senyumnya lagi. Binar matanya terlihat lebih cerah. Merasakan sebuah desiran darah dengan cepat menyebar ke seluruh tubuhnya.

Menghangatkan hati.

"Harry, awalnya aku pikir aku akan kesulitan untuk mencarimu." Jujur pangeran. "Aku pikir akan membutuhkan waktu yang lama untuk menemukanmu."

Harry terkesiap, lantas menarik diri. Senyumnya langsung luntur. "Kenapa kau mencariku?" Nadanya curiga, pun sedikit terbata karena gugup.

"Tentu saja aku harus mencarimu. Aku merasa bertanggung jawab untuk semua hal yang telah terjadi padamu, Harry."

"Kau tidak bersalah." Timpal Harry. "Tidak perlu merasa begitu."

Pangeran menunduk dengan ekspresi sedih. Hanya bisa menatap mutiara-mutiara di telapak tangannya lagi.

Bibir Harry melengkung ke bawah. Ekspresinya ikut berubah. "Aku serius, pangeran. Kau tidak perlu bertanggung jawab atas apapun. Lagipula aku sama sekali tidak mengingat wajah manusia-manusia yang telah mengambil keluarga dan saudara-saudaraku. Ingatanku menjadi kabur saat kepalaku terhantuk batu besar kala itu."

"Apakah kau sempat ditangkap?!" Panik pangeran.

"Tidak." Duyung itu mendekati pangeran lagi. "Namun aku hampir tertangkap. Saat sebuah jaring besar terbentang, aku sudah berenang menjauh dari jangkauan. Menghindari beberapa benda setajam duri berukuran besar yang terus datang dari atas. Lalu karena terlalu cepat berenang dan hilang fokus, aku akhirnya menabrak batu besar dan jatuh tak berdaya di antara batu besar lainnya. Kau bisa sebut ini sebagai sebuah keberuntungan, namun aku merasa... apa yang terjadi padaku adalah sebuah kesialan. Aku benar-benar tertutup dengan batu besar sehingga mereka tidak menemukanku."

Pangeran mendengarkan dengan baik dan saksama. Memahami penderitaan itu. Dirinya jadi ikut terbawa suasana.

Ini bukanlah hal yang baik untuk diucapkan dari posisinya, namun..

"Menurutku itu bukanlah sebuah kesialan atau keberuntungan, melainkan sebuah takdir." Pangeran mulai memasukkan mutiara-mutiara kecil di saku doubletnya. Walau ia sudah memiliki banyak di istana, tapi hanya mutiara-mutiara ini yang diberikan langsung oleh seorang duyung kepadanya. Jadi, ia ingin menyimpannya dengan baik. "Takdir bahwa alam masih menginginkan bangsamu untuk tetap hidup di dunia."

Duyung itu mengangguk kecil. Lagi, ia berenang ke bawah dan kembali ke hadapan pangeran untuk kesekian kalinya.

"Kenapa alam masih menginginkan bangsaku untuk tetap hidup jika hanya aku saja yang tersisa? Bagaimana aku akan meneruskan keturunan kalau pasanganku saja tidak ada?" Keluhnya.

Sejujurnya, ia mau sekali melanjutkan keturunan duyung. Ia mau sekali berkembang biak dan kembali membangun keluarganya. Hanya saja itu terdengar mustahil. Karena di dunia ini sudah tidak ada duyung lainnya. Tidak ada yang bisa ia jadikan pasangan hidup.

"Benar juga," gumam pangeran. Lalu asal bertanya. "Omong-omong, apakah kau bisa menikahi seorang manusia?"

Duyung itu refleks melebarkan matanya. "T-tidak bisa! Aku ini duyung jantan! Aku tidak bisa melaksanakan perkawinan dengan manusia betina. Itu tidak akan menghasilkan apa-apa jika benih yang ku tanam ada di tubuh si manusia dan bukan di tubuh ku sendiri!"

Pangeran mendadak berpikir dan menyimpulkan sesuai kemampuan otaknya. "Jadi kesimpulannya adalah... kau tidak bisa melaksanakan perkawinan dengan wanita karena jika anak itu ada sekalipun, anak itu akan terlahir aneh atau cacat jika berada di dalam rahimnya?"

Harry mengangguk kecil. "Ya.."

"Maka, itu berarti... yang kau butuhkan adalah manusia jantan atau laki-laki dewasa seperti diriku yang bisa menanam benih di dalam tubuhmu? Membiarkan kau yang mengandung. Apa benar begitu, Harry?"

Terkesiap. "Ya.. semacam itu.."

"Kalau begitu apa kau berkenan untuk tinggal di istana bersamaku?" Pangeran sekali lagi bertanya tanpa berpikir panjang. "Aku harus menjagamu dari jarak yang dekat terlebih dahulu untuk memastikan bahwa dirimu aman."

[ ••• ]

by hyakudrarry, 2024.

The Last Descendants - DRARRY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang