Bab 28: Jarak yang Tumbuh
Setelah malam yang penuh kecemasan itu, hubungan antara Alya dan Raka semakin sulit untuk ditebak. Mereka tidak lagi sesering dulu bertukar kabar, dan setiap pertemuan mereka terasa seperti sebuah upaya yang terpaksa. Meski Raka selalu meyakinkan bahwa dia peduli, Alya merasa ada tembok yang perlahan tapi pasti mulai terbentuk di antara mereka.
Hari itu, Alya duduk di balkon kamar kosannya, memandang langit yang mulai gelap. Di tangannya, ponsel terus digenggam, berharap ada pesan atau panggilan dari Raka, tapi layar tetap kosong. Sudah hampir seminggu sejak terakhir mereka benar-benar bicara dari hati ke hati. Dan sejak saat itu, segala hal terasa semakin asing.
Alya menarik napas panjang. "Apa aku yang terlalu berlebihan?" gumamnya, mempertanyakan keputusannya untuk terus menunggu Raka. Pikiran itu berkecamuk, memikirkan semua yang telah mereka lewati bersama. "Mungkin ini cuma fase... Mungkin semua akan baik-baik saja."
Namun, jauh di dalam hatinya, Alya tahu bahwa perasaannya tidak lagi sesederhana itu. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu membuatnya merasa aman dan nyaman di sisi Raka. Tapi sekarang, setiap percakapan mereka dipenuhi jarak, baik yang terlihat maupun yang tak kasat mata.
Suatu sore, Alya memutuskan untuk mencari udara segar di luar, berjalan-jalan sendirian di taman kota. Suara angin yang lembut dan dedaunan yang bergoyang seakan-akan menjadi penghibur sementara dari rasa cemas yang menggelayuti hatinya. Di sudut taman, Alya melihat sekelompok anak-anak kecil yang sedang bermain bola, tertawa lepas tanpa beban. Sebuah pemandangan yang kontras dengan apa yang dia rasakan saat ini.
Saat sedang berjalan, tiba-tiba ponsel Alya bergetar. Nama Raka muncul di layar. Alya sejenak berhenti dan mengangkat telepon dengan cepat.
"Halo?" suaranya terdengar pelan.
"Alya... Kita bisa ketemu sekarang?" suara Raka di seberang terdengar berat.
Alya sejenak terdiam. Ini kali pertama Raka memintanya bertemu setelah sekian lama. "Sekarang? Di mana?"
"Di tempat biasa, kafe yang sering kita kunjungi."
"Okay, aku ke sana sekarang," jawab Alya, tanpa berpikir panjang. Meskipun perasaan ragu masih menghantui, Alya tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Mungkin ini adalah kesempatan mereka untuk memperbaiki semuanya.
Setibanya di kafe, Alya melihat Raka duduk di meja pojok yang biasa mereka tempati. Wajahnya terlihat lelah, matanya sedikit sayu. Alya bisa melihat bahwa ada beban yang sedang dipikul oleh Raka, namun dia tidak tahu apa itu.
"Hai," sapa Alya ketika duduk di depannya.
Raka mengangguk pelan. "Hai."
Keduanya terdiam untuk beberapa saat, tidak tahu harus mulai dari mana. Percakapan yang dulu terasa alami kini dipenuhi kecanggungan.
Akhirnya, Alya yang pertama kali berbicara. "Kamu kelihatan capek. Ada yang mau kamu ceritain?"
Raka memandang ke arah meja, tidak langsung menjawab. "Banyak yang terjadi akhir-akhir ini. Ayah masih sakit, kondisi keluargaku juga makin nggak jelas. Aku nggak tahu harus ngapain lagi, Alya."
Alya merasakan simpati yang dalam, namun di balik itu ada perasaan frustrasi yang sulit dia abaikan. "Kamu nggak pernah cerita apa-apa sama aku, Raka. Aku tahu kamu lagi banyak masalah, tapi aku di sini buat kamu. Tapi kamu terus aja ngejauh."
Raka menghela napas, kemudian menatap Alya. "Aku nggak sengaja ngejauh. Aku cuma nggak mau bebanin kamu sama masalah-masalahku."
"Itu bukan alasan, Raka. Aku ada buat kamu, dan aku mau kamu terbuka sama aku. Kalau kamu terus menutup diri, aku nggak tahu gimana hubungan kita bisa lanjut."
Perkataan Alya menggantung di udara. Hati Raka terasa tersentak mendengar kejujuran Alya, tapi dia juga tahu bahwa apa yang dikatakan Alya benar. Selama ini, dia merasa bahwa menyimpan semuanya sendiri adalah solusi yang lebih baik, tapi sekarang dia melihat bagaimana keputusan itu telah mempengaruhi hubungannya.
"Alya... aku minta maaf. Aku beneran nggak bermaksud kayak gini," ucap Raka akhirnya. "Aku cuma ngerasa terlalu banyak hal yang harus aku urusin, sampai-sampai aku lupa gimana caranya jadi diri aku sendiri. Dan mungkin, aku juga lupa gimana caranya ada buat kamu."
Alya mendengarkan dengan hati yang terbuka, namun dia tahu ini lebih dari sekadar permintaan maaf. "Aku ngerti kamu lagi banyak pikiran, tapi masalahnya sekarang adalah kita nggak bisa terus kayak gini, Raka. Kita perlu bicara lebih terbuka, lebih jujur satu sama lain. Kalau nggak, aku nggak tahu gimana hubungan kita bisa bertahan."
Raka terdiam sejenak, menatap Alya dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada rasa bersalah di matanya, tapi juga ketidakpastian. "Mungkin... mungkin kita butuh waktu untuk masing-masing dulu."
Kata-kata Raka bagaikan petir yang menyambar hati Alya. Dia tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. "Waktu untuk masing-masing?" tanya Alya, suaranya mulai gemetar. "Kamu serius?"
Raka menundukkan kepala, seakan-akan dia sendiri tidak yakin dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya. "Aku cuma ngerasa... aku nggak bisa jadi orang yang kamu butuhin sekarang. Aku masih harus ngurusin banyak hal, dan aku nggak mau nyakitin kamu dengan terus-terusan ngejauh."
Alya tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia tahu bahwa hubungan mereka sedang berada di titik yang sulit, tapi dia tidak pernah menyangka Raka akan mengatakan hal ini. "Jadi kamu mau kita... pisah?" tanyanya pelan.
Raka tidak langsung menjawab. "Aku nggak tahu, Alya. Aku cuma ngerasa kalau terus kayak gini, kita malah akan saling nyakitin. Mungkin kita perlu waktu untuk berpikir, untuk... memperbaiki diri masing-masing dulu."
Alya merasa dunianya runtuh. Dia tidak pernah berpikir bahwa hubungannya dengan Raka akan berakhir seperti ini—dengan ketidakpastian, dengan jarak yang semakin lebar. "Kalau itu yang kamu mau, Raka... aku nggak akan maksa kamu untuk tetap sama aku."
Suasana di antara mereka begitu sunyi, seolah-olah kata-kata yang diucapkan barusan telah membangun tembok yang tak terlihat di antara keduanya. Raka menatap Alya dengan penuh penyesalan, namun dia tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaikinya. "Maaf, Alya," hanya itu yang bisa dia ucapkan.
Alya mengangguk pelan, kemudian bangkit dari tempat duduknya. "Aku akan kasih kamu waktu, Raka. Tapi aku nggak tahu sampai kapan aku bisa terus nunggu."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Alya berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Raka yang masih duduk di sana dengan hati yang penuh dilema. Dia tahu bahwa dia telah membuat keputusan yang berat, tapi dia juga tidak yakin apakah keputusan itu adalah yang terbaik.
Di luar kafe, air mata Alya mengalir deras. Mungkin inilah akhirnya, pikirnya. Mungkin ini adalah titik di mana segalanya tidak lagi bisa kembali seperti dulu. Dia tahu bahwa dia harus kuat, tapi untuk saat ini, dia hanya ingin menangis dan meratapi perasaannya yang hancur.
Beberapa hari kemudian, Raka benar-benar menjauh. Pesannya jarang masuk, dan ketika mereka berbicara, semuanya terasa canggung. Alya mencoba menjalani harinya seperti biasa, tapi setiap kali dia mengingat percakapan terakhir mereka, hatinya terasa sakit. Dia tidak tahu apakah ini hanya sementara, atau apakah ini benar-benar akhir dari segalanya.
Namun, di tengah kesedihan itu, Alya berusaha untuk tetap kuat. Dia tahu bahwa hidup tidak akan berhenti hanya karena hatinya terluka. Dan meskipun Raka adalah bagian penting dari hidupnya, Alya tahu bahwa dia harus mulai belajar untuk hidup tanpanya—setidaknya untuk sementara waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twilight whisper
RandomAlya, seorang gadis ceria dengan semangat yang tinggi, selalu percaya bahwa cinta sejati hanya ada di dongeng. Namun, semua berubah ketika dia bertemu dengan Raka, seorang pria dingin dan tertutup yang tak pernah menunjukkan perasaannya pada siapa p...