Bab 23: Perasaan yang Semakin Tumbuh
Waktu terus berjalan, meski rasanya lambat bagi Raka. Rutinitasnya di rumah sakit semakin melelahkan, namun kehadiran Alya di sampingnya menjadi penyemangat tersendiri. Setiap hari, Raka semakin bergantung pada Alya. Kehadiran Alya bukan hanya sebagai teman di masa sulit, tapi juga seseorang yang mampu menenangkannya di tengah badai yang bergejolak dalam hidupnya. Namun, semakin lama ia merasakan ketergantungan ini, semakin ia menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih dalam yang ia rasakan.
Alya, di sisi lain, juga merasakan perubahan. Meski awalnya ia hanya ingin membantu Raka sebagai teman, kini hatinya mulai bergetar setiap kali pria itu tersenyum padanya, atau ketika Raka dengan penuh perhatian mendengarkan setiap kata yang ia ucapkan. Namun, Alya sadar bahwa ia tidak boleh terburu-buru. Raka sedang menghadapi begitu banyak masalah dalam hidupnya, dan yang terakhir ia butuhkan adalah tambahan komplikasi berupa perasaan romantis yang tak terucapkan.
Pagi itu, Alya dan Raka kembali bertemu di rumah sakit. Ayah Raka masih dalam masa pemulihan, namun kondisinya stabil. Meskipun demikian, kecemasan masih tampak jelas di wajah Raka. Alya bisa merasakannya.
"Kamu kelihatan lelah," ujar Alya lembut, sambil menyerahkan kopi yang baru ia beli untuk Raka. "Kamu tidak tidur lagi tadi malam?"
Raka menghela napas, menerima kopi tersebut dan menyesapnya perlahan. "Aku tidur, tapi tidak bisa benar-benar nyenyak. Rasanya selalu ada hal yang mengganggu pikiranku."
Alya menatapnya dengan penuh perhatian. "Apa yang kamu pikirkan? Mungkin kalau kamu cerita, itu bisa sedikit meringankan bebanmu."
Raka terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke depan. "Aku hanya... Aku khawatir tentang semuanya. Ayah, masa depan... Dan, aku juga mulai memikirkan kita."
Perkataan Raka membuat hati Alya berdetak lebih cepat. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Raka mengatakannya. Namun, Alya menahan diri untuk tidak bereaksi terlalu berlebihan. "Apa maksudmu dengan 'kita'?"
Raka menoleh, menatap mata Alya dengan pandangan serius. "Alya, kamu sudah melakukan begitu banyak untukku. Kamu selalu ada di sini, lebih dari siapa pun. Aku merasa... Aku mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam untukmu."
Alya terkejut, meskipun ia sebenarnya sudah mulai merasakan hal yang sama. Namun, ia tidak siap mendengarnya sekarang, terutama di tengah semua masalah yang masih dihadapi Raka. "Raka, aku..."
Raka menatapnya dalam-dalam, menghela napas sebelum melanjutkan. "Aku tidak ingin membebanimu dengan perasaanku. Aku hanya ingin kamu tahu, Alya, aku sangat menghargai kehadiranmu. Tapi aku tidak ingin membuatmu terjebak dalam situasi yang rumit."
Alya merasakan hatinya berdesir. Ia memang merasakan hal yang sama, tapi di saat yang sama, ia juga memahami kekhawatiran Raka. Mereka berdua sedang berada di tengah badai hidup, dan membawa perasaan romantis ke dalamnya mungkin hanya akan memperumit keadaan.
"Raka," Alya mulai, suaranya lembut namun tegas. "Aku juga merasakan sesuatu untukmu. Tapi aku setuju, ini bukan waktu yang tepat untuk kita memikirkan hal ini. Kita berdua sedang menghadapi banyak hal, terutama kamu. Aku tidak ingin kita membuat keputusan yang tergesa-gesa karena emosi sesaat."
Raka mengangguk pelan, meski ada sedikit kekecewaan di matanya. "Aku mengerti, Alya. Mungkin kamu benar. Kita bisa fokus pada yang lebih penting dulu."
Alya tersenyum tipis, merasa sedikit lega bahwa percakapan ini tidak mengubah dinamika di antara mereka. "Kita punya banyak waktu, Raka. Kita tidak perlu terburu-buru."
Hari-hari berikutnya terasa seperti angin yang sepoi-sepoi. Kehadiran Alya tetap menjadi sandaran bagi Raka, namun kini ada perasaan yang belum terselesaikan di antara mereka. Raka tak bisa berhenti memikirkan pengakuannya, meskipun Alya bersikap seperti biasa. Ia tak pernah menyesali kata-katanya, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang merindukan jawaban lebih dari sekadar penundaan.
Suatu sore, setelah seharian di rumah sakit, Alya mengajak Raka untuk berjalan-jalan di taman yang pernah mereka kunjungi. Raka setuju, meskipun pikirannya masih penuh dengan kekhawatiran tentang ayahnya.
"Aku tahu kamu masih khawatir, tapi aku pikir kamu perlu sedikit bersantai," kata Alya sambil tersenyum, berusaha mengangkat suasana.
Raka hanya mengangguk, meskipun senyumnya tidak secerah biasanya. "Terima kasih, Alya. Kamu selalu tahu kapan aku butuh istirahat."
Mereka berjalan berdua di sepanjang taman, menikmati angin sore yang lembut. Suasana di sekitar mereka tenang, dan sejenak mereka bisa melupakan semua masalah yang sedang dihadapi. Namun, di dalam hati Raka, ada perasaan yang semakin menguat. Ia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya pada Alya. Setiap momen bersama gadis itu membuatnya semakin yakin bahwa Alya adalah orang yang tepat untuknya. Namun, ia juga tahu bahwa ia harus menunggu waktu yang tepat.
"Alya," panggil Raka tiba-tiba, menghentikan langkah mereka.
Alya menoleh, matanya penuh dengan rasa penasaran. "Ada apa?"
Raka menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Aku ingin kamu tahu, meskipun kita belum membahasnya lebih lanjut, aku tidak akan menyerah pada perasaanku. Aku tahu kita memutuskan untuk menunggu, tapi aku ingin kamu tahu bahwa aku serius."
Alya terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Raka. Ia merasa hatinya bergetar mendengar ketulusan Raka. Meskipun ia juga memiliki perasaan yang sama, ia tidak ingin terburu-buru. "Aku tahu, Raka. Dan aku menghargai itu. Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, kita perlu waktu."
Raka tersenyum tipis, meskipun ada sedikit kegetiran di dalamnya. "Aku akan menunggu, Alya. Aku hanya ingin kamu tahu itu."
Alya merasakan hatinya melembut mendengar ketulusan Raka. Ia tahu bahwa pria di depannya ini tidak akan pernah menyerah begitu saja. Tapi, ia juga tahu bahwa mereka perlu waktu untuk menyelesaikan semua yang sedang mereka hadapi sebelum bisa benar-benar memulai sesuatu yang baru.
Malam itu, setelah kembali dari taman, Alya merenung. Ia memikirkan kata-kata Raka dan perasaan yang tumbuh di dalam hatinya. Ia tahu bahwa ia juga mencintai Raka, tetapi ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa mereka berdua masih harus menghadapi banyak hal sebelum bisa benar-benar bersama.
Sementara itu, di rumahnya, Raka juga merenungkan perasaannya. Ia merasa bersyukur bahwa Alya ada di sisinya, tetapi di dalam hatinya, ia juga merasa sedikit cemas. Apakah mereka akan bisa bersama setelah semua ini? Apakah perasaan mereka akan tetap sama setelah semua masalah ini berlalu?
Namun, satu hal yang pasti bagi Raka: ia tidak akan pernah menyerah. Alya adalah cahaya di tengah kegelapannya, dan ia bertekad untuk menjaga cahaya itu tetap bersinar, tidak peduli seberapa sulit jalannya.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twilight whisper
AcakAlya, seorang gadis ceria dengan semangat yang tinggi, selalu percaya bahwa cinta sejati hanya ada di dongeng. Namun, semua berubah ketika dia bertemu dengan Raka, seorang pria dingin dan tertutup yang tak pernah menunjukkan perasaannya pada siapa p...