🌊BAB 16🌊

40 29 22
                                    

      ‧ ︵‿₊୨୧₊‿︵ ‧ ˚ ₊  ꒰ Happy Reading ꒱  ︶⊹︶︶୨୧︶︶⊹︶

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

      ‧ ︵‿₊୨୧₊‿︵ ‧ ˚ ₊
  ꒰ Happy Reading ꒱
  ︶⊹︶︶୨୧︶︶⊹︶

Pagi bergulir menjadi siang tanpa terasa. Ashley masih terlelap, terbungkus dalam selimut tebal, tanpa menyadari kekacauan yang sedang terjadi di luar sana. Ketika akhirnya ia menggeliat dan membuka mata, sosok seorang pria berdiri di depan ranjangnya, menatapnya dengan ekspresi campuran antara kesal dan geli. Sosok pria itu adalah Liam.

Ashley terlonjak kaget. "Lo ngapain di sini, anjing? Mau nyusup, ya lo?" serunya dengan nada setengah bingung dan setengah marah.

Liam hanya tersenyum tipis, namun di balik senyum itu, ada nada jengkel yang jelas terasa. "Heh, neng geulis. Tingali ayeuna jam sabaraha?" (Heh gadis cantik. Lihat sekarang jam berapa?) tanyanya sambil melirik ke arah jam dinding.

Ashley buru-buru menoleh, dan betapa terkejutnya ia melihat angka di sana menunjukkan pukul 1 siang.

"Anjing! Kok lo nggak call gue sih?" Ashley mendesis kesal, buru-buru duduk di tepi ranjang.

Liam tertawa kecil, menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. "Asal lo tau ya, gue sama yang lain udah spam chat sama call dari tadi pagi. Tapi lo nggak jawab satu pun."

Ashley segera meraih ponselnya, membuka layar, dan mendapati puluhan notifikasi bertumpuk pesan dan panggilan dari Liam dan teman-temannya. Ia mengerang pelan, merasa bersalah. "Sorry, bang gue nggak liat hape," ujarnya sambil buru-buru turun dari ranjang.

Liam mendengus pelan, bersandar di dinding kamar sambil melipat tangan di dadanya. "Hadeh, cantik-cantik kok kebo sih..." gumamnya dengan nada menggodanya.

Ashley hanya mendelik kesal sambil melangkah cepat menuju kamar mandi. "Tunggu aja ya, Liam! Lo bakal gue balas nanti!" teriaknya dari balik pintu kamar mandi, diiringi suara air yang mulai mengalir.

Liam hanya terkekeh, menunggu dengan sabar. Dia tahu, meski gadis itu menyebalkan dengan kebiasaannya yang selalu tidur keterlaluan lama, Ashley tetaplah Ashley seseorang yang membuat setiap momen, bahkan yang paling merepotkan sekalipun, jadi terasa menyenangkan.

────୨ৎ────

Ashley dan Liam tiba di markas LAVRIOZ saat suasana masih cukup sepi. Sadewa segera meraih ponselnya, menelepon seseorang.

"Halo, Bang Arsen," sapa Sadewa di ujung telepon.
"Halo, Sawa. Aya naon?" (Halo, Sawa. Ada apa?) sahut suara Arsenio dari sana.
"Bang, datang ke markas dulu ya, tapi sendiri aja. Penting," kata Sadewa.

Arsenio mengerutkan kening, merasa aneh. Tumben Sadewa memintanya datang terburu-buru. Penasaran, ia langsung menyanggupi.
"Oke, oke, aing otw." (Oke gue otw)

Perjalanan dari Bandung ke Jatinangor bukan hal baru bagi Arsenio. Ia tak ngekos di Jatinangor, sehingga setiap hari harus bolak-balik ke Bandung untuk kuliah. Kadang, kalau malas pulang, ia memilih menginap di markas LAVRIOZ. Perjalanan yang melelahkan, tapi semua itu terasa sepadan ketika ia bisa berkumpul dengan teman-temannya.

Setibanya di markas, Arsenio tertegun. Sosok yang tak ia duga muncul di sana. Ternyata itu adalah adik perempuannya, Ashley.

"Ashley? Kok lo di sini?" tanyanya heran.

Sebelum Ashley sempat menjawab, Ethan menyela dengan nada bercanda."Dia tuh sekarang ibu ketua di sini."

"Lah, lo sama Liam pacaran ya?" Arsenio melirik mereka berdua bergantian.

Liam cepat-cepat menjawab."Enggak, Bang. Gue nggak pacaran sama Ashley. Cuma emang dia sering main ke sini aja."

Obrolan mereka perlahan mereda. Suasana berubah sunyi, seolah ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Arsenio merasa aneh dengan keheningan itu.
"Kalian kenapa tiba-tiba pada diem?" tanyanya, curiga.

Matheo menatap Ashley sejenak, lalu berkata, "Ash, ngomong empat mata dulu sana sama abang lo."

Ashley mengangguk. "Bang, ikut gue ke belakang,"

Arsenio mengangkat alis, bingung. "Oke?"

Mereka berdua berjalan ke belakang markas, menyisakan teman-teman yang terus menunggu di ruang utama. Setiba di belakang, Arsenio bersandar pada dinding dan menatap Ashley penuh tanda tanya.
"Apa yang mau lo omongin, Aley?" tanyanya,

Aley adalah nama panggilan Ashley yang dibuat oleh Arsenio sejak mereka kecil.

Ashley menarik napas dalam-dalam. Wajahnya tampak serius, tapi ada kepedihan di matanya."Bang, lo percaya gitu aja sama rekaman suara yang Grisella kasih?"

Pertanyaan itu mengejutkan Arsenio. "Ya, gue percaya. Lo kan udah merestui hubungan gue sama Grisella, kan?"

Ashley menatapnya tajam, matanya mulai berkaca-kaca."Itu bukan suara gue, bang. Grisella bikin rekaman itu pakai AI supaya terdengar kayak suara gue."

Arsenio membeku. Rasanya seperti ditampar kenyataan yang tak ia duga sama sekali. "Aley... maafin abang." Tanpa berpikir panjang, ia memeluk Ashley erat.

"Abang nggak tahu kalau ini bagian dari rencananya Grisella. Abang bakal segera beresin ini. Abang kecewa banget sama dia."

Ashley mengusap matanya yang sedikit basah. "Mau lihat buktinya, Bang?"

Tanpa ragu, Ashley membuka ponselnya dan menunjukkan bukti-bukti nyata di depan mata Arsenio. Seketika, semua penyangkalan di benak Arsenio hancur. Ia tak menyangka telah begitu mudah dibohongi.

"Maafin abang, Ashley. Abang terlalu percaya sama dia," ucapnya, penuh penyesalan.

Ashley tersenyum tipis. "Gue udah maafin lo bang."

Mereka berdua kembali ke ruang utama, bergabung dengan yang lain. Ethan yang penasaran segera bertanya. "Gimana, Ash?"

"Aman," jawab Ashley singkat, namun lega.

Tak lama kemudian, Arsenio berpamitan. "Barudaks, aing balik duluan ya."

Matheo memandangnya heran. "Loh, kenapa buru-buru? Jaga emosi lo Arsen. Jangan langsung hakimi Grisella."

Ethan menimpali dengan nada serius. "Iya, Arsen. Jangan kebawa emosi. Gue takut lo malah ngelakuin yang enggak-enggak ke Grisella."

Arsenio hanya menggeleng. "Gue beneran pulang ke Bandung dan gaakan nemuin Grisella buat saat ini."

Sadewa menyipitkan mata. "Masih teu ngekos di Nangor, teh?" (Masih gak ngekos di Nangor?)

Arsenio menghela napas panjang. "Hoream. Mending langsung balik aja ke Bandung." (Males mending langsung balik ke Bandung)

Matheo mencoba menahannya. "Eh, join aja di kosan gue sama Sadewa."

Arsenio tersenyum tipis. "Sempit ah. Kapan-kapan gue nginep di apartemen si Liam aja."

"Hmm, sok atuh," jawab Liam dengan nada setuju.

Arsenio lalu melangkah keluar markas, meninggalkan mereka semua dengan pikiran-pikiran yang belum sepenuhnya selesai. Kepergiannya menyisakan rasa penasaran di hati teman-temannya, namun mereka tahu Arsenio butuh waktu untuk menenangkan diri sebelum menghadapi Grisella.

To be continue..

Pacific and Love (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang