8☕

5 2 1
                                    

Setelah berkutat sekitar  satu jam lebih di dapur dengan segala peralatan dan bahan untuk memasak, kini Lentera mulai menyusun satu persatu piring berisi berbagai lauk pauk yang terlihat begitu nikmat dan lezat serta menggugah selera makan.

"Wih, masakan anak mamah keliatan enak semuanya. Pinter banget, sih!" Seru Luvita yang begitu takjub setelah melihat berbagai piring tersaji dengan masakan yang berbeda-beda. Luvita mengambil alih salah satu piring yang masih berada di tangan Lentera, membuat Lentera sedikit tak kerepotan.

"Terima kasih, karna mamah udah bantu Tera. Padahal harusnya tinggal duduk manis aja udah beres. Sisanya mamah tinggal nikmatin masakan Tera," tutur Lentera. Tangannya gesit menata kembali piring-piring di atas meja makan agar terlihat lebih rapi. Cekatan dan lihai.

Di sisi paling tengah, tak pernah terlupakan satu kotak kerupuk yang menjadi pelengkap paling wajib di keluarga Luvita.

"Udah siap semuanya, ayok makan." Lentera hendak duduk manis. Ia menggulung lengan bajunya, melepas celemek yang masih dipakainya.

"Nanti dulu, Tera. Kamu mending ganti baju dulu. Yang bagus sekaligus rapi dan elegan," cegah Luvita. Ia meminta Lentera untuk segera mengganti pakaian. Sebab, baju yang tengah Lentera pakai hanyalah baju kaus yang hanya memiliki harga berkisar lima puluh ribu. Meskipun murah, namun tak menutup kecantikan yang terpancar dari diri seorang Lentera.

"Mau makan doang kenapa harus ganti baju? Kayak mau makan di luar aja deh," cibir Lentera. Ia sangat malas jika harus kembali ke kamar dan mengganti baju dengan tubuhnya yang tercium bau bawang.

"Udah nurut aja kalo kamu nggak mau malu sama tamu kita malam ini. Mau nurut atau mau malu?" Tuntut Luvita sembari menaik-turunkan alisnya. Lentera terkejut tentunya. Kenapa Luvita baru memberitahunya sekarang?

Suara bel di depan kian terdengar di telinga Lentera. "Mamah ih, kok nggak ngasih tau Tera dari tadi? Huwaa, kalo kayak gini kan Tera harus mandi dulu. Badan Tera bau bawang," pekik Lentera. Ia berlari terburu-buru masuk ke dalam kamar. Bergerak cepat mengambil handuk, peralatan mandi, dan juga baju ganti sekaligus. Mandi sepuluh menit tidak akan menjadi masalah baginya, bukan? Iya, jika Luvita tak mengoprak-oprak untuk menyuruhnya lebih cepat.

Luvita berjalan cepat menuju ke luar rumah, hendak membukakan pintu. Gerbang sudah dibukakan oleh satpam yang berjaga di luar.

Saat Luvita membuka pintu, terlihat dengan jelas keanggunan wanita paruh baya yang masih terlihat begitu cantik. Secantik saat muda, hampir seperti tak pernah menua. Mungkin keriput enggan untuk singgah di kulit wanita paruh baya itu.

"Masyaallah cantik sekali tetanggaku yang satu ini," puji Luvita menumbuhkan senyum bahagia di wajah si lawan bicara. Mereka saling berpelukan erat, seperti seorang sahabat yang baru bertemu setelah sekian tahun, meskipun mereka baru kenal beberapa hari yang lalu. Ikatan mereka begitu kuat, melebihi seorang teman yang sudah berteman bertahun-tahun.

"Yang muji juga nggak kalah cantik," timpa Maira. Ya, tamu Luvita malam hari ini adalah Maira. Tamu spesial yang luvita undang secara langsung dengan senyuman syahdunya.

"Ahaha, bisa aja. Eh bentar, putramu mana? Kok nggak keliatan?" Netra Luvita berpendar mencari keberadaan Raska. Maira memang tamu spesialnya, namun yang paling ditunggu-tunggu olehnya adalah Raska.

"Nyusul katanya, tadi ada temennya dateng. Katanya mau nanyain sesuatu, palingan cuma bentar." Maira menjawab dengan senang hati. "Putrimu mana? Aku belum pernah liat, loh. Tapi kayaknya cantik banget, soalnya Raska aja sampe kepelet," ujar Maira.

Luvita menepuk pundak Maira diselingi tawa yang mengalun merdu. "Lagi mandi, yang masak menu makan malem kali ini semuanya dia. Jadi, tadi pas dikasih tau kalo ada tamu spesial dia langsung ngacir ke kamar mandi. Katanya bau bawang,"

"Duh, yang ada nanti Raska makin kepelet! Bahaya nih, bisa-bisa langsung ngajak nikah," canda Maira. Mereka berdua tertawa. Tanpa mau membiarkan tamunya lebih lama terkena udara luar terlalu lama, kini Luvita mengajak Maira untuk langsung menuju ruang makan yang telah tersaji berbagai hidangan menakjubkan.


Rehal masih menanti jawaban yang masih belum memuaskan pertanyaannya. Raut wajahnya menampilkan rasa penasaran yang membuncah bahkan terlihat hampir seperti meledak-ledak.

"Intinya, lo nggak perlu tau semua tentang hidup gue. Nggak peduli lo orang terdekat gue atau bukan, selagi gue nggak mau berbagi tentang yang menurut gue adalah privasi berarti tetap nggak. Lo nggak berhak maksa gue ngasih tau semuanya, kasih gue ruang buat masalah pribadi gue tanpa ada satu orangpun yang mencoba-coba untuk masuk ke dalamnya." Raska menutup akses Rehal untuk tau tentang apa yang tadi remaja itu tanyakan. Memang benar, biarkan seseorang untuk memiliki ruang privasi tanpa ada seseorang yang berani untuk mengusik. Tanpa ada seseorang yang menguik rahasia di dalamnya. Tidak semua hal harus diketahui, ada beberapa yang mungkin harus disimpan seorang diri.

"Sampe kapan lo bakal jadiin itu sebagai privasi dan ngebiarin diri lo tersiksa sendiri? Lo cuma manusia biasa, lo bisa capek, lo bisa kapan saja ngerasa dunia nggak adil sama lo. Gue nggak akan maksa lo lagi buat speak up tentang masalah ini ke gue. Tapi tolong, nanti kalo beban yang lo rasa udah semakin berat, dan lo ngerasa dunia nggak adil sama diri lo, cari gue. Tumpahin semuanya ke gue. Bagi sakitnya buat gue juga. Lo nggak harus pura-pura semuanya baik dihadapan gue sedangkan semesta tertawa keras melihat kesengsaraan lo."

"Hidup gue udah jauh lebih baik semenjak ada Lentera. Semuanya perlahan berjalan seperti kemauan gue. Sesuai sama namanya, seolah Lentera adalah sosok yang Tuhan kirimkan khusus buat gue. Cahaya yang perlahan merasuk dan menerangi bagian-bagian gelap di hidup gue," sanggah Raska.

"Lebih baik lo balik. Baju belum ganti, rambut acak-acakan, perut nggak diisi. Pantes aja cintanya bertepuk sebelah tangan mulu. Nggak usah khawatir sama gue, lo liat sendiri gue masih waras. Bahkan setelah ini gue mau ke rumah Lentera, nyokapnya ngundang buat makan malem di sana. Sekalian ngapel," tutur Raska.

"Iya gue balik, have fun bro. Inget kata-kata gue tadi."

"Sip, aman!"

"Makan malem pertama bareng camer, jangan sampe lo malu-maluin," ejek Rehal sebelum akhirnya benar-benar pergi. Sedangkan Raska hanya tertawa pelan.

Ia mulai melangkahkan kakinya menuju kediaman Luvita. Langkahnya pelan tapi pasti. Meskipun langkahnya kian hari kian memberat, namun semuanya terasa kembali ringan setiap bayangan senyuman Lentera terlintas di benaknya.

"Nggak semua masalah harus semua orang tau, kan?"





___
nb: jangan lupa vote dan komen

LENTERASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang