9☕

5 3 1
                                    

Setelah bergelut dengan riuh di kepalanya, kini Raska mulai menerbitkan senyumannya kembali. Melupakan kembali yang menjadi berisik di pikiran. Lalu bertingkah layaknya beban yang menimpanya barusan tak pernah ada dalam sejarah hidupnya.

Manusia memang hebat dalam menyembunyikan rasa sakitnya. Mereka mampu menampung segala lara orang tercintanya hingga lupa bahwa beban pada bahunya juga sudah cukup berat untuk dihadapi sendirian.

Pandai bertingkah layaknya bunga yang mekar setiap waktu meskipun pada kenyataanya setiap bunga akan melewati masa layunya. Bunga mana yang tak pernah layu? Lalu, manusia mana yang tak pernah diterpa kesulitan dalam hidup?

"Permisi, tante." Raska menyalami punggung tangan Luvita dan Maira secara bergantian.

"Kok lama? Ada masalah serius ya, nak?" Tanya Maira. Raska paham betul kini Maira tengah dilanda kekhawatiran. Raut wajah wanita itu tak pernah bisa menutupi kekhawatiran yang ada. Raska hanya tersenyum lalu mengusap pundak Maira. Mengatakan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Nggak, Bun. Cuma masalah biasa. Bunda kan tau, Rehal kalo nuntut jawaban harus sesuai yang dia mau. Udah jangan dibahas di sini, ya? Kan mau makan, nggak enak kalo ngebahas hal nggak penting, Bun. Tante Luvi juga udah keliatan laper banget tuh. Bunda nggak kasian?" Maira menoleh sekilas pada Luvita.

"Tante nggak terlalu laper kok. Masih bisa nunggu kalo kalian mau bicara empat mata. Lagian yang masak makanan malam ini juga belum dateng, kayaknya masih siap-siap di dalem soalnya mau ketemu kamu," timpal Luvita. Raska tentu tak enak hati pada Luvita dan sang bunda.

"Mah, tamunya udah disuruh masuk?" Lentera muncul dari salah satu sudut. Dengan balutan dress sederhana yang menambah kesan elegan membuat mata Raska tak jemu untuk memandang. Memandangi keindahan yang Tuhan ciptakan hanya pada Lentera.

Lentera kikuk. Ia tak tahu jika tamu yang dimaksud Luvita tadi adalah Raska dan bundanya. Ia tersenyum sekaligus menahan malu dengan pakaian yang terkesan berlebihan menurutnya.

"Udah sayang? Sini, salim dulu sama bundanya Raska." Mau tak mau Lentera harus menurut. Ia berjalan perlahan dengan tatapan ke bawah menatap ubin dingin di bawahnya. Ia menyalami punggung tangan Maira dengan senyuman seindah bulan purnama.

"Hai Tante," sapa Lentera canggung.

"Hallo gadis cantik. Ternyata kamu lebih cantik dari dugaan Tante. Benar-benar cantik, seperti tuan putri di suatu kerajaan besar. Pantas anak tante kesemsem sama kamu," puji Maira sekaligus menggodanya.

"Nggak kok, Tera nggak secantik itu, Tante. Jangan berlebihan puji Tera, nanti yang ada Tera malah besar kepala," elak Lentera. Gadis itu merasa bahwa tak perlu segitunya dalam memuji.

"Nggak berlebihan, sayang. Definisi cantik adalah kamu. Tante nggak berlebihan dalam hal itu." Maira menambahi. Jangan tanya Raska sedang apa sekarang? Yang jelas ia tengah senyum-senyum sendiri sembari menatap Lentera diam-diam namun lekat.

"Terima kasih, Tante. Udah yuk, makan. Nanti keburu dingin dan nggak enak masakannya," ajak lentera diangguki semua orang yang ada di hadapannya. Ia tersenyum sumringah melihat ke-excited an mereka semua.

Mereka berjalan bersama menuju masing-masing kursi yang telah disediakan. Lentera dan Raska saling berhadapan satu sama lain. Raska yang curi-curi pandang, dan Lentera yang menghindari tatap mata agar tak terjadi antara mereka.

Suasana makan malam kali ini tentunya terasa beda. Seolah ada hal spesial versi mereka masing-masing. Ada kebahagian yang tercurah diantara mereka. Canda dan tawa yang menyelingi suapan-suapan lezat pun menjadi hal yang begitu terkenang dalam memori.

"Semuanya enak. Punya cita rasa tersendiri. Bener-bener cocok di lidah. Siapa yang masak?" Tanya Maira.

"Tera, Tante. Tadi lagi mood masak jadi enak. Syukurlah kalo masakannya sesuai sama selera Tante," ucap Lentera tulus.

'ternyata ada hal istimewa lain yang terkubur dalam diri perempuan cantik di hadapanku ini. Masakannya benar-benar enak. Aku tidak berbohong perihal ini. Bahkan semakin hari, kecantikan pada diri Lentera seperti bertambah, atau justru cintaku yang semakin meluap-luap?'

"Selain cantik, kamu juga pandai memasak rupanya," puji Maira pada Lentera sesaat sebelum tatapan Maira tertuju Raska yang tengah menunduk menatap isi piringnya. "Bener, kan, Ka?"

Raska gelagapan. Terkejut tiba-tiba namanya dipanggil. "Iya, Bun. Enak."

Lentera menggaruk tengkuknya. Canggung kembali melanda suasana hatinya. Bagaimana ini? Apa yang harus ia lakukan untuk menutupi salah tingkahnya?

"Udah-udah. Makannya dihabisin dulu. Takut tersedak, ngobrolnya bisa dilanjut nanti, kan?" Tegur Raska. Ia memang tipe orang yang harus tenang ketika makan, atau memang takut seseorang tersedak? Hanya Raska yang tau.

Semua menurut. Mereka sibuk dengan isi piringnya dan sepasang sendok garpu di tangannya.

Suapan terakhir.

"Tante mau nambah?" Tanya Lentera pada Maira.  Wanita itu menggeleng, perutnya sudah kenyang.

"Atau Raska mau nambah?"

"Nggak, Ra. Udah kenyang. Makasih, ya? Masakan lo enak," ucap Raska. Lentera hanya tersenyum lalu mengangguk. Sedangkan Maira dan Luvita saling pandang.

"Kapan-kapan makan di sini lagi, ya? Bawa Bundamu juga. Tapi kalo mau ngajak Lentera makan di luar, cukup kalian berdua aja. Jangan ajak kami," tutur Luvita.

Maira tertawa pelan, "bener, Ka. Kapan-kapan ajak Lenteranya makan di luar. Biar makin deket."

"Udah deket, Bun. Cuma paling berapa langkah doang jarak rumahnya," timpal Raska.

"Bukan itu, maksudnya dekat dalam artian lain," kode Luvita sembari mengedip-ngedipkan matanya. Lentera menoel lengan Luvita sebagai tanda peringatan. Banyak pembahasan lain, tidak harus menyangkut hal ini, kan?

"Jangan galak-galak, nanti nggak ada yang mau sama kamu," tegur Luvita. Mendengarnya, Raska langsung menyahuti.

"Saya mau, Tante."

Semua yang ada di sana sontak speechless mendengarnya. Semua mata tertuju padanya. Sedangkan yang ditatap hanya bersikap santai.

"M-maksud saya, saya mau pulang. Maaf udah bikin kalian kaget dengan ucapan terpotong saya." Raska hendak berdiri. "Ra, PR buat besok jangan lupa dikerjain, kalo ada yang susah lo boleh tanya ke gue besok." Lentera mengangguk kaku.

"Bunda, Raska harus pulang duluan. Nanti kalo bunda mau pulang, telfon Raska, ya? Biar Raska jemput di depan." Raska bingung dengan apa yang harus dilakukannya sekarang. Hati dan pikirannya tidak sinkron. Seandainya tadi Raska tidak menyeletuk di awal, mungkin dirinya saat ini masih menikmati keindahan ciptaan Tuhan yang berada tepat di hadapannya.

"Bunda ikut kamu pulang aja, lagian sekarang udah malem." Maira menjawab ucapan anak lelakinya itu. "Vita, aku pulang, ya? Maaf udah ngerepotin kamu malem-malem gini. Oh, iya, terima kasih Lentera masakan kamu terlalu nikmat," ujar Maira.

"Nggak ada yang direpotkan di sini kok, tante. Hati-hati pulangnya, ya?"

"Bener, nggak ada yang direpotkan. Kalian harus sering-sering makan di sini," tambah Luvita.

"Tapi mejanya belum dibereskan. Aku bantu bereskan dulu, ya? Raska nunggu bentar gapapa, nak?" Maira tentu tak enak hati jika meninggalkan acara makan malam ini dengan kondisi meja yang masih kotor dan banyak piring-piring kotor. Raska sama halnya dengan Maira.

"Eh nggak perlu tante. Biar Tera aja yang bereskan nanti. Tera suka cuci piring kotor, kok." Lentera menolak halus.

"Sini sayang, bunda mau peluk kamu sebentar, boleh?" Ingin sekali Maira memeluk Lentera. Keinginannya untuk memiliki buah hati perempuan namun tak pernah terealisasikan itulah yang membuat Maira begitu menyayangi Lentera seperti anak kandungnya sendiri.

Lentera berjalan mendekat dengan senyuman tulus. Sedangkan Luvita berdiri memperhatikan betapa luasnya kasih sayang Maira terhadap putrinya. Mungkin jika suatu saat nanti Lentera berjodoh dengan Raska, ia tak perlu khawatir terhadap Lentera.

"Sehat selalu ya, nak."

"Iya Tante," jawab Lentera.



___
nb: jangan lupa vote dan komen.

LENTERASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang