12☕

7 2 1
                                    

"Di tengah hidup yang terus berjalan, selamat menikmati setiap rasa sakitnya." –Lenteraska

Bau anyir khas darah tercium begitu pekat. Ruangan gelap dengan kesan menyeramkan itu bertambah mencekam. Rintihan kesakitan terdengar begitu pilu. Banyak sekali permohonan maaf yang hanya melayang-layang di udara. Saksi bagaimana kejamnya manusia di sana hanyalah dinding kosong berlumur darah.

Semua penyiksaan malam ini berjalan begitu lama dan menyakitkan. Tiga puluh menit yang penuh dengan cambukan, pukulan, tendangan, caci makian itu berbekas begitu dalam meninggalkan luka batin yang menganga lebar.

Rehal terbaring mengenaskan dengan sisa-sisa kesadaran yang semakin terenggut oleh waktu dan rasa sakit yang menjalar di seluruh bagian tubuhnya. Tak hanya fisiknya yang terluka, tapi juga mentalnya. Bahkan lebih parah.

"Semakin ke sini gue ngerasa kayak sampah yang nggak ada harga dirinya. Bahkan buat mengutarakan rasa sakit gue pun rasanya mustahil dan nggak akan ada yang percaya. Kesalahan apa yang gue perbuat di masa lalu, Tuhan? Mengapa ujian dari-Mu begitu berat dan menyiksa? Bahu gue nggak sekuat dulu, langkah semakin nggak terarah. Ke mana kehidupan ini akan membawa gue? Akhir seperti apa yang menunggu di ujung sana hingga setiap nafas gue begitu berat dan tercekat?" Rehal merintih. Pertanyaan-pertanyaan itu terus saja bermunculan memenuhi setiap ruang pikirannya.

Melupakan rasa sakitnya, ia kini mencoba bangkit. Tangannya meraba dinding yang akhirnya ternodai oleh darah yang mengalir dari telapak tangannya. Injakan sepatu Agas benar-benar pedih. Namun, ia harus tetap menjaga kesadaran dan keseimbangan tubuhnya. Ia sesekali terjatuh dan merangkak.

"Lama-lama yang ada gue muak sama hidup gue sendiri?! Kenapa harus gue? Kenapa harus gue dari banyaknya manusia di dunia!!!" Rehal memukul dinding itu super keras. Darah yang semula sudah mulai mengering kini mulai mengalir kembali.

"Gue capek! Gue capek dengan segala masalah yang datangnya bertubi-tubi. Menghajar mental tanpa ampun seolah gue ini bukan manusia?! GUE JUGA LELAH?! LELAH, TUHAN ... sungguh ...." Suaranya melirih di akhir kalimat. Rasa sakit yang ia tanggung benar-benar mengguncang kewarasan. Tertikam oleh kejamnya dunia lalu kembali dihancurkan oleh manusia yang tak bisa memanusiakan manusia.

Semua orang sibuk meneriakkan ketidaksukaannya. Semua orang sibuk mengadili. Semua orang sibuk dengan dirinya sendiri hingga tanpa sadar, ada jiwa yang terluka begitu hebat oleh karenanya.

Lalu ada jiwa yang sedang menuntut jawaban dari dirinya sendiri di tengah gelapnya kesendirian. 'mengapa harus aku?' pertanyaan paling sulit dijawab oleh semua orang atas semua yang terjadi di hidupnya.

"Hai? Sedang sibuk merutuk? Silakan saja, tapi mungkin Tuhan saja enggan mendengar rintihanmu. Hidup kamu itu tidak jauh dari kata kesialan! Kamu tidak diharapkan! Ibarat sampah yang bisa bernapas dan berbicara, itu kamu!" Rehal menatap datar perempuan dengan pakaian minim itu. Perempuan yang tak lain bernama Vela itu semakin mendekat ke arah Rehal.

"Berhenti di sana, sialan! Pelacur kayak lo memang tidak pernah berkaca!"

"Apa kau tidak tergoda dengan tubuhku?"

"Tergoda?" Rehal meludah ke arah samping. Vela semakin merekahkan senyuman piciknya. "Kotoran ayam bahkan lebih tinggi nilainya dari pada tubuh murahan lo! Selain tuli, ayah juga buta ternyata. Bisa-bisanya selingkuh sama ani-ani modelan kayak lo," sarkasnya. Kesabarannya teruji. Ia benar-benar dibuat naik pitam oleh selingkuhan ayahnya itu.

"Minggir! Enyah lo dari depan mata gue!"

Vela membiarkan Rehal pergi dari ruangan gelap itu. Langkah pincangnya membuat senyum Vela semakin merekah. Ia merasa bangga setelah berhasil mencuci otak Agas. Semesta sedang berpihak padanya kali ini.

Langkah Rehal tertatih-tatih. Ringisannya semakin sering terdengar di setiap langkahnya. Ia menangis kembali. Bahkan di saat seperti ini pun semesta masih ingin menguji dirinya. Rintik hujan mulai turun, semakin lama semakin deras. Hawa dingin memeluk tubuh lemah Rehal. Perih pada seluruh tubuhnya semakin menjadi-jadi saat semua lukanya terguyur hujan yang menghujam tanpa ampun.

Ia terjatuh. Miris, ia hanya sendirian. Menepi di di pinggir jalan dengan sisa-sisa nyawa yang bisa melayang kapan saja. Ia pasrah. Lelah benar-benar menguasai tubuhnya. Remaja itu membiarkan tubuhnya terguyur air hujan begitu saja. Ia merebahkan diri pada sisi kiri jalan sembari menatap luasnya langit dengan pandangan penuh luka.

"Bukan berniat menyerah, tapi gue udah bener-bener capek," lirihnya.

"Gue nggak mau ayah jadi luka buat orang lain. Kalo gue mati, semuanya berakhir, kan? Rencana-rencana bejat ayah nggak akan berlanjut kalo gue udah mati."

"Goblok! Lo goblok Al?!" Rehal mengenal jelas suara milik siapa itu. "Jangan tutup mata lo! Ada gue di sini, lo nggak sendirian. Jangan takut buat tetap bertahan hidup. Kematian bukan satu-satunya jalan!" Pekik Raska. Ia kalut dalam lubang ketakutan. Ia menepuk-nepuk pipi Rehal guna membuat remaja yang sudah semakin lemas itu tetap sadar.

"Ka, gue nggak mau lo berurusan sama bokap gue. Dia terlalu berbahaya buat lo," ucap Rehal di ambang kesadarannya.

"Gue nggak mau jadi manusia yang buta keadilan. Sahabat gue menderita! Gue nggak akan tinggal diam!"

Raska berusaha membopong tubuh Rehal. Tubuh lemas itu tak berkutik. Lemas susah menguasai tubuhnya secara keseluruhan. Ia mengantuk. Sangat. Netranya perlahan tertutup rapat. Beruntungnya, nafas remaja itu masih terasa.


"Chat Tera kok belum dibales, ya? Apa mungkin dia kecapean?"

"Ini juga, kenapa jantung Tera tinut-tinut?" Lentera berjalan mondar-mandir. Hujan yang turun begitu derasnya membuat dirinya tak bisa berdiri di balkon. Biasanya setiap pikirannya kacau, ia selalu berdiri di balkon rumah lamanya lalu menatap hamparan bintang yang cantik dan penuh warna.

Ia merebahkan diri di kasur, menumpukan wajahnya pada lipatan tangan. Ia tertidur dalam posisi tengkurap.

Tak mendapat ketenangan yang ia cari, akhirnya gadis itu memutuskan untuk meraih novel yang ia abaikan beberapa hari. Ia melanjutkan membaca. Sudah hampir ending dan mungkin hanya membutuhkan waktu sepuluh menit untuk menyelesaikannya.

Waktu berjalan begitu cepatnya. Novel yang berada pada genggaman Lentera kini sudah selesai dibaca. Gadis itu sesenggukan. Menangisi ending dari novel yang dibacanya.

"Kenapa harus merenggut salah satu tokoh? Padahal kalo mereka tetep bersatu kan lebih baik! Huwa, kasian!!!"

Sepertinya, keputusannya untuk menyelesaikan novel itu adalah sebuah pilihan yang salah. Berujung gadis itu uring-uringan merutuki ending yang tak sesuai harapannya.

"Authornya psikopat! MAMAAA!!! AUTHORNYA JAHAT!!!"



___
nb: jangan lupa vote dan komen

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 28 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LENTERASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang