11☕

6 2 1
                                    

"Jangan jadi tambah brengsek dengan melibatkan orang yang nggak salah apa-apa! Cukup jadi luka buat Rehal aja, Yah! Jangan jadi luka buat orang lain!" Rehal kembali mendatangi kediaman sang Ayah. Langkah gontai yang mengajaknya untuk menemui Agas semakin membuatnya terluka hebat. Tatapan bengis yang terpancar dari netra Agas benar-benar membuatnya ketakutan. Seolah tak ada lagi pancaran kasih sayang untuknya dalam netra sang Ayah.

"Sudah berani meninggikan nada bicara kamu, hah?!" Agas semakin murka. Melihat kedatangan Rehal saja sudah membuat amarahnya membuncah apalagi saat mendengar nada bicara remaja itu. Ia bangkit dari sofa yang telah ia duduki tiga puluh menit terakhir. Langkahnya cepat dan penuh emosi menghampiri Rehal.

"Mau apa kamu?!"

Rehal menatap datar wajah ayahnya yang tengah dipenuhi amarah. Ia hirup udara yang membuatnya sesak bukan main. "Ayah belum puas jadi sumber luka buat anak kandung ayah? Belum puas udah bikin kehidupan anak kandung ayah jadi berantakan? Belum puas renggut kebahagiaan ibu? Belum puas renggut masa kecil anak kandung ayah? Lalu sekarang ayah juga mau hancurin hidup orang yang nggak salah apa-apa? Yah, dunia nggak selamanya berpihak sama aksi bejat ayah! Semesta nggak akan selamanya menyembunyikan kebusukan ayah!"

"Hancurin hidup Rehal sesuka ayah, tapi jangan hidup orang lain di sekitar Rehal! Jangan hancurin kebahagiaan orang yang berjasa di hidup Rehal! Rehal tau ayah masih punya hati nurani buat dengerin kata-kata Rehal, bener kan? Rehal tau ayah nggak tuli," cecar Rehal. Nafasnya naik turun memasok oksigen yang justru membuatnya sesak.

Agas diam di tempat. Entah apa yang membuatnya tertegun beberapa saat setelah mendengar semua penuturan Rehal.

"Mas, udah yuk mending kita tidur aja daripada ngeladenin anak gangguan jiwa ini." Seorang wanita dengan pakaian minim bahan tiba-tiba datang dan memeluk tubuh Agas dari samping. Rehal dibuat mual dengan aksi menjijikan yang wanita itu lakukan. Seolah belum cukup membuat Agas segera pergi dari sana, wanita itu semakin gencar meraba bagian tubuh Agas.

"JALANG MENJIJIKAN! ENYAH DARI HIDUP BOKAP GUE!" Rehal menarik rambut wanita itu. Ia banting tubuh menjijikan itu hingga menabrak dinginnya lantai ruang tamu. Ia semakin brutal menghajar dan memaki wanita itu.

Agas menarik kerah baju Rehal. Tatapannya tajam seperti seekor singa yang siap menerkam sang mangsa.

Bugh

Satu pukulan mendarat di wajah mulus Rehal. Tak memberi jeda untuk Rehal bangkit dari rasa sakitnya, kini Agas kembali menarik tubuh Rehal menuju sebuah ruangan dengan suasana mencekam yang sudah biasa Rehal kunjungi sesaat sebelum keluar dengan banyaknya luka-luka di tubuhnya.

Tubuhnya terseret di lantai dingin itu. Ia berusaha menggapai apa saja yang bisa menghentikan Agas dari kegiatannya menyeret tubuhnya. Sebuah vas tersenggol dan jatuh begitu saja hingga pecah menjadi banyak bagian.

"Lepas, Yah! Biar Rehal bunuh jalang yang bikin kehidupan kita kayak gini! Lepasin! Rehal mau bunuh jalang menjijikan itu!" Pekik Rehal. Ia semakin memberontak, namun tenaganya kalah jauh dari Agas. Tubuhnya dengan begitu mudah terseret dan tergores ubin.

"DIAM! ANAK SEPERTI KAMU MEMANG TIDAK PANTAS UNTUK DIBIARKAN HIDUP DI DUNIA!"

Rehal pasrah. Kini ia sudah berada pada ruangan seperti neraka yang hanya ada siksaan di dalamnya. Tak ada gunanya untuk ia memberontak. Semuanya benar-benar terlihat menakutkan di mata Rehal saat ini. Kenangan kelam yang membuatnya hampir mati bergelimang darah semakin terputar begitu cepat dan berulang.

"Pesan Rehal masih sama, Yah. Sisain nyawa Rehal setidaknya buat keluar dari sini sendiri," ucapnya. Ia sudah hafal urutan penyiksaan yang dibuat oleh Agas. Penyiksaan kejam yang akan diakhiri dengan meninggalkan Rehal sendirian di dalam sana untuk berusaha keluar sendiri dari ruangan menakutkan itu. Dengan segala luka yang berdarah dan lebam, Rehal harus mampu mengeluarkan dirinya sendiri dari ruangan itu.


Raska baru saja mengantarkan Lentera pulang. Ah, ya. Sekarang Lentera sudah resmi menjadi kekasihnya. Senyum tak lepas dari bibirnya. Kebahagiaan benar-benar mendominasi dirinya di hari ini. Meskipun belum memiliki Lentera seutuhnya, ia yakin suatu saat nanti Lentera akan menjadi miliknya. Seutuhnya. Menjadi teman hidup yang akan ia lihat pertama kali setiap membuka mata sehabis terlelap.

Dari semua perjalanan buruk yang pernah ia lalui, semoga bersama Lentera tak ada. Semoga senantiasa bahagia mendominasi mereka. Harapan-harapan itu muncul begitu saja tanpa perlu dirangkai-rangkai.

Gadis cantik itu kini sudah tak ada di hadapannya secara langsung. Namun, rasanya semua bahagia masih ingin melekat pada dirinya. Kehadiran Lentera pada hidupnya benar-benar mengubah semuanya menjadi lebih indah. Mengubah Bandung menjadi lebih berwarna dengan tawa canda yang gadis itu lontarkan.

Raska hendak kembali pulang. Malam sudah menyambut. Gelap mulai menyapa. Ia berbalik badan lalu melangkah perlahan dengan senyuman yang sempurna merekah indah. Matanya ikut tersenyum. Benar-benar indah ciptaan Tuhan yang ditakdirkan untuk Lentera.

"Jarak rumah emang deket, tapi rindunya tetep nggak bisa ditahan. Apa gue nikahin aja ya besok? Biar kalo rindu tinggal peluk," monolog Raska. Rindu memang tak bisa ditahan untuk tak hadir.

Raska menampar pelan pipinya sendiri. Menyadarkan diri untuk tidak berpikir terlalu jauh. Usianya belum legal untuk menikah.

"Lo masih bisa ngobrol lewat chat anjir, Ka! Besok juga ketemu!" Ia menerka diri sendiri seolah kesal bukannya rindunya berkurang malah bertambah saat ia telah sempurna merebahkan diri di kasur.

Ia meraih benda pipih yang masih berada di saku celananya. Ia aktifkan data dan akhirnya kaget dengan semua notifikasi panggilan yang berasal dari Rehal. Puluhan panggilan tak terjawab. Ia cepat-cepat membuka room chat milik Rehal. Perasaannya berubah tidak enak sekarang. Secara tiba-tiba rasa sesak merasuk tanpa izin. Entah apa yang menjadi penyebabnya.

"Lo nggak papa, kan? Maaf, maaf karena gue mengabaikan semua pesan dari lo. Sekarang perasaan gue nggak enak. Lo nggak papa, kan? Jangan nekat datengin makhluk jahannam itu, gue mohon." Raska berusaha menghubungi nomor Rehal. Hanya suara monitor yang memberitahunya untuk menelpon lain waktu yang terdengar. Kekhawatirannya memuncak tanpa diminta. Ia berjalan mondar-mandir bak setrikaan.

Pesan dari Rehal yang memberitahunya akan mendatangi Agas membuatnya kalang kabut. Ia tahu seberapa kejam lelaki bernama Agas itu, bahkan untuk disebut sebagai manusia pun serasa tak pantas.

Ia tahu akan senekat apa Rehal jika sudah mempunyai satu keinginan. Mendatangi dan menuntut kebenaran tentunya. Tapi untuk satu hal ini, Raska tidak setuju. Agas bukan lawan sebanding untuk Rehal. Bukan karena lemah, tapi semua luka yang pernah diberikan Agas akan menjadi berkali-kali lipat lebih sakit jika harus berhadapan secara langsung.

Raska tidak boleh diam di tempat. Ia harus segera bertindak. Ia tahu dirinya sudah terlanjur basah dengan menyelami dunia kelam Agas, untuk itu akan ia pastikan untuk tidak naik ke permukaan tanpa menyelesaikan apa yang membuatnya menyelam dan basah.

"Gue harus cari mereka!" Ia berlari tergesa-gesa. Suara sepatu yang bertubrukan dengan ubin terdengar begitu keras membuat Maira kaget dan sontak menghentikan langkahnya.

"Ada apa, nak? Kenapa muka kamu khawatir?"

"Raska nggak ada waktu buat ngejelasin sekarang, Bun. Ada nyawa yang harus Raska tolong secepatnya. Bunda jangan khawatir, nanti Raska pulang," ucapnya. Ia kembali berlari meninggalkan Maira yang dipenuhi kekhwatiran serta ketakutan.

"Nyawa siapa, nak!" Teriak Maira. Namun sepertinya tak terdengar oleh Raska yang sudah jauh di depan sana. Maira benar-benar diselimuti ketakutan saat ini.

"Tuhan, tolong lindungi putraku."







LENTERASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang