10☕

7 2 1
                                    

Pada kenyataannya, jatuh cinta dan dicintai adalah dua kata yang berbeda namun memiliki sisi sakit yang hampir sama.

Katanya, jatuh cinta itu boleh. Namun, untuk memaksakan jatuh cintanya terbalas adalah sebuah larangan. Ibarat memaksakan seekor burung untuk menyelam di lautan, dan seekor ikan untuk terbang di angkasa luas.

Kali ini, di bawah langit sore yang begitu cerah dengan matahari yang sayup-sayup menemani. Pantulan sinar matahari menerpa wajah cantik Lentera, menambah definisi cantik yang ada pada dirinya.

"Betapa indahnya dunia di setiap detiknya jika dinikmati bareng sama lo kayak gini," tutur Raska secara tiba-tiba membuat Lentera menatapnya dengan tatapan teduh.

"Apa yang ngebuat lo jatuh cinta sama gue, Ka? Atau lo lupa kalo gue cuma orang baru yang tiba-tiba masuk di kehidupan lo?"

"Jatuh cinta nggak punya alasan, Ra. Dia nggak bisa milih untuk jatuh pada siapa," ucapnya tenang.

"Gue nggak pernah bisa mengontrol dengan siapa gue jatuh cinta, bahkan ketika gue berada di saat yang paling menyedihkan dan membingungkan dalam hidup. Gue nggak  jatuh cinta dengan orang lain karena mereka menyenangkan. Itu terjadi begitu saja."

"Gue mau rasa cinta gue ke lo sederhana, dengan kata yang nggak sempat diucapkan api kepada kayu yang menjadikannya ia sebuah abu, dan gue mau mencintai lo dengan sederhana dengan isyarat yang nggak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya ia tiada. Karena cinta adalah satu kata. Namun, ia memiliki banyak makna dan gue mau mencintai lo dengan sederhana seperti jarum yang menusuk tapi menyatukan, bukan seperti gunting yang berjalan lurus tapi memisahkan." Raska menjeda ucapannya sesaat. Lentera tak berniat untuk memotong pembicaraan Raska. Nafasnya juga tercekat, matanya tak mampu berbohong bahwa ada sebuah ketakutan untuk mempercayai ucapan seseorang.

"Gue nggak suka dicintai, Ka. Itu ngebuat gue jadi lemah. Seolah itu ngebuat gue berpikir nggak papa kalo jadi lemah." Lentera berucap. Netranya menatap sayu Raska yang juga tengah menatap balik.

"Kalo gitu izinin gue bilang 'jikapun kamu adalah badai yang penuh gemuruh riuh, aku adalah yang tidak memilih berteduh.' Justru gue pengen lo jadi diri lo sendiri ketika bersama gue. Jadi diri lo yang nggak pernah orang lain liat. Bukan untuk terlihat lemah, tapi manusia butuh tempat untuk mengutarakan rasa sakitnya, dan gue adalah tempat yang bersedia menampung semua tentang lo. Entah itu rasa sakit lo, sedih, senang, takut, atau apapun yang ngebuat lo resah."

"Semesta kejam soal cinta, Ka."

"Dan gue udah sisain ruang ikhlas di hati gue. Setiap jatuh cinta pasti berhadiah luka. Semesta gitu cara mainnya, kan? Gue nggak tau akan ada apa aja di masa depan, tapi gue udah siapin diri atas semua konsekuensi dari perihal mencintai salah satu makhluk bumi seindah lo," papar Raska. Ia gamit jemari Lentera, lalu menempelkannya pada dada bidang miliknya. Membuat Lentera merasakan degup jantung Raska yang berpacu begitu cepatnya.

"Lo bisa rasain debaran jantung gue, kan, Ra?" Lentera mengangguk, "debaran yang cuma bisa gue rasain secepat itu setiap kali berdekatan sama lo. Rasanya antara gue bahagia ada di sisi lo dan gue takut sewaktu-waktu gue akhirnya harus perlahan ngelepasin lo bahagia sama orang lain bahkan sebelum gue bisa ngemilikin lo."

"Kali ini, dengan disaksikan oleh semesta yang juga tengah terlihat begitu cerah. Lalu dengan bunga-bunga yang menari anggun mengikuti irama angin. Gue suka sama lo, lebih tepatnya gue udah jatuh hati sejatuh-jatuhnya sama lo. Boleh kasih gue kepercayaan?"

Lentera mengangguk diselingi isak tangisnya. Bibirnya kelu tak mampu mengucap sepatah kata pun. Ia dekap tubuh mematung Raska di hadapannya yang tak menyangka sekaligus kepalang bahagia cintanya telah diterima.

Raska memeluk Lentera begitu erat. Getaran rasa cinta dapat Lentera rasakan begitu kuat. Kini sepasang kekasih yang sama-sama memiliki sisi istimewa tersebut tengah merayakan hari paling bahagianya.

"Terima kasih, Ra. Terima kasih atas kepercayaan yang udah lo kasih buat gue."

"Nggak, Ka. Harusnya gue yang berterima kasih sama lo. Lo udah ngeyakinin gue bahwa cinta nggak semenakutkan itu jika jatuh cintanya pada orang yang tepat. Yaitu lo," timpal lentera masih dalam dekapan erat Raska. Rasa-rasanya untuk saat ini Raska enggan untuk sekedar melepas peluk eratnya.

"Gue sama hal nya kayak lo. Ngerasain getaran aneh setiap ngeliat lo. Cuma bedanya, gue masih takut soal percaya sama manusia, apalagi cinta."

Lentera memang handal menyembunyikan perasaannya. Menatap datar meskipun jantung berdebar. Mengatakan tidak meskipun hati berteriak iya.

Luka hebat yang diterimanya di masa lampau mengubahnya menjadi orang yang tak mudah percaya. Cinta? Gadis itu menganggap cinta hanya sebuah lelucon dan kebohongan untuk menutupi hasrat nafsu. Sebab generasi ini adalah bohong. Semua orang bisa dengan mudahnya mengatakan cinta, padahal ia sedang berdusta. Semua orang bisa mengagumi, semua orang bisa memberikan janji tapi tidak semua orang bisa menepati.

Kali ini berbeda. Raska hadir menjadi penyembuhnya. Raska berhasil mengubah pemikirannya. Raska berhasil meluluhkan hatinya, dan membuatnya kembali percaya bahwa cinta itu nyata.

"Gue cinta sama lo, karena lo Lentera."


Di seberang sana, Rehal tengah mencoba berkali-kali untuk menghubungi ponsel milik Raska. Berkali-kali mencoba menghubungi, berkali-kali hanya suara monitor yang terdengar di telinganya.

Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.

"Bangsat!" Rehal menyumpah serapahi Raska. Bagaimana tidak kesal? Di saat semua terlihat begitu indah dan berjalan baik-baik saja, sahabatnya itu ternyata menyembunyikan sesuatu.

"Gue kecewa sama lo, Ka. Masalah segede ini lo coba tampung sendiri? Hidup kalo di ngga papa-in terus yang ada makin brengsek goblok!"

"Kenapa harus berurusan sama si tua bangka! Brengsek lo, Ka! Brengsek!"

Berbagai sumpah serapah lolos dari remaja itu. Si tua bangka yang dirinya sebut adalah ayahnya sendiri. Ada rasa sesak saat mengingat bahwa lelaki itu adalah ayahnya, ayah yang tega menelantarkan dirinya dan ibunya yang tengah sakit-sakitan demi perempuan malam. Kepuasan sesaat membuat ayahnya buta akan nasib Rehal dan istrinya.

Temen kamu sendiri yang nyerahin nyawanya buat saya. Jadi nikmati permainan saya selanjutnya. Entah kamu atau teman kamu yang akan jadi korban.

Kalimat itu terus berputar bak radio rusak. Gemuruh di kepalanya semakin menjadi-jadi bercampur rasa takut dan kebencian.

Tidak seharusnya Raska ikut terjun dalam rasa sakitnya. Tidak seharusnya remaja itu masuk dalam jebakan neraka yang ayahnya buat.

"Ternyata gue sumber masalahnya di sini. Pantes aja lo nggak mau buka suara, haha. Hidup gue emang selalu nyusahin orang lain, ya? Gue nyuruh lo cerita tanpa gue tau kalo semua masalahnya itu berporos di gue. Seandainya gue nggak pernah cerita kebrengsekan si tua bangka mungkin lo nggak akan kejebak di jebakan neraka dunia yang dia buat untuk gue. Dan sekarang, lo adalah target kebuasan si tua bangka, Ka."

"SEMUANYA EMANG SALAH GUE!"

"HARUSNYA DUNIA CUKUP NGGAK ADIL BUAT GUE, JANGAN LIBATIN ORANG-ORANG YANG EMANG NGGAK SEHARUSNYA TERLIBAT?!"

Rehal jatuh meluruh pada aspal. Kepalan tangannya membabi buta melampiaskan amarahnya dengan meninju aspal. Darah segar mulai mengucur deras. Bau anyir tercium pekat. Namun, kegiatannya memukuli aspal belum terhenti. Seakan amarah dalam dirinya belum tuntas.

"Harusnya cukup gue aja yang menderita di sini?! Akhh?!"



___
nb: jangan lupa vote dan komen

LENTERASKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang