"Luna, kau sudah terpojok. Kusarankan agar kau menyerahkan kalung itu saat aku masih bersikap baik." Elena berdiri di depan mobil, membuat cahaya dari lampu menyorot dari belakangnya dan menerangi wajah Luna dengan jelas.
"Pfft. Atas dasar apa anak haram sepertimu berhak memegang kalung ini?" Luna tersenyum miring dan menatap Elena dengan remeh, ia menggenggam liontin dari kalung yang dipakainya. "Asal kau tahu, Elena~ kalung ini hanya bisa dikenakan oleh pewaris sejati, PE-WA-RIS SE-JA-TI! Memangnya anak haram sepertimu bisa menjadi pewaris??" tanyanya merendahkan.
Elena menggeram dengan tangan terkepal, namun ia masih berusaha untuk tetap tenang. Lalu dengan suara meremehkan menjawab. "Memangnya kenapa kalau aku anak haram? Lagipula Papa lebih menyayangiku. Dan lagi, Kak Luna~ asal kau tahu. Yang membunuh ibumu itu tidak lain dan tidak bukan adalah …" Elena dengan sengaja menggantung kalimatnya, ia tertawa melihat eskpresi marah Luna. " … Papa kita sendiri!" lanjutnya dengan penuh semangat.
Luna tidak menjawab, ia hanya diam dan menatap Elena dengan sorot mata tajam. Luna lalu menghela napas dan melepas kalungnya lalu kembali menatap Elena. "Kau mau kalung ini, kan?" tanyanya sambil mengangkat tangan yang memegang kalung ke arah Elena.
Sementara sang Adik tersenyum puas, ia dengan bangga berjalan ke arah Luna untuk mengambil kalung itu. Akan tetapi, saat Elena menggenggam kalung itu, Luna sama sekali tidak mau melepaskan tangan dari kalung tersebut, sehingga terjadilah aksi tarik-menarik antara keduanya. "Luna! Bukankah kau bilang akan memberiku kalung ini?!"
"Hee~ kapan aku bilang mau menyerahkannya?" Luna tersenyum miring, sorot matanya sangat dingin dan kosong, ia menggenggam tangan Elena yang memegang kalung dengan kuat, lalu dengan senyuman lebar menarik Elena maju, sementara Luna sendiri terus mundur ke arah jurang di belakangnya.
"Hei! Sialan! Lepaskan tanganmu! Kau sudah gila, ya?!" Elena berusaha melepaskan cengkraman Luna, namun entah ia yang terlalu lemah atau Luna yang terlalu kuat. Elena sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari cengkraman Luna. "Lepaskan aku, j*lang!"
"Ada apa? Apa kau takut?" Luna masih terus tersenyum, ia terus menarik Elena, semakin mendekati jurang. "Aku akan menyerahkan kalung ini selama kau ingin menemaniku bermain untuk terakhir kalinya." Luna lalu tersenyum manis. "Jadi adikku tersayang~ temani aku sampai akhir, ya!" Ia tanpa ragu terjun ke jurang, sambil menarik Elena jatuh.
"Akh!! Sialan! Kau–"
Keduanya jatuh dengan keras ke atas batu di bawah jurang. Elena sudah lebih dulu kehilangan kesadaran karena kepalanya terbentur batu dengan sangat keras, tubuhnya dan tubuh Luna sama-sama mengeluarkan darah yang sangat banyak. Dapat dipastikan tulang-tulang mereka remuk atau bahkan hancur akibat jatuh dari ketinggian.
Dengan sisa kesadaran dan penglihatan Luna yang merah akibat darah, ia menggenggam kalung warisan dari ibunya. Luna bernapas dengan lemah, tubuhnya bahkan tidak sempat merasakan sakit saat terjatuh, saat ini, ia tidak bisa menggerakkan sedikitpun dari tubuhnya yang perlahan-lahan kehilangan rasa. Luna secara naluriah memejamkan mata saat kesadarannya perlahan menghilang.
Hujan turun dengan deras, menghanyutkan darah yang mengalir dari tubuh kedua gadis yang kini tak bergerak.
Samar-samar dalam hujan deras, terlihat seseorang melangkah mendekat dengan tenang sambil memegang payung di tangan kanannya. Orang itu berhenti di depan tubuh kedua gadis itu, payung yang dibuat serendah mungkin membuat wajahnya tidak terlihat jelas, apalagi dengan hujan yang amat sangat deras, seolah turun untuk menghilangkan jejak kematian.
Orang itu berjongkok di samping Luna, lalu dengan tangan kirinya mengambil kalung di tangan Luna, dan menatap kalung itu dengan eskpresi yang tidak jelas. Orang itu lantas menatap Luna dan Elena, lalu menghela napas. "Siapa yang perlu kuselamatkan?"
Suaranya sangat dalam dan hampir tidak terdengar jelas karena hujan, orang itu lantas menatap keduanya dengan ekspresi penuh pertimbangan. Lalu memasukkan kalung tersebut ke dalam saku dari setelan jas yang dikenakannya. "Baiklah, kau saja."
Orang itu meletakkan payungnya di samping Luna, lalu berjalan ke arah Elena dan menggendongnya. Orang itu kemudian menatap ke arah Luna sesaat sebelum berjalan pergi dengan tenang dan tidak pernah berbalik.
🍀☘️
"Bagaimana keadaan Duchess?"
"Lapor, Tuan Duke. Keadaan Nyonya semakin lama semakin memburuk, hamba ragu Nyonya bisa kembali sehat," ujar tabib sembari berlutut dan menundukkan kepala. Di usianya yang saat ini, ia seharusnya tidak berlutut dengan siapapun, namun menjadi pengecualian jika berhadapan dengan Tiran satu ini. Sedikit kesalahan saja bisa langsung merenggut nyawanya.
Sementara pria yang dipanggil Duke malah menatap sang Duchess dengan sorot mata dingin, ia melirik tangan kanannya. "Langsung kuburkan dia jika sudah mati. Tidak perlu melaporkannya padaku." Lalu dengan acuh tak acuh berjalan keluar dari kamar.
Situasi langsung menjadi sunyi di kamar saat Duke keluar, sementara sang tangan kanan dan tabib saling menatap dengan canggung.
"Apa Nyonya masih bisa bangun?" tanya sang tangan kanan untuk memecah keheningan.
"Saya ragu tentang hal itu. Bagaimanapun, racun di tubuh Nyonya sangat kuat. Nyonya yang masih hidup sampai saat ini juga merupakan keajaiban."
Sang tangan kanan mengangguk mengerti, ia lalu memberi isyarat agar tabib pergi.
Setelah benar-benar tidak ada siapapun, sang tangan kanan berjalan mendekati tempat tidur Duchess, ia berdiri di samping dan memperhatikan wajah pucat dari wanita yang terus memejamkan matanya itu. Sang tangan kanan dengan lembut menyentuh tangan Duchess.
🍀☘️
"Luna, Ibu harap kamu bisa menjaga kalung ini dengan baik. Kalung ini … diberikan oleh Ayah mertuaku saat masih hidup. Dan sekarang, ibu berikan kalung ini untukmu, ibu harap kamu bisa menjaga dan selalu membawa kalung ini kemanapun. Kalung ini juga … merupakan tanda cinta Ayah pada ibu."
...
“Siapa kau?”
Mmh?? Eh? Aneh, sangat aneh. Kenapa suaraku …
"Ibu mohon, Luna. Jaga kalung ini dengan baik. Dan permintaan terakhir ibu … ibu ingin kamu memberikan kalung ini untuk cucu ibu nantinya."
"… Ya, Ibunda."
Eh? Loh? A-apa yang terjadi? A-aku tidak bisa mengendalikan tubuhku, suaraku …
A-apa yang terjadi? A-aku, a-apa yang. Eh???
"Terima kasih, sayang." Wanita itu tersenyum, tersenyum dengan sangat lembut.
Dan tanpa kusadari, air mataku mengalir keluar tanpa kuinginkan. Aneh, ini sangat aneh. Apa yang terjadi? Kenapa aku menangis? Siapa wanita ini? Kenapa aku tidak bisa mengendalikan tubuh dan suaraku? Tidak … bukan. Suaraku bukan milikku. Itu suara orang lain. Suaraku tidak sehalus itu.
… A-apa, ada apa denganku, Tuhan??
"Sayang, Ibu sangat menyayangimu lebih dari apapun." Wanita itu dengan lembut mengusap pipiku.
A-aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa menolaknya, air mataku justru keluar semakin deras. Ini sangat aneh! A-aku yakin aku sudah gila! A-apa ini karena aku mati?? Apa, apa kejadian ini pernah terjadi???
…
AKU TIDAK BISA INGAT!!
🍀☘️🍀
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Antagonist
FantasiAku?? Bereinkarnasi?! Oke~ ☘️🍀 Demi melindungi kalung warisan dari Ibunya, Luna rela mati, namun bukan sendiri. Ia membawa adik tirinya bersamanya, jatuh bersama ke jurang kematian dan mati bersama. Namun, takdir terkadang selalu tidak adil, bukan...