[ SHANKARA #02 ] ⚠︎ Mature themes, Contents kissing scene, and Bilingual.
When he closed his eyes, he saw only the shadow of his lover, who loved to colonize the contents of his head. Many men admirer her in secret, and Zakiel has the privilege of h...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
MINGGU ini merupakan bagian Zakiel untuk menjadi pelatih bagi adik tirinya, Jinan. Cowok itu berdiri gagah tanpa balutan pakaian atas diatas ring, berhadapan dengan Jinan yang sudah terengah-engah di awal pelatihan. Zakiel menatap dengan sorot tajamnya, tak menyukai bagaimana stamina tubuh Jinan yang begitu lemah hanya untuk sebuah permulaan.
Pertemuan awal dapat di maklumi, tetapi hari ini menjadi hitungan genap ke enam kali pertemuan dan Jinan masih belum meningkatkan kualitas diri. Zakiel menatap remeh. Satu alisnya terangkat dengan sombong. “Bukannya pelatih udah kasih arahan?” Suaranya terkesan mengejek. Entah bagaimana ayahnya memberi Jinan pelatihan semacam ini tanpa menilai lebih dulu apakah remaja itu mampu atau tidak. Mulanya, Zakiel kira akan mudah mempengaruhi Jinan untuk menyerah, tetapi rupanya remaja itu cukup keras kepala dan terus berupaya untuk tidak tumbang meski sesekali Zakiel sengaja memberi pukulan mautnya sampai tubuh Jinan terdorong pada pembatas ring. “Kenapa lo masih selemah di pertemuan awal? Kaza nggak kasih tau lo apa yang harus dilakuin?” Tanya Zakiel.
Mengingat bukan hanya dirinya yang memberi pelajaran, saudara kembarnya juga turut serta membimbing Jinan. Tetapi hasilnya masih belum terlihat. Entah bagaimana cara Kazael mengajarinya, Zakiel pikir tidak ada yang salah dari caranya mengajari. Atau mungkin celahnya ada pada Jinan sendiri.
“Maaf, Kak.” Jinan menjawab dengan tundukan kepala semakin dalam. Tubuhnya lebih kurus dari pada Zakiel yang telah berhasil membuat otot-otot mengesankan ditubuhnya.
Zakiel berdecak. Dia tidak menyukai sikap Jinan yang terlalu tunduk pada seseorang. Perilakunya itu dapat mencoreng nama marga mereka. Setiap Shankara tidak pernah menundukkan kepala dan menampilkan kelemahannya pada orang lain. Baik Zakiel maupun Kazael memang tumbuh untuk perangai buruk dan kesombongan mutlak, Jinan jelas bukan bagian dari mereka seutuhnya, tetapi karena nama Shankara telah tersematkan pada dirinya. Kesenjangan hidup yang terasa jelas itu membuat Jinan perlu menyesuaikan diri lebih baik. Hidup bersama Shankara yang keras harusnya sudah cukup membentuk pribadi serupa, tetapi agaknya Jinan masih terpaku pada pemikiran dangkal dalam benaknya. Zakiel mencemooh diam-diam, menilai bahwa Ibunya benar-benar buruk memilih pria lain yang tak sekuat ayahnya. Darah pecundang memang tak bisa dihilangkan.
Jinan menggeleng mantap. Sama sekali tidak membenci Zakiel sekalipun dia telah menerima penghakiman kejam beserta penindasan dari segi apapun.
“Boong banget.” Tawa Zakiel bocor. Naif sekali remaja dihadapannya ini. Zakiel tak langsung percaya. Orang-orang hidup untuk memiliki kebencian. Dibebaskan mempunyai emosi untuk disalurkan pada objek nyata. Zakiel menganggap lucu jawaban Jinan. Remaja itu agaknya pantas untuk dirundung karena sifat terbukanya yang memuakkan. “Liat gue.” Zakiel memberi tatapan menuntut. Ketika Jinan ragu-ragu menatapnya, sebuah seringai mengadili layaknya hewan pemburu hadir diwajah rupawan Zakiel. Jinan meneguk ludahnya kepayahan.