Ghazlan merasa semakin tertekan, tetapi ia tahu ia harus segera membuat keputusan. Beberapa hari kemudian, Ghazlan memutuskan untuk bertemu dengan Rielana di tempat yang tenang, jauh dari sorotan keluarga mereka.
Mereka bertemu di sebuah taman yang biasa mereka kunjungi. Rielana tampak gelisah, begitu pula Ghazlan. Setelah beberapa saat dalam keheningan, Ghazlan akhirnya berbicara, "Rie, aku sayang sama kamu. Tapi aku nggak mau kita terus begini, bersembunyi dan selalu merasa bersalah. Kita harus bicara soal masa depan."
Rielana mengangguk, matanya berkaca-kaca, "Aku tahu, Ghaz. Aku juga nggak mau kita begini terus. Tapi aku juga nggak siap kehilangan kamu."
"Aku juga nggak siap kehilangan kamu, Rie. Tapi kita harus realistis. Apakah kita siap menghadapi perbedaan ini? Bagaimana kalau nanti kita menikah? Bagaimana dengan keluarga kita, anak-anak kita?"
Pertanyaan itu membuat Rielana terdiam lama. Baginya, masa depan yang Ghazlan bicarakan terasa sangat jauh, tapi juga begitu nyata. "Aku nggak tahu, Ghaz. Aku nggak tahu apakah aku siap menghadapi semua itu. Tapi aku tahu satu hal, aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu."
Mereka berdua akhirnya sepakat untuk berbicara dengan keluarga masing-masing, berharap bisa menemukan solusi yang damai. Namun, ketika Rielana berbicara dengan orang tuanya, Zavian dan Vivian, mereka menentang keras hubungan tersebut.
"Rielana, kamu tahu keluarga kita sangat menjaga keyakinan kita. Kamu nggak bisa melanggar itu hanya karena cinta," kata Zavian dengan nada tegas.
Vivian, yang biasanya lembut, juga mendukung suaminya, "Nak, kami tahu kamu mencintainya, tapi perbedaan keyakinan ini bukan hal yang sepele. Ini bisa menghancurkanmu di masa depan."
Di sisi lain, Ghazlan juga menghadapi perlawanan dari Rachel, ibunya, yang dengan tegas mengatakan bahwa hubungan tersebut tidak akan pernah diterima dalam keluarga mereka.
Dengan berat hati, Rielana dan Ghazlan mulai mempertimbangkan untuk mengakhiri hubungan mereka. Namun, di dalam hati, mereka masih berharap ada keajaiban yang bisa menyatukan mereka tanpa harus kehilangan identitas atau keyakinan masing-masing.
Akankah mereka berhasil mempertahankan cinta mereka, atau akhirnya menyerah pada tekanan dari keluarga dan perbedaan keyakinan yang begitu besar?
Setelah percakapan sulit dengan keluarga mereka, Rielana dan Ghazlan terpaksa menghadapi kenyataan pahit. Hubungan mereka terancam, dan perbedaan keyakinan seolah menjadi tembok besar yang tidak dapat dirobohkan. Meski cinta mereka begitu kuat, tekanan dari keluarga semakin membuat mereka berada di ambang perpisahan.
Beberapa hari berlalu, Rielana merasa hidupnya kosong. Teman-temannya seperti Gabby, Jesslyn, dan Florence mencoba menghiburnya, namun luka di hatinya terlalu dalam. Ia sering menghabiskan waktu sendiri di kamar, menangis dalam diam. Suatu malam, Rajash, abang yang biasanya keras, masuk ke kamarnya.
"Rie, aku tahu kamu lagi sedih," kata Rajash dengan suara lembut yang jarang didengarnya. "Tapi kamu harus ingat, keluarga kita selalu ingin yang terbaik buat kamu."
Rielana menatap abangnya dengan mata sembap. "Aku tahu, Bang. Tapi apakah harus dengan cara seperti ini? Aku nggak bisa ngelupain Ghazlan begitu aja. Aku cinta sama dia."
Rajash duduk di samping adiknya, mengusap pundaknya. "Aku paham, Rie. Cinta itu nggak mudah, apalagi dengan perbedaan besar seperti ini. Tapi kita harus berpikir jangka panjang. Kamu mau hidup dengan konflik terus-menerus?"
Rielana terdiam. Kata-kata abangnya seolah memperkuat kebimbangannya. Dia mencintai Ghazlan, tapi apakah cinta cukup untuk menghadapi dunia yang penuh tantangan ini?
Di sisi lain, Ghazlan juga menghadapi tekanan yang sama. Ibunya, Rachel, tidak berhenti menegurnya setiap kali ada kesempatan. Suatu sore, ketika mereka sedang makan malam, Rachel kembali mengungkit masalah Rielana.
"Ghazlan, sudah berapa kali Ibu bilang? Hubunganmu dengan Rielana tidak akan berhasil. Kalian berbeda dalam hal yang paling mendasar—keyakinan. Jangan terus berharap pada sesuatu yang tidak mungkin," kata Rachel sambil memandang putranya dengan tatapan tajam.
Javas, ayah Ghazlan, yang biasanya diam dalam urusan ini, akhirnya angkat bicara. "Ghazlan, Ibu dan Ayah bukan tidak ingin kamu bahagia, tapi kamu harus realistis. Ini bukan soal cinta saja, tapi soal bagaimana kalian akan menjalani hidup kalian nanti."
Malam itu, Ghazlan merasa semakin tertekan. Ia tak bisa tidur, memikirkan kata-kata orang tuanya dan masa depan yang terasa semakin tidak pasti. Di tengah kebimbangannya, dia menerima pesan dari Rielana. Mereka memutuskan untuk bertemu di tempat favorit mereka, taman kecil yang sunyi, tempat di mana mereka dulu sering bertukar cerita dan impian.
Ketika Rielana tiba, Ghazlan sudah menunggu dengan wajah penuh beban. Dia tersenyum lemah ketika melihat Rielana mendekat. Mereka duduk di bangku yang biasa, namun kali ini keheningan terasa berbeda—penuh dengan kesedihan dan ketidakpastian.
"Kita harus bicara serius, Ghaz," kata Rielana, memulai pembicaraan. "Aku sudah memikirkan semuanya. Mungkin keluargaku benar. Mungkin kita memang nggak bisa bersama."
Mata Ghazlan memerah, tapi ia menahan air matanya. "Aku juga mikir gitu, Rie. Tapi aku nggak siap kehilangan kamu. Aku masih cinta sama kamu."
"Aku juga cinta sama kamu," Rielana menjawab dengan suara bergetar. "Tapi aku nggak tahu apakah cinta kita cukup. Aku nggak bisa melawan keluargaku, dan aku tahu kamu juga nggak bisa melawan keluargamu."
Mereka terdiam sejenak, mendengarkan angin yang bertiup pelan. Di tengah kesunyian, Ghazlan meraih tangan Rielana, menggenggamnya erat. "Mungkin ini akan jadi keputusan yang paling sulit dalam hidup kita, tapi kalau kita memang nggak bisa bersama, aku ingin kamu tahu kalau aku akan selalu sayang sama kamu."
Rielana menunduk, air matanya jatuh satu per satu. "Aku juga, Ghaz. Aku akan selalu ingat kamu."
Dengan hati yang berat, mereka sepakat untuk mengakhiri hubungan mereka. Malam itu, mereka saling berpelukan untuk terakhir kalinya, mengucapkan selamat tinggal dengan air mata yang terus mengalir. Cinta mereka tidak hilang, namun kenyataan telah memaksa mereka untuk mengambil jalan yang berbeda.
Beberapa bulan kemudian, hidup terus berjalan. Rielana dan Ghazlan berusaha melanjutkan hidup mereka masing-masing. Rielana fokus pada karir dan keluarganya, sementara Ghazlan mencoba menemukan kedamaian dengan mengikuti jejak ayahnya dalam bisnis keluarga. Namun, keduanya masih sering teringat kenangan indah yang mereka bagi.
YOU ARE READING
berbeda keyakinan
RomanceRielana dan Ghazlan adalah sepasang kekasih yang berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Rielana dibesarkan dalam keluarga yang sangat taat pada tradisi keagamaannya, sementara Ghazlan memiliki keyakinan spiritual yang berbeda, lebih fleksib...