part 4

1 0 0
                                    

"Rielana," panggil Ghazlan ketika mereka berada di taman kecil di luar aula pernikahan. "Aku tahu kita sudah lama nggak ngobrol. Tapi, aku nggak pernah bisa sepenuhnya melupakan kita. Kamu pernah jadi bagian besar dalam hidupku, dan itu nggak akan hilang begitu saja."

Rielana menunduk, berusaha menahan perasaannya yang mulai muncul lagi. "Aku juga nggak bisa melupakan kamu, Ghaz. Tapi kita tahu, kita berpisah karena alasan yang kuat. Perbedaan di antara kita terlalu besar untuk diabaikan."

Ghazlan menghela napas panjang. "Iya, aku tahu. Tapi apakah kita sudah benar-benar mencoba? Atau kita menyerah terlalu cepat karena takut melawan keluarga dan keyakinan kita?"

Pertanyaan itu menusuk hati Rielana. Dia juga sering bertanya pada dirinya sendiri apakah mereka menyerah terlalu cepat. Namun kenyataan hidup tidak semudah itu. "Aku nggak tahu, Ghaz. Aku cuma nggak mau kita saling menyakiti lagi."

Ghazlan mendekat, matanya menatap dalam ke arah Rielana. "Rie, aku juga nggak mau menyakiti kamu. Tapi sejak kita berpisah, aku merasa ada bagian dari hidupku yang hilang. Aku terus berpikir, apakah kita masih punya kesempatan untuk memperbaiki semuanya?"

Rielana merasa hatinya kembali bergetar. Cinta itu masih ada, kuat dan nyata. Namun, dia juga ingat betapa sulitnya mempertahankan hubungan di tengah perbedaan keyakinan mereka. Dia terdiam sejenak, mencoba mencari jawaban di dalam dirinya.

"Kita nggak bisa kembali seperti dulu, Ghaz," jawab Rielana akhirnya, dengan suara lembut namun tegas. "Mungkin kita masih saling cinta, tapi realitasnya, kita hidup di dunia yang berbeda. Aku nggak tahu apakah aku siap menghadapi semua itu lagi."

Mata Ghazlan meredup, namun ia mengangguk pelan. "Aku mengerti, Rie. Aku juga nggak mau memaksa. Tapi aku hanya ingin kamu tahu, perasaanku masih sama. Dan jika suatu hari kamu merasa kita masih punya harapan, aku akan ada di sini."

Dengan kata-kata itu, mereka berdua saling menatap untuk terakhir kalinya malam itu, sebelum akhirnya berjalan kembali ke aula. Malam itu mereka menyadari satu hal-cinta mungkin belum sepenuhnya hilang, tapi jalan untuk bersama tidak pernah mudah. Meski pertemuan itu membawa banyak kenangan, mereka tahu keputusan yang diambil dulu adalah yang terbaik untuk saat ini.

Tapi, siapa yang tahu apa yang akan dibawa oleh waktu? Apakah akan ada kesempatan kedua di masa depan, atau apakah mereka akan terus berjalan di jalan yang berbeda?

Sejak pertemuan di pernikahan Hellena, Rielana dan Ghazlan kembali terjerat dalam perasaan lama yang sulit diabaikan. Mereka tidak lagi sering bertemu, namun hati mereka masih saling merindukan. Meskipun tak ada yang diucapkan secara langsung, dalam hati kecil mereka masing-masing masih berharap ada keajaiban yang bisa menyatukan mereka tanpa harus mengorbankan keluarga dan keyakinan mereka.

Di tengah kegelisahannya, Rielana mulai merasakan kebingungan yang semakin mendalam. Suatu hari, saat sedang duduk di kamar sambil menatap langit dari jendela, mamahnya, Vivian Bimantara, mengetuk pintu dan masuk.

"Rielana, kamu sudah makan?" tanya Vivian dengan nada lembut, seolah merasakan kegelisahan putrinya.

Rielana tersenyum tipis, "Sudah, Mah."

Vivian duduk di sebelahnya, memandang wajah putrinya yang terlihat penuh pikiran. "Mama tahu, kamu belum bisa melupakan Ghazlan, ya?"

Rielana terdiam, tak menyangka mamahnya begitu peka terhadap perasaannya. Setelah beberapa saat, dia mengangguk pelan. "Iya, Mah. Aku masih sayang sama dia. Tapi aku tahu perbedaan kita terlalu besar."

Vivian menarik napas dalam, menatap putrinya dengan kasih sayang. "Cinta memang tidak mudah, terutama ketika keyakinan dan keluarga ikut terlibat. Tapi, yang penting adalah bagaimana kamu bisa menemukan kedamaian di dalam hatimu. Mama tahu kamu ingin bahagia, dan Mama ingin kamu membuat keputusan yang tidak akan kamu sesali nantinya."

berbeda keyakinanWhere stories live. Discover now