part 8

1 0 0
                                    

"Rie, kamu nggak bakal percaya ini," katanya sambil duduk di depan Rielana, wajahnya tampak serius namun sedikit ragu.

Rielana menaikkan alis, meletakkan cangkir kopinya. "Ada apa, Bang?"

"Ghazlan... dia bercerai."

Kata-kata itu seperti bom yang meledak di benak Rielana. Ia terpaku, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya. Ghazlan? Bercerai? Bagaimana bisa? Bukankah dia baru saja menikah beberapa bulan yang lalu?

"Bercerai? Secepat itu?" tanya Rielana, setengah tak percaya. "Kenapa?"

Rajash menghela napas, sedikit tak nyaman. "Aku nggak tahu detailnya. Tapi yang kudengar, pernikahan mereka memang nggak berjalan baik sejak awal. Banyak masalah, terutama soal perbedaan pandangan tentang masa depan. Ghazlan nggak pernah benar-benar move on dari kamu."

Rielana merasa dadanya sesak. Dia tak menyangka hubungan Ghazlan dengan istrinya akan berakhir secepat itu. Tapi, apa pun alasannya, dia tahu bahwa hidup Ghazlan bukan lagi urusannya. Mereka telah memilih jalan masing-masing, dan dia harus tetap konsisten dengan keputusannya untuk melepaskan.

"Rie," kata Rajash, menatap adiknya dengan serius, "aku tahu ini mungkin membuka luka lama, tapi aku hanya ingin kamu tahu. Kalau Ghazlan datang lagi... aku harap kamu tahu apa yang kamu mau. Jangan sampai kamu terjebak dalam situasi yang sama lagi."

Rielana mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi kebingungan. Dia tak tahu apakah berita ini akan mengubah apa pun dalam hidupnya, tapi satu hal yang pasti-dia tak ingin kembali terjebak dalam masa lalu.

Beberapa minggu kemudian, tanpa diduga, Ghazlan menghubungi Rielana. Ia meminta bertemu, kali ini bukan sebagai partner kerja, tapi sebagai dua orang yang pernah berbagi perasaan mendalam. Rielana merasa ragu, tapi pada akhirnya ia setuju. Mungkin ada hal-hal yang belum terselesaikan, dan pertemuan ini bisa menjadi cara untuk benar-benar menutup babak lama mereka.

Mereka bertemu di sebuah taman, tempat yang penuh kenangan bagi keduanya. Ghazlan tampak berbeda-lebih lelah, lebih tertutup, tapi masih dengan aura tenang yang selalu dikenali oleh Rielana.

"Terima kasih sudah mau bertemu," kata Ghazlan setelah beberapa saat keheningan.

Rielana mengangguk. "Apa yang ingin kamu bicarakan, Ghaz?"

Ghazlan menatapnya dalam-dalam, seolah-olah mencari jawaban di balik tatapan Rielana. "Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi... aku hanya ingin jujur sama kamu. Pernikahanku berakhir karena aku nggak pernah bisa benar-benar melupakan kamu."

Kata-kata itu membuat hati Rielana bergetar. Dia tahu ada sesuatu yang selalu tersisa di antara mereka, tapi mendengar pengakuan itu dari Ghazlan membuat perasaannya bercampur aduk. Di satu sisi, ia merasa tersanjung, tapi di sisi lain, ia tahu perasaan itu tak bisa mengubah kenyataan.

"Ghaz, aku... aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi kamu harus tahu, aku sudah berusaha melepaskan. Aku sudah mulai menerima kenyataan bahwa kita memang nggak bisa bersama," kata Rielana dengan nada hati-hati.

Ghazlan menunduk, tampak berat mendengar kata-kata itu. "Aku tahu. Aku juga berusaha. Tapi, semakin aku mencoba, semakin aku merasa kehilangan. Dan sekarang setelah semua ini terjadi, aku sadar bahwa kamu adalah bagian dari hidupku yang nggak bisa tergantikan."

Rielana menarik napas dalam. Ia mengerti perasaan Ghazlan, tapi ia juga sadar bahwa cinta saja tidak cukup untuk menyelesaikan semua masalah mereka. Ada perbedaan yang lebih besar dari sekadar perasaan-keyakinan, keluarga, masa depan. Semua itu masih menjadi dinding besar yang memisahkan mereka.

"Aku masih peduli sama kamu, Ghaz. Tapi aku nggak mau kita menyakiti diri kita sendiri lagi. Mungkin ini memang jalannya. Kita bisa saling peduli, tapi itu nggak berarti kita harus kembali bersama," jawab Rielana tegas, meskipun hatinya berat.

Ghazlan tersenyum pahit. "Kamu benar. Mungkin aku hanya perlu mendengarnya langsung darimu."

berbeda keyakinanWhere stories live. Discover now