Tak Terlepaskan

62 22 3
                                    

Wina duduk di teras rumah orang tuanya, memandangi taman kecil yang tertata rapi di depannya, namun pikirannya melayang jauh. Keputusannya untuk kembali ke Semarang dengan harapan bisa menenangkan diri terasa seperti kesalahan besar. Alih-alih menemukan kedamaian, Wina justru dipertemukan kembali dengan Abian dan Kimmy. Bagaimanapun ia mencoba melarikan diri, kisah rumit dengan mantan suaminya itu selalu saja menghantuinya.

Jerome, sudah kembali ke Jakarta, beberapa hari yang lalu. Kini, Wina harus menghadapi semua ini sendirian. Hanya dengan orang tuanya sebagai tempat berlindung, Wina merasa terjebak dalam lingkaran tak berujung. Setiap kali ia mencoba menjauh, kenyataan selalu menyeretnya kembali ke perasaan lama yang belum selesai.

Wina menghela napas panjang. Sore yang sejuk, dengan angin yang lembut, seharusnya bisa memberikan sedikit ketenangan, namun tidak untuknya.

"Apa hidupku bakal selamanya begini?" gumamnya pelan, menunduk dan memeluk lututnya erat. Ada rasa lelah yang mendalam, bukan hanya fisik, tetapi juga emosional. Ia ingin melanjutkan hidup, tapi setiap langkah ke depan seolah selalu tertahan oleh masa lalu yang tak pernah sepenuhnya hilang.

Jerome, meskipun sudah kembali ke Jakarta, sempat mengatakan padanya bahwa ia harus membuat keputusan untuk dirinya sendiri. "Kamu berhak bahagia, Wina. Kalau belum bahagia, sini aku bahagiain," kata Jerome saat mereka dalam perjalanan ke Semarang. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Wina, tapi kenyataannya tidak semudah itu.

Abian, meskipun telah menyakiti Wina dengan perselingkuhannya, masih memiliki tempat di hati Wina. Tapi setiap kali ia melihat Kimmy, perasaan marah, kecewa, dan cemburu selalu muncul, seakan menyegel segala perasaan baik yang mungkin masih tersisa untuk Abian.

Wina menghela napas lagi, mencoba menenangkan pikirannya. Mungkin sudah saatnya ia benar-benar merelakan. Mungkin Semarang, dengan segala kenangan masa kecilnya, bisa menjadi tempat baginya untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Tapi di dalam hatinya, Wina tahu bahwa ini akan menjadi perjuangan yang panjang, sebuah proses yang tak bisa ia jalani sendirian.

Ia bangkit perlahan, menatap langit yang mulai gelap. Sambil berjalan masuk ke rumah, Wina bertekad untuk menemukan cara agar bisa berdamai dengan masa lalunya, meski bayang-bayang Abian dan Kimmy masih menghantui.

Sebelum Wina benar-benar melangkah masuk ke dalam rumah, suara deru mesin mobil di halaman menarik perhatiannya. Ia berhenti sejenak, mengernyitkan kening saat melihat sebuah mobil yang tidak dikenalnya terparkir di depan rumah orang tuanya. Mobil itu jelas bukan milik ayah atau ibunya, karena kedua orang tuanya tidak memiliki mobil yang semewah itu.

Jantung Wina berdegup sedikit lebih cepat.

"Siapa yang dateng?" pikirnya.

Tiba-tiba, ada rasa cemas yang tak terjelaskan, seolah-olah kedatangan tamu tak terduga itu membawa berita yang tidak menyenangkan. Wina menatap mobil itu dengan was-was, mencoba mengingat apakah ada orang yang berencana datang ke rumah, tetapi tak ada yang muncul di benaknya.

Ketika pintu mobil terbuka, Wina merasakan tubuhnya tegang, menunggu siapa yang akan keluar dari sana. Di balik pintu, muncul sosok yang tak asing baginya.

Abian.

Seketika itu juga, Wina merasa seluruh usaha untuk menjaga jarak dan menemukan kedamaian runtuh.

Abian menutup pintu mobil dengan gerakan tenang, seolah-olah kedatangannya sudah direncanakan sejak lama. Ia melangkah menuju rumah dengan langkah mantap, tetapi wajahnya menunjukkan keraguan yang samar. Wina berdiri mematung di teras, hatinya berdebar keras, masih belum bisa percaya bahwa Abian benar-benar ada di sini, di rumah orang tuanya.

Ketika Abian semakin mendekat, Wina merasakan ketegangan memenuhi udara di antara mereka. Pandangan mereka bertemu, tetapi tak ada kata yang keluar dari mulut Wina. Pikiran tentang pertemuan yang tak diinginkan ini menghantamnya begitu keras, hingga sulit baginya untuk merangkai kata-kata.

Mantan PasutriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang