Minggu-minggu berlalu, perut Flora semakin membesar, dan dengan itu, tanggung jawab Freya sebagai suami juga kian terasa. Meskipun Freya tetap menjadi pria yang jarang bicara dan lebih banyak bersikap dingin, setiap tindakannya kini semakin menunjukkan perhatian yang dalam, meski mungkin tidak disadari oleh dirinya sendiri.Suatu pagi, ketika Freya bersiap-siap untuk pergi ke kantor, ia mendengar suara Flora dari dapur.
"Freya, bisa tolong bantu aku ambilkan kursi di ruang tamu? Aku kesulitan untuk menjangkau rak atas," ujar Flora, terdengar sedikit kelelahan.
Freya berhenti di depan pintu, lalu berbalik menuju ruang tamu tanpa sepatah kata pun. Dia mengambil kursi kayu kecil dan membawanya ke dapur. Tanpa banyak bicara, dia langsung menggunakannya untuk menjangkau rak dan mengambil gelas yang Flora inginkan.
"Nih," kata Freya pendek, menyerahkan gelas itu kepadanya.
Flora tersenyum kecil sambil menerima gelas tersebut. "Terima kasih, Freya. Kau selalu tahu kapan aku butuh bantuan."
Freya hanya mengangguk, lalu tanpa bicara lagi, dia kembali bersiap untuk keluar rumah. Tapi sebelum mencapai pintu, Flora memanggilnya lagi.
"Freya," panggil Flora, suaranya pelan, namun jelas terdengar.
Freya berhenti di depan pintu dan menoleh. "Apa?"
"Jangan lupa, sore ini kita ada janji kontrol ke dokter. Kau masih mau ikut, kan?" tanya Flora, sedikit ragu.
Freya menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Tentu. Aku akan pulang lebih awal."
Flora mengangguk, merasa lega. Meski Freya tidak mengucapkan banyak hal, ada sesuatu dalam kehadirannya yang membuat Flora merasa lebih kuat. Setiap kali Freya ikut ke pemeriksaan, meski tidak banyak bicara, itu adalah bentuk perhatian yang nyata bagi Flora.
Sore hari, seperti yang dijanjikan, Freya pulang lebih awal. Mereka berdua langsung berangkat ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan rutin. Dalam perjalanan, suasana di dalam mobil hening, seperti biasa, tapi kali ini tidak terasa canggung. Freya menatap lurus ke depan, fokus mengemudi, sementara Flora menyandarkan kepalanya di jendela, menikmati kebersamaan dalam keheningan itu.
Saat mereka sampai di klinik, dokter kembali melakukan pemeriksaan USG untuk melihat perkembangan bayi mereka. Kali ini, Freya yang lebih aktif bertanya.
"Apakah ada tanda-tanda komplikasi?" tanya Freya sambil menatap layar USG.
Dokter menggeleng sambil tersenyum. "Semuanya baik-baik saja. Kondisi bayi sangat sehat, dan Flora juga dalam kondisi yang stabil."
Freya mengangguk, merasa lega. Dia menatap Flora sejenak, lalu kembali memperhatikan layar. Meskipun Freya bukan tipe pria yang menunjukkan emosi secara gamblang, Flora tahu bahwa Freya peduli lebih dari apa yang terlihat di luar.
Setelah pemeriksaan selesai, mereka kembali ke rumah. Sepanjang perjalanan, Freya tetap fokus mengemudi, namun sesekali ia melirik Flora yang terlihat lelah.
"Bagaimana rasanya?" tanya Freya tiba-tiba.
Flora menoleh ke arahnya, sedikit bingung. "Maksudmu?"
"Kehamilan ini," jawab Freya sambil tetap memandang ke depan. "Apakah kau merasa baik-baik saja?"
Flora tersenyum tipis. "Kadang-kadang lelah, tapi selain itu, aku baik-baik saja. Lagipula, aku punya kau di sini."
Freya tak langsung merespons, tapi Flora bisa melihat sudut bibir Freya sedikit mengangkat, meskipun sangat samar. Bagi Freya, itu sudah seperti senyuman.
Malam itu, setelah makan malam, Flora duduk di sofa sambil menonton televisi. Freya, yang biasanya langsung menuju ruang kerjanya, kali ini duduk di sebelah Flora. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya duduk dengan tenang sambil menonton tayangan yang sama.
"Kau tidak bekerja malam ini?" tanya Flora heran.
Freya menggeleng. "Tidak ada yang mendesak."
Flora merasa terkejut, tapi juga senang. Ini adalah pertama kalinya Freya memilih untuk duduk bersamanya tanpa ada alasan khusus. Meskipun Freya tetap cuek dan tidak berbicara banyak, kehadirannya di samping Flora sudah cukup membuat suasana rumah mereka terasa lebih hangat.
Beberapa saat kemudian, Flora memutuskan untuk membuka percakapan. "Freya, kau tahu... Aku pikir aku akan kesulitan menjalani semua ini sendirian. Tapi karena kau ada di sini, aku merasa lebih kuat."
Freya menoleh sebentar, lalu mengangguk tanpa bicara. Mata cokelatnya yang dalam menatap Flora sejenak sebelum kembali memandang televisi.
Flora melanjutkan, meski ia tahu Freya mungkin tidak akan memberikan respons panjang. "Aku tahu ini bukan situasi yang kita harapkan. Kita menikah bukan karena cinta atau keinginan, tapi aku bersyukur kau tetap bersamaku."
Freya menghela napas pelan. "Aku di sini karena aku ingin. Tidak peduli apa alasannya, sekarang ini adalah tanggung jawabku."
Flora tersenyum mendengar kata-kata itu. Meskipun terdengar dingin dan datar, Flora tahu bahwa itu adalah cara Freya untuk mengatakan bahwa dia peduli.
Waktu berlalu dengan cepat, dan tak terasa hari semakin larut. Freya akhirnya berdiri dari sofa, bersiap untuk tidur. Namun sebelum dia pergi, dia berkata, "Kalau kau butuh sesuatu, panggil aku."
Flora menatap Freya dengan lembut. "Aku selalu merasa lebih baik saat kau di sini, Freya."
Freya tidak merespons secara verbal, hanya mengangguk pelan sebelum pergi ke kamar. Flora menatapnya hingga pintu kamar tertutup, merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh dalam hubungan mereka. Meskipun Freya tidak pernah mengatakan kata-kata manis atau menunjukkan rasa sayang yang jelas, Flora tahu bahwa Freya mulai membuka hatinya, sedikit demi sedikit.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unexpected Marriage
RomanceFlora, seorang gadis muda, terjebak dalam situasi sulit setelah hamil di luar nikah. Dengan dukungan ayahnya yang merupakan teman dekat dari ayah Freya, Flora dipaksa menikah dengan Freya, pria yang selama ini tidak pernah dekat dengannya. Meskipun...