Hari-hari terus berlalu, dan perut Flora semakin membesar. Setiap malam, saat duduk di ruang tamu, Flora seringkali mengelus perutnya dengan lembut, berbicara pada bayi yang tumbuh di dalamnya. Freya, yang biasanya hanya duduk di samping tanpa banyak bicara, mulai memperhatikan kebiasaan Flora ini dengan lebih intens.Suatu malam, setelah makan malam yang tenang, Freya duduk di sebelah Flora seperti biasa. Ia hanya melihat layar televisi tanpa terlalu memperhatikan acaranya, tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda dalam ekspresinya—seperti ada sesuatu yang ingin dia sampaikan tapi belum menemukan cara yang tepat untuk mengatakannya.
Flora yang menyadari keheningan itu lebih dari biasanya, akhirnya berbicara lebih dulu. "Freya... kau tahu, terkadang aku merasa kita seperti dua orang asing yang dipaksa hidup bersama."
Freya menoleh sedikit, menatap Flora dengan ekspresi tenang namun serius. "Itu karena kita memang awalnya dipaksa, kan?" jawabnya tanpa emosi berlebih.
Flora tertawa kecil. "Ya, mungkin. Tapi seiring berjalannya waktu, aku rasa... kita mulai mengenal satu sama lain. Setidaknya, aku mulai mengenalmu lebih baik."
Freya hanya mengangguk. Diamnya tidak lagi terasa dingin bagi Flora. Kini dia bisa membaca lebih banyak dari keheningan Freya—sebuah bahasa tanpa kata-kata yang lambat laun bisa dipahami olehnya.
Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, hingga Freya tiba-tiba bertanya, "Apa yang kau harapkan dari pernikahan ini?"
Flora terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan yang begitu langsung dan tidak biasa datang dari Freya. "Aku... awalnya tidak berharap apa-apa," jawab Flora pelan. "Aku hanya ingin menjalani apa yang sudah terjadi dan memastikan Shasa lahir dengan sehat. Tapi sekarang, mungkin aku berharap lebih."
"Lebih bagaimana?" Freya menatapnya lebih dalam, sesuatu yang jarang ia lakukan.
Flora tersenyum lembut. "Mungkin aku berharap kita bisa jadi keluarga sungguhan. Bukan cuma untuk menutupi masalah yang ada, tapi karena kita mau. Karena kita saling peduli."
Freya tidak langsung menjawab. Dia duduk lebih tegak, seolah sedang memikirkan kata-kata Flora. "Aku... tidak tahu bagaimana caranya jadi seperti itu," katanya jujur.
Flora menoleh, menatap Freya dengan mata penuh pengertian. "Aku tidak mengharapkan kau berubah drastis, Freya. Aku hanya ingin kita lebih terbuka satu sama lain. Sedikit demi sedikit."
Freya menghela napas, kemudian dengan suara pelan berkata, "Aku memang tidak tahu banyak soal cinta atau pernikahan. Tapi aku tahu satu hal—aku tidak akan pernah meninggalkan kalian."
Mata Flora melebar. Itu adalah pernyataan terpanjang yang pernah Freya ucapkan mengenai perasaannya, dan bagi Flora, itu sudah lebih dari cukup. Kata-kata Freya yang sederhana itu memberikan rasa aman yang tidak pernah ia sangka akan didapat dari pria yang cuek dan pendiam seperti Freya.
"Kau... tidak akan pergi?" tanya Flora, seolah ingin memastikan.
Freya menggeleng. "Tidak. Aku di sini bukan karena terpaksa. Mungkin awalnya begitu, tapi sekarang, aku di sini karena aku memilih untuk tetap di sini."
Flora merasa air matanya hampir menetes mendengar kalimat itu. Ini adalah kali pertama Freya menunjukkan bahwa ada rasa tanggung jawab yang lahir dari hatinya, bukan hanya dari keadaan. Dan meskipun Freya tidak mengatakan kata-kata manis atau romantis, Flora tahu Freya benar-benar tulus.
"Kau tidak tahu betapa banyak artinya bagiku," ujar Flora pelan.
Freya hanya tersenyum tipis, sesuatu yang jarang terlihat di wajahnya. "Aku tahu."
Hari demi hari, Flora semakin merasakan perubahan dalam diri Freya. Ia mungkin tetap pria yang diam dan tenang, tapi caranya memperhatikan Flora dan janin mereka semakin nyata. Setiap kali Flora kesulitan bangun dari sofa atau merasa terlalu lelah untuk berjalan ke kamar, Freya dengan sigap akan menolong, meski ia jarang menawarkan bantuan secara langsung.
Suatu hari, ketika mereka sedang duduk di taman belakang rumah menikmati sore yang cerah, Flora dengan santai bertanya, "Apakah kau pernah berpikir tentang masa depan, Freya? Tentang bagaimana kita akan membesarkan Shasa?"
Freya yang sedang menyeruput teh hitamnya hanya mengangkat bahu. "Aku tahu satu hal. Aku akan membesarkan dia dengan baik. Itu saja yang kupikirkan."
Flora tersenyum. "Aku yakin kau akan jadi ayah yang baik."
Freya menatap Flora sebentar. "Bagaimana denganmu?"
"Aku?" Flora berpikir sejenak. "Aku juga takut, sebenarnya. Menjadi ibu bukan hal yang mudah, terutama dengan semua keadaan yang kita hadapi."
"Tapi kau sudah melakukan yang terbaik sejauh ini," ujar Freya. "Dan aku yakin, Shasa akan beruntung memiliki ibu sepertimu."
Kata-kata Freya, meski singkat dan sederhana, benar-benar membuat hati Flora hangat. Freya memang bukan orang yang akan memuji dengan berlebihan, tapi setiap kali dia berbicara, ada kejujuran yang mendalam di baliknya.
Sore itu, mereka duduk bersama dalam keheningan, menikmati angin yang sejuk dan suasana yang damai. Bagi Flora, momen-momen seperti ini adalah hal yang tak ternilai, saat ia dan Freya bisa bersama tanpa perlu banyak kata-kata. Mereka mungkin masih belum seperti keluarga pada umumnya, tapi mereka berusaha, dan itu yang paling penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Unexpected Marriage
RomanceFlora, seorang gadis muda, terjebak dalam situasi sulit setelah hamil di luar nikah. Dengan dukungan ayahnya yang merupakan teman dekat dari ayah Freya, Flora dipaksa menikah dengan Freya, pria yang selama ini tidak pernah dekat dengannya. Meskipun...