"Mbak, aku pengen roti abon empat, terus kue sus-nya lima." Seorang pengunjung berucap di saat aku tengah menata donat ke dalam etalase.
"Boleh, Dek. Apa lagi?" tanyaku dengan senyum terukir ramah, lalu mengambil roti satu per satu ke atas nampan.
"Udah," jawabnya. Aku mengangguk, lantas mengulurkan nampan berisi pesanannya.
"Silahkan, dibayar di sana." Aku menyilakan satu tanganku ke arah kasir di sudut ruangan. Gadis berhijab hitam itu mengangguk, menerima dan membawanya ke kasir.
Aku melirik jam menunjukan pukul empat sore, itu saatnya masa shift-ku selesai. Kulepas celemek yang menjadi teman setiaku, lalu berjalan ke arah loker mengambil baju dan tas.
Ini adalah bulan ke 2, di mana aku bekerja di salah satu toko roti ternama di kota Bandung. Meski cukup melelahkan karena melayani pengunjung yang selalu ramai setiap harinya, namun tak mengurangi rasa semangat dalam diriku.
Setidaknya dengan cara ini, aku bisa melupakan permasalahan yang tak kunjung ada kejelasannya, dengan memilih untuk menyibukkan diri setiap waktunya.
Ya, waktu memang begitu cepat bergulir, sampai-sampai aku baru menyadari jika kepindahanku ke Bandung, sudah setahun lamanya. Melewati hari-hari berat sudah kulalui dengan Ayah di kota ini. Meski rasanya sulit, tapi pada akhirnya aku bisa bangkit dari keterpurukan. Dan menata kembali kehidupan baruku di tempat ketenangan dan kenyamanan berada.Selepas berganti pakaian dan pamit pada beberapa karyawan toko lainnya. Dari luar, tampak Dara sudah menunggu. Dara sendiri adalah teman karyawan yang cukup dekat denganku, dan bukan hanya itu, rumah kami pun sejatinya memang satu arah.
"Sudah, Teh? Aku udah pesen Grab-nya. Bentar lagi nyampe." Dara berucap di saat aku menghampiri ke arahnya.
"Iya." Aku menjawab sembari melihat jam di pergelangan tangan.
"Owh ya, Dar. Seperti biasa, nanti Teteh mau turun di persimpangan jalan Melati. Kamu pulang sendiri nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa, Teh. Maaf ya, Dara nggak bisa temenin Teteh. Soalnya besok kuliah," jawabnya.
"Nggak apa-apa, kok."
Tak lama mobil yang kami pesan datang. Dari dalam seorang driver membunyikan klakson.
"Atas nama Mbak Dara?" tanyanya saat mobil berhenti.
Dara pun mengangguk, lantas naik ke dalam, lalu disusul olehku dari belakang.
Mobil melaju membelah jalanan yang lenggang. Suasana arah menuju perum tempat di mana aku tinggal, memang lah tak seramai seperti di daerah kota pada umumnya. Dan memesan Grab adalah pilihan yang tepat bagiku. Mengingat, jika malam sudah tiba, jalanan yang dilalui jarang dilewati oleh angkutan umum karena selebihnya digunakan oleh pengguna roda dua.
"Pak, stop di sini, "pintaku, lantas melirik ke arah Dara di sisiku. "Dara, Teteh duluan, ya?"
"Iya, Teh. Hati-hati, ya," jawabnya yang diangguki olehku.
Hari sudah mulai petang, namun suasana tempat yang akan kutuju sudah tampak beberapa orang yang tengah duduk menunggu di salah satu ruangan. Aku melangkah masuk, menyapa ramah suster di meja pendaftaran.
"Sore, Sus. Baru urutan no berapa?" tanyaku.
Gadis putih berlesung pipit itu mendongak, "Sore juga, Mbak. Baru urutan no 4. Sebentar lagi Mbak Airin dipanggil. Ditunggu aja, ya, Mbak."
"Makasih, Sus," ucapku, lantas duduk di kursi.
[Assalamu'alaikum. Yah, hari ini Airin pulang terlambat. Satu atau dua jam lagi Airin pulang. Ayah jangan khawatir.]
KAMU SEDANG MEMBACA
KALI KEDUA (sekuel)
RomanceSetelah keputusannya untuk pergi serta menyembunyikan kehamilan pada suaminya. Airin kini memutuskan untuk membuka lembaran baru dengan putri semata wayangnya. Walau ia harus berdarah-darah melewati banyak persoalan hidup dan psikologisnya, namun...