Dengan penuh harap. Aku mengisyaratkan Dokter Khalil agar secepatnya pergi dari sini, sebelum sesuatu buruk terjadi padanya. Melihat gurat terpancar dari raut muka yang Mas El tunjukkan, aku tak yakin semua akan baik-baik saja lebih dari kemarin. Mendadak udara yang semula dingin. Terasa panas menyelusup ke pori-pori saat langkah dari kedua kaki jenjang itu berjalan dengan santai. Namun, sepasang sorot tajam itu masih tetap setia melekat ke arah Dokter Khalil yang berada di sampingku, yang sedetikpun seolah sama-sama tak gentar.
"Dok, sebaiknya--"
"Saya akan tetap di sini, Airin," tukasnya memotong ucapanku.
"Maksud Dokter?" Aku berbisik pelan. Membuat debar takut di dadaku semakin bertalu.
Dokter Khalil kini menatapku, lalu tersenyum tipis. "Tidak usah khawatir."
Tidak usah khawatir katanya? Aku memicing mata. Entah apa yang ada dipikirannya sekarang, dan entah apa yang diinginkannya, sehingga dengan sangat santainya mengatakan tak perlu khawatir. Sedangkan Mas El sudah jelas-jelas mengibarkan permusuhan sejak pertama kali mereka bertemu.
Sekalipun di antara aku dan Dokter Khalil tidak ada hubungan apa-apa. Tapi tetap saja, di mata Mas El, Dokter Khalil dianggap berbahaya.
Aku menelan ludah saat Mas El menghentikan langkah tepat di depanku. Biera yang berada dalam pangkuannya, ia serahkan padaku.
"Ayo kita masuk, Sayang ... " Suara dan genggaman tangan dari Mas El membuatku tersentak.
"Dan untuk anda yang tidak tahu diri. Saya peringati sekali lagi. Saya tahu anda adalah seorang Dokter, tapi akan kah lebih baik tahu mana batasan, bukan?" Sindirnya tajam.
Kudengar Dokter Khalil terkekeh pelan. "Saya sangat menjunjung tinggi gelar saya dan batasannya. Tapi di luar itu, kami memang dekat. Bukan begitu, Airin?"
Aku yang menjadi pusat perhatian kedua lelaki di depanku, tak bisa mengelak. Tapi tak bisa mengiyakan karena tiba-tiba lidahku terasa kelu.
"Sh*t!" Mas El bergumam pelan. Rahangnya terlihat mengeras, menandakan amarahnya semakin kian memuncak.
"Mas!" Aku menggeleng kepala. Mengisyaratkan agar ia tak melakukan apa pun. Terlebih ada Beira di sini. Mas El yang paham akan maksudku, ia hanya bisa mengerang kesal, lalu membuang muka.
"Hai Biera? Om Dokter pulang dulu ... " Tanpa memperdulikan Mas El yang kembali menajamkan pandangan, Dokter Kahlil malah menyapa Biera dengan santainya, lantas beralih menatap padaku. "Saya pergi dulu," pungkasnya dengan seulas senyum, lalu bergerak meninggalkan kami.
Melihat gelagat berbeda yang ditunjukkan. Aku benar-benar tak paham dengan isi kepala Dokter Khalil. Tak biasanya ia bersikap seperti itu padaku. Apa semua itu hanya untuk memancing cemburu Mas El? Meskipun iya, tapi ini tetaplah salah. Bukan saja cemburu yang terjadi, namun gejolak amarah kini menguasai lelaki yang tengah meremat jemariku. Tanpa mengatakan sepatah kata, Mas El menarik lenganku ke dalam.
Sesampainya di ruang tamu. Aku menghentikan langkah, mencoba meluruskan kesalahpahaman.
"Kamu jangan salah paham, Mas. Aku sama Dokter Khalil nggak ada hubungan apa-apa. Kami hanya sekadar--"
"Sekadar apa?!"
Aku menelan ludah ketika air muka Mas El memerah. Menatap tajam padaku.
"Ke-kedekatan kami hanya sekadar Dokter dan pasien itu aja. Nggak leb--""Kalau memang begitu. Untuk apa dia sering ke sini? Kamu pikir, Mas bodoh?!" tanyanya berkali-kali memotong ucapanku dengan nada sewot.
"Itu nggak ada hubungan sama aku, Mas. Dia ke sini, cuma ketemu Ay--"
"Tetap saja! Itu nggak bisa dibenarkan, Airin. Itu hanya alasan klise, supaya ketemu sama kamu tiap Minggu. Dari cara natap kamu aja, jelas-jelas dia suka sama kamu. Apa selama ini kamu nggak peka? Owh ... apa jangan-jangan kamu juga suka sama Dokter itu??" selidiknya memicing mata curiga yang membuatku geram.
Plak!
Aku melayangkan tamparan ke pipinya serta merta menggeleng kepala.
"Jaga tuduhan dan ucapan kamu, Mas! Sedekat apa pun hubungan aku dan Dokter Khalil selama ini, tapi aku sangat amat tahu batasan kami!"
"Kamu boleh cemburu. Kamu boleh kasih tahu aku kalau salah. Tapi jangan pernah menuduhku!" Peringatku lagi dengan nyalang, lalu menarik langkah menuju dapur.
"Ma--Ma ... " Seolah tahu isi hatiku, suara rendah Biera membuatku mengerjap dari lamunan, lantas mengusap pelan air mata di pipi."Biera, Sayang. Mama angetin mamam buat Biera dulu, ya," ucapku seraya mendudukkan dirinya pada kursi tempat ia makan.
Setelah mengambil semangkuk MPASI. Aku duduk di depan Biera sambil mengaduk-aduk pelan.
"Mam-mam ... " Biera terdengar antusias melihat makanan kesukaan. Beberapa kali lidahnya menjulur, tanda ia tak sabar. Setelah memastikan makanan dalam sendok dingin, aku mendongak dengan senyum merekah, lantas menyuapinya hingga tandas.
Sejak perdebatan kami setengah jam lalu, aku memang mengabaikan keberadaan pria yang sedari tadi mengamati kami dari jauh. Acap kali ia bergerak mendekat, sudah barang tentu, aku lebih dulu memperingatinya dengan tatapan tajam. Sehingga yang ada, Mas El harus menahan diri untuk tak mengeluarkan sepatah kata, apalagi mencoba mengusikku. Entahlah. Aku merasa perlu untuk melakukan ini, agar ia menyadari kesalahannya.
Setelah merebahkan Biera yang terlelap ke atas ranjang, lalu menyelimuti hingga sebatas pinggang. Aku mengayunkan langkah, kembali turun menuju dapur, untuk menghangatkan makanan.
Saat melintasi ruang tamu, aku menatap ke arah jam di dinding yang sudah menunjukkan pukul 12 siang. Dan saat itu juga, aku baru tersadar, jika aku belum sarapan apa pun. Pantas saja, perutku sedari tadi melilit dan perih karena nyatanya sudah melewati jam sarapan.
Dengan langkah tertatih, aku mengambil nasi dan lauk yang ada, lalu duduk menatap malas ke arah makanan. Tak mau asam lambungku kembali kambuh. Aku menyuapi nasi ke dalam mulut yang entah kenapa rasanya terasa hambar.
"Mas minta maaf," ujarnya, lalu duduk di sampingku. Aku yang tengah membaca novel, mencoba menulikan ucapannya.
Kesal karena diabaikan, Mas El merebut buku novel di tanganku, lalu melemparnya ke sembarang arah.
"Mas!"
"Kamu udah mengabaikan Mas seharian, Airin. Mas mesti apa lagi, supaya kamu maafin? Mas sadar, nggak seharusnya Mas nuduh kamu yang nggak-nggak," ucapnya seraya mendesah frustasi. Dari sudut mata, Mas El meraup kasar wajahnya, lalu membanting punggungnya ke sandaran kursi.
"Apa perlu Mas membuktikan sesuatu, supaya kamu mau maafin, Mas?" tanyanya lagi.
"Maafin Mas, ya?"
Untuk sesaat, Mas El mencoba meraih jemariku, namun berhasil kutepis.
"Nggak semudah itu minta maaf. Mana udah nuduh sembarangan lagi," tukasku dengan bibir mengerucut.
Kudengar Mas El menghela napas. "Yaudah, mau apa? Mau beli perhiasan? Jalan-jalan? Atau bel---"
"Berdiri di luar sampai hujan reda kayak di sinetron," tukasku sekenanya. Sebenarnya aku tak berniat seserius itu, namun sayangnya Mas El langsung mengiyakan usulku. Ia melangkah ke luar, membiarkan kepala dan tubuhnya berbaur dengan derasnya air hujan.
Sadar, tak seharusnya melakukan ini, aku segera mengambil payung, lantas menyusulnya ke halaman rumah. Terlebih yang aku khawatirkan, ialah kesehatannya yang belum benar-benar pulih.
"Ayo, masuk."
Mas El yang tengah melipat kedua tangan di dadanya karena mengigil, kini mengurai senyum merekah saat aku berdiri di depannya. "Berarti udah dimaafin?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan dariku.
"Ayo," ajaknya semangat, lalu mengambil alih payung di tanganku, hingga tak lama, dibiarkan jatuh teronggok ke tanah.
"Mas ...!" Aku berteriak kesal saat tetes demi tetes percikan hujan membasahi hijabku. Namun, bukannya merasa bersalah, pria di depanku malah tersenyum, lalu detik kemudian menarik tubuhku ke dalam pelukannya.
"Sudah kayak di sinetron-sinetron belum?" bisiknya terkekeh seraya mengeratkan pelukannya lebih dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALI KEDUA (sekuel)
RomanceSetelah keputusannya untuk pergi serta menyembunyikan kehamilan pada suaminya. Airin kini memutuskan untuk membuka lembaran baru dengan putri semata wayangnya. Walau ia harus berdarah-darah melewati banyak persoalan hidup dan psikologisnya, namun...