12

37 9 0
                                    

"Mas ... " Aku menahan satu tangannya yang tengah bergerak tak sabar, mencoba membuka kancing baju satu per satu saat tiba di ruang TV.

Mas El menghentikan aksinya, ia menatapku sendu dengan sederet air muka memohon.

Aku menggeleng kepala, mengisyaratkan agar berhenti, lantas menjauhkan diri.

"Kenapa?" tanyanya serak diiringi wajah frustasi. Belum lagi kedua sorot matanya yang gelap sekelam malam. Menandakan ada sesuatu untuk dituntaskan.

Aku tahu, Mas El sangat amat menginginkannya. Namun entah kenapa, aku belum siap. Benar-benar belum siap.

Aku menunduk. Mengusap bibirku yang basah, tanpa berani mengemukakan alasan. Dan aku harap, dengan diamnya aku. Mas El sendiri mengerti dan memahami keadaan ini.

Kudengar Mas El menghela napas berat.

"Maaf," ujarnya lirih. Ia meraup wajah, lalu membanting punggungnya pada sofa. Kini ia berpaling, mengalihkan tatapan ke area luar.

"Sebaiknya kamu ke kamar. Mas nggak bisa memastikan kamu bisa lolos lagi, kalau kamu masih tetap di sini," sambungnya. Ada sirat kekecewaan begitu dalam, saat ia melontarkan kalimat itu.

Lagi-lagi aku hanya bisa diam seperti kehabisan kata-kata, lalu memilih mengambil langkah menjauh.

"Airin ... "

Aku berbalik. "I-iya?"

"Jangan lupa kunci pintunya!" peringatnya lagi.

Tanpa menunggu perintah kesekian kali darinya, aku melanjutkan langkah lagi sampai tiba di kamar, lalu menguncinya.

Setelah mengatur degup jantung yang berdebar tak karuan dan menetralkan segala rasa kecamuk yang berpuing di kepala. Aku menyandarkan diri pada daun pintu, lantas memejamkan mata. Sikapku atas penolakan barusan, bisa jadi akan membuatnya menyakitkan malam ini. Tapi tak ada pilihan, aku memang belum benar-benar siap untuk menyerahkan suka rela diri ini, sedangkan hatiku sendiri masih dirundung kebimbangan.

     "Pagi, Sayang ... " Mas El mengecup lembut pipi Biera yang tengah asik mengemut snack dalam genggamannya. Harum aroma maskulin dari tubuhnya  menguar memenuhi indra penciuman.

"Pagi ... " Kini suara lembut dari bibir Mas El mengarah padaku. Aku mendongak, memastikan bahwa dugaan ini benar. Dan ternyata memang benar. Mas El tersenyum canggung lalu menarik kursi di sampingku. Untuk sesaat aku tertegun melihat perubahan sikapnya yang berbeda. Kupikir, setelah penolakan semalam. Ia akan berubah jadi lebih dingin dan irit bicara.

Belum habis keterkejutanku, kini tatapanku turun  memindai penampilan santainya dengan setelan kaos putih berikut celana jeans hitam yang hanya sebatas lutut. Tak bisa memungkiri, kali ini Mas El terlihat tampak jauh lebih muda.

Kudengar Mas El berdeham, mengoyakkan keterpakuanku.

Malu karena ketahuan olehnya, aku segera menunduk, mengalihkan perhatian pada satu roti di tangan, lalu kembali mengoles selai kacang.

"Boleh rotinya."

"Mas mau?" tanyaku yang diangguki olehnya.

Kuletakkan sepiring roti di depannya. Dengan sigap, Mas El mengambil sepotong roti isi, lantas melahapnya tanpa beban.

"Ada acara nanti malam. Kamu mau 'kan temenin Mas?" Tiba-tiba Mas El bersuara, mengusik keheningan yang tercipta di antara kami, yang sesekali digenapi oleh suara tawa dan celotehan Biera.

Aku mendongak, dengan sepasang alis mengernyit. "Ke mana?"

"Wedding anniversary--sahabat Mas. Lagipula acaranya di rumah. Kamu pasti tahu, dia mantan atasan kamu di toko-- Mbak Seira. Kamu ingat 'kan, adeknya yang kemarin nikah?"

KALI KEDUA (sekuel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang