Setelah memastikan Biera terlelap. Aku merebahkannya ke atas ranjang, lantas bergegas turun saat kudengar suara klakson mobil dari luar terdengar. Saat aku membuka pintu, tampak Mas El membawa dua kantung plastik dalam genggamannya.
Kemeja putih yang ia kenakan basah kuyup karena memang di luar hujan deras sedari tadi. Belum lagi buliran air yang menetes dari ujung rambutnya yang lepek dan basah. Aku berdecak kesal, melihat tampangnya yang polos dengan senyum terukir manis. Padahal jelas-jelas dengan tindakannya ini, akan berimbas dengan kesehatannya nanti.
"Tunggu di sini! Baju sama badan kamu basah, Mas. Aku bawa handuk dulu," tukasku melengos ke kamar, mengambil handuk bersih untuk ia gunakan.
"Makasih ... " Mas El berucap seraya tersenyum tipis, membawa handuk yang sudah kuulurkan, lalu menggosokkan ke kepalanya.
"Sebaiknya bersihkan badan dulu di kamar Ayah. Di sana ada air panas yang bisa digunakan," ucapku, kemudian berjalan ke tempat pantry. Membuka kantung belanjaan yang baru saja ia sodorkan sesaat sebelum beranjak pergi.
Aku membuka tiga box putih satu per satu yang ternyata berisikan dimsum, martabak telor bebek dan satu bungkus sate ayam. Aku menggeleng kepala tak percaya. Saat hujan deras begini, bisa-bisanya Mas El minta izin ke luar hanya untuk membeli makanan sebanyak ini. Kupikir ia benar-benar akan pergi dan tak akan kembali. Padahal jelas-jelas waktu sudah terhitung larut malam. Apa jangan-jangan Mas El kelaparan? Tapi, bukannya tadi dia juga makan di pesta pernikahan?
Meskipun rasa kantuk mulai terasa mengganggu dan amarah masih bersemayam di dada, tapi aku tak akan tega membiarkan ia kelaparan dan kerepotan sendiri di dapur. Terlebih Bi Ratih memang tak menginap di sini. Jadi mau tidak mau, aku sendiri yang ikut turun tangan.
Harum aroma sabun menguar saat aku tengah mengaduk teh manis, bersamaan dengan suara deret kursi yang ditarik.
Aku memutar tubuh, berjalan ke arah meja, meletakkan secangkir teh hangat padanya tanpa mau melihat sorot matanya yang sedari tadi terpaku padaku.
Untuk sesaat aku meraih gelas di meja, lantas meneguknya untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering. Setelah itu, kusodorkan piring berisi makanan yang sempat kualihkan, tepat di depannya tanpa berkata apa pun.
"Bisa temenin Mas di sini?" pintanya saat aku hendak berniat untuk pergi ke kamar.
Untuk beberapa detik kami terdiam. Hanyut dengan pikiran masing-masing.
Kudengar Mas El berdeham, lalu menyantap dimsum ke dalam mulutnya.
"Siapa laki-laki yang tadi?" tanyanya datar.
Aku meliriknya dengan alis menaut. "Laki-laki yang mana maksudnya?"
Mas El terbatuk-batuk, mengambil gelas di depannya lalu meneguknya hingga tandas.
"Berapa laki-laki yang dekat sama kamu sampai kamu tanya yang mana?" Mas El menyunggingkan senyum menyindir, seraya menatap tajam padaku yang membuatku geram dengan tuduhannya yang jelas tak masuk akal.
Aku menggeleng kepala. "Kamu pikir aku perempuan apa? Seenak nuduh yang nggak-nggak. Kalau cuma itu yang pengen dibahas. Lebih baik aku tidur!"
Aku turun dari kursi, namun pergelangan tanganku ditahannya.
"Mas minta maaf. Kita dulu lagi, ya? Banyak hal yang ingin Mas bicarakan sama kamu, Airin. Termasuk meluruskan apa yang sudah terjadi. Meskipun Mas akui, ini terlambat," ujarnya yang membuatku tak tahan untuk tak mengepalkan kedua tangan.
"Kalau tau ini terlambat, untuk apa diluruskan lagi?" Sindirku, menjungkirbalikkan kalimatnya. Rasanya entah kenapa, malas untuk mendengar apa pun alasan yang nanti akan dikemukakannya. Yang jelas-jelas harapan dan kepercayaan yang sempat kuberikan, nyatanya menguap begitu saja. Semua terasa sudah terlampau berlalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
KALI KEDUA (sekuel)
RomanceSetelah keputusannya untuk pergi serta menyembunyikan kehamilan pada suaminya. Airin kini memutuskan untuk membuka lembaran baru dengan putri semata wayangnya. Walau ia harus berdarah-darah melewati banyak persoalan hidup dan psikologisnya, namun...