8

48 12 0
                                    

Aku meletakkan hati-hati semangkuk bubur hangat di atas nampan, berikut satu gelas air putih dan parasetamol di atas piring kecil, lantas bergegas menuju kamar. Semalam aku benar-benar tak bisa tidur karena mendadak tubuh Mas El panas hingga menjelang pagi. Beberapa kali ia mengerang pelan karena badannya tiba-tiba menggigil. Hingga pukul 4 pagi, aku masih sibuk bersibaku di dapur. Membasuh kain tipis di wastafel untuk kugunakan kembali, lalu memasak bubur untuknya.

Sesampainya di kamar. Aku meletakkan nampan di atas nakas, lalu mengumpulkan keberanian untuk menggoyang bahunya pelan agar segera bangun. Mas El yang tengah Meringkuk bak anak kecil di samping Biera, perlahan membuka mata. Ia masih bisa tersenyum simpul, kemudian bangkit. Duduk, menyandarkan diri di kepala ranjang dengan wajah yang begitu pucat.

"Makan bubur dulu," ucapku pelan. Mengambil bubur, lantas menyerahkan padanya.

Untuk beberapa detik mata Mas El terpaku pada mangkuk, tak berniat mengambilnya.

"Suapin," pintanya dengan suara serak.

Aku mengernyit alis. "Makan sendiri." Tolakku bersikeras.

"Mana bisa? Tangan Mas aja gemetaran," katanya mengayunkan jemarinya yang memang terlihat gemetar. Aku berdecak pelan, lalu menarik bubur ke dalam pangkuan. Mengaduk-aduk sebentar, sebelum akhirnya mengulurkan ke arah bibirnya.

Untuk sesaat Mas El mengulum senyum puas, menyantap bubur ke dalam mulutnya dengan semangat.

Setelah berhasil menghabiskan bubur yang tinggal tersisa setengah lagi, aku menyerahkan obat parasetamol. Disusul segelas air putih padanya.

"Makasih," ucapnya pelan namun masih bisa kudengar. Mengabaikan tatapannya yang tak lepas sedari tadi, aku memilih untuk bangkit, mengambil kembali nampan dan gelas kemudian merentangkan jarak agar hawa panas ini segera mengurai. Terlebih tindakan beraninya memelukku semalam, membuatku semakin diliputi kecanggungan sekaligus rasa kesal yang masih belum juga reda.

Tanpa menoleh ke belakang, aku meraih gagang pintu, lalu berucap,"Kalau Mas mau salat, aku udah siapin sajadah di situ," tunjukku ke arah meja kecil. Tanpa menunggu lagi jawaban darinya, aku segera menarik pintu, menutupnya kembali lalu turun.

Selepas melaksanakan salat Subuh. Aku segera menyapu lantai, mengepel, kemudian memasak sarapan dan juga mengolah MPASI untuk Biera. Beruntung saat aku sudah selesai menuntaskan pekerjaan, kulihat Biera masih terlelap. Namun, sosok Mas El sudah tak berada di sampingnya.  Tak berniat mencari ke dalam, aku lebih memilih kembali turun, menarik langkah ke luar untuk memberi makan ikan koi, seraya menikmati semilir angin segar di pagi hari.

Tempat yang paling kusukai selain gazebo di belakang adalah di sini. Di mana deretan tanaman hias berjajar rapi membuat mataku kembali segar dan perasaanku terasa tenang. Pun beberapa pohon yang rimbun membuat suasana begitu menyejukkan. Pantas saja Ayah sering sekali berlama-lama di sini hanya untuk sekadar mengamati dalam diam atau bercocok tanam lagi dan lagi.

Setelah menyirami semua  tanaman, aku segera meraup kumpulan daun layu ke dalam serokan, lalu bergegas membuangnya ke tempat sampah di dekat gerbang.

"Selamat pagi," sapa seseorang dari arah belakang membuatku menoleh sekaligus terkejut dengan kedatangannya.

Pria yang tampil berbeda dari biasanya, memakai kaus olahraga biru berikut dengan celana hitam itu tersenyum ramah padaku. Satu tangannya tengah menggenggam kantung plastik putih.

"D-dokter ... " Aku tersenyum simpul, meletakkan sapu lidi dan serokan di samping tempat sampah.

"Semalam saya WA kamu. Tapi nggak dibales. Saya khawatir," ujarnya yang membuatku terdiam tak percaya.

KALI KEDUA (sekuel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang