4

69 16 1
                                    

"Lama ya? Tadi aku abis nganterin Mama dulu. Kamu lagi ngapain di sini?" Suara lembut perempuan di belakang, membuatku menoleh penasaran.

"Nggak lah. Ini kebetulan lagi mau makan siang, Mbak."

Perempuan yang memakai hijab peach dengan setelan atas-bawahan berbahan sipon itu mendekat ke arah kami. Lalu mereka saling menjabat tangan. Untuk sesaat, ia pun menoleh padaku yang diikuti tatapan Dr Khalil.

"Siapa Khal? Calon kamu?"

Dibrondong pertanyaan seperti itu, Dr Khalil terlihat salah tingkah, ia menggaruk tengkuknya, lalu tersenyum masam. "B-bukan. Ini pasien aku yang kebetulan kerja di tempat kamu, Mbak. Owh ya, Rin. Kenalin ini Mbak Seira- sepupuku. Dia pemilik toko roti."

Mendengar penuturan dari Dokter Khalil, tentu saja aku lantas bangkit, mengangguk sopan ke arah Mbak Seira.

"Kenalin, saya Airin. Saya salah satu karyawan, Ibu." Aku mengulurkan tangan, yang langsung mendapat sambutan hangat darinya. Kupikir seorang atasan akan memberi jarak dengan bawahannya, namun tidak dengan Mbak Seira, selain parasnya yang cantik, ia juga murah senyum. Membuatku berdecak kagum melihat sikapnya.

"Jangan panggil Ibu. Mbak aja juga nggak apa-apa. Owh ya, sepertinya kamu karyawan baru di sini?"

"I-iya, Mbak. Saya baru. Mohon bimbingannya."

"Owh, pantes. Udah mau 3 bulan belum ke sini lagi. Owh ya, Mbak jadi ganggu dong acara makan siang kalian."

Aku menggeleng kepala.

"Nggak sama sekali, Mbak. Lagian saya bisa pindah ke tempat lain." Aku segera mengambil handphone di atas meja, namun ditahan oleh Mbak Seira.

"Nggak usah. Lagian saya ke sini cuma mau nganterin undangan buat Khalil."

Diulurkannya kertas berwarna coklat tua dengan pita putih di tengahnya ke arah Dr Khalil.

"Undangan buat kamu, Khal. Lagian kamu tuh susah banget sih dihubungin. Mbak ke tempat praktek kamu takutnya kamu sibuk. Mbak ke rumah kamu, kata Tante Fara kamu jarang di rumah. Makanya terpaksa janjian di sini. Mbak tunggu kamu maen ke rumah juga nggak nongol-nongol." Decaknya setengah menggerutu, lalu duduk di kursi dekat sebelahku.

"Iya, Mbak. Aku ganti no. Yang kemarin ilang sama handphone-nya. Kak Dimas apa kabar, Mbak?"

"Dimas baik. Tadinya dia mau ikut ke sini. Tapi di kantor banyak kerjaan. Jadinya dia cuma titip salam buat kamu."

Dokter Kahlil manggut-manggut. Membuka lipatan kertas undangan seraya berucap, "Aku nggak nyangka Syifa udah mau nikah aja. Padahal aku inget waktu pas dia masih kecilnya, sering banget aku jailin."

"Iya. Mbak inget banget. Udah ngerasa tua nggak sih? Tante Fara udah nggak tahan pengen punya mantu. Eh, kamunya nggak pernah dengerin."

"Mama dari dulu emang kode terus. Tapi ya gimana, calonnya nggak ada, Mbak. Susah belum ada yang klik," jawabnya santai yang mendapat  gelengan kepala dari Mbak Seira.

"Mbak rasa kamunya yang nggak peka, Khal. Kamu tuh doyan banget PHP-in cewek. Udah berapa tuh, yang Mbak kenalin ke kamu malah digantung gitu."

Mendengar percakapan yang menjurus ke pribadi, aku yang tengah berada di tengah-tengah mereka sebagai orang lain, rasanya tak nyaman. Terlebih sindiran yang diutarakan Mbak Seira membuat wajah Dokter Khalil bersemu beberapa kali. mungkin juga ia merasa tidak nyaman ranah privasinya diusik.

"Kata siapa, Mbak. Nggak juga," selanya seraya tertawa jenaka, lantaas meluruskan punggungnya.

"Mbak cuma mau ingetin kamu aja, Khal. Untuk yang ada di depan kamu sekarang, jangan di PHI-in lagi. Buru deh resmiin hubungan kalian. Mbak tunggu kabar baiknya," ucapnya yang membuat Dr Khalil menegang. Untuk sesaat mata kami saling bersitatap. Aku yang tidak tahu apa-apa, mencoba mencerna kalimat Mbak Seira.

"Yaudah deh kalian lanjutin lagi makan siangnya. Maaf ya, ganggu waktunya sebentar. Owh ya, sekalian nanti ke undangan kamu ajak Airin juga, Khal. Mbak ke dalem dulu ya," ujarnya lagi, lantas bangkit meninggalkan kami.

"Maaf, Rin untuk yang barusan Mbak Seira bilang. Dia memang gitu orangnya. Jangan diambil hati." Setelah cukup lama terdiam. Dokter Khalil mengeluarkan suara. Aku yang tengah mengaduk sup yang sudah dingin langsung mengangguk.

"Nggak apa-apa, Dok. Saya tahu, ini cuma salah paham aja. Owh ya, saya undur pamit dulu. Sebentar lagi jam  waktu istirahatnya udah selesai. Saya duluan. Assalamu'alaikum, Dok."

"Ini makanannya sayang lho nggak dimakan?"

"Udah dimakan tadi, Dok," ucapku saat hendak melangkah ke depan.

"Biar saya yang bayar aja. Lagian gara-gara saya juga, waktu makan kamu keganggu."

Aku menggeleng. "Nggak usa--"

"Untuk kali ini, anggap saja saya traktir kamu juga sebagai permintaan maaf dari saya."

   Selesai mandi sore. Aku mengikat rambut, lantas melangkah ke dapur. Tampak Ayah tengah bercengkrama dengan Biera di ruang TV. Sedangkan Bi Ratih terlihat sibuk meletakkan mangkuk di atas meja. Begitu sesampainya di meja makan. Aku menggeser kursi, lalu duduk, meraih gelas yang kosong.

"Makanannya udah hangat, Neng. Mau Bibi bikinin teh manis?" Tawarnya saat ia kembali membawa dua piring, mengulurkannya padaku.

"Air putih anget aja, Bi. Owh ya, Bi. Aku mau nanya sesuatu tentang Biera."

Bi Ratih yang tengah mengucurkan air, melirikku sebentar, kemudian mengangguk. "Boleh atuh, Neng. Memangnya mau nanya apa?"

Aku menghela napas, meneguk air pemberian dari Bi Ratih untuk membasahi tenggorokan yang terasa kering.

"Bibi tahu sendiri mainan Biera di lemari sudah menumpuk penuh 'kan? Belum lagi tadi aku liat, ada satu kantung mainan baru lagi yang belum dibuka. Kok, rasanya aneh kalau Ayah beliin barang sebanyak itu. Terlebih keadaan kaki Ayah yang nggak memungkinkan untuk pergi ke mall lama-lama. Apa Bibi sendiri yang beliin mainan sebanyak itu atas perintah Ayah?"

Gesture gelisah dan gugup yang kutangkap dari wajahnya membuatku mengernyit terheran-heran. Bukannya menjawab pertanyaan, Bi Ratih malah terdiam, arah matanya lari ke mana-mana. Seolah tak berani membalas tatapan selidikan dariku.

"I-itu ... memang, umm, sebenarnya bib--"

"Aku harap Bibi mau jujur dan terbuka. Gimanapun aku berhak tahu apa pun yang menyangkut tentang aktivitas Biera dan Ayah. Termasuk masalah mainan yang sebenarnya aku ngerasa janggal dan aneh." Potongku seraya menggeser piring ke depanku.

Bi Ratih lagi-lagi terdiam.

Aku mendongak, menatap dalam kejujuran dari bola matanya. "Apa ada orang lain yang memberikan hadiah itu?"

"Bibi tahu konsekuensi kalau berani berbohong?" Sindirku berusaha mengorek kecurigaan.

"Mem ... memang itu pemberian dari orang lain," jawabnya yang membuat tubuhku seketika menegang dan terdiam sesaat.

Aku menelan ludah yang terasa tercekat di tenggorokan. Berusaha menyusun sepatah kata yang terasa sulit terucap.

"Bi-bi tahu ... Bibi tahu siapa orangnya?" Pada akhirnya kalimat ini lolos meluncur dari bibirku. Entah kenapa, beragam macam ketakutan kini membalut pikiranku.

"Apa seseorang itu sering berkunjung ke sini tanpa sepengetahuan aku?" tanyaku lagi dengan diiringi detak jantung berdebar.

Helaan napas terdengar dari rongga hidungnya. Mendapat rentetan pertanyaan dariku, Bi Ratih tak menutupi kegelisahannya. "Wajahnya nggak jelas karena kalau ke sini juga nggak turun, Neng. Palingan hanya Bapak yang nyamperin ke depan sambil gendong Neng Biera. Dan kalau dibilang sering, nggak juga. Jarang-jarang."

Aku menggeleng pelan. Menepis prasangka yang sudah bermuara di kepala.

"Bibi tahu siapa namanya? Atau mungkin, pernah denger nama itu dari Bapak?"

Bi Ratih menggeleng. "Bapak nggak pernah bilang."

Aku mendengkus. Menarik napas dalam-dalam. "Kalau gitu, apa Bi Ratih tahu warna mobil itu?" tanyaku lagi.

"Kalau itu Bibi tahu. Warna mobilnya itu putih, Neng."

KALI KEDUA (sekuel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang