6

66 14 1
                                    

Pernah berjanji untuk selalu percaya.  Pernah berjanji untuk tak saling pergi, meski sebesar badai yang 'kan menghantam saat tengah berlayar nanti. 
Pernah satu kali memberi kesempatan berharga untuk suatu bukti, tapi nyatanya semua hanyalah omong kosong dan tak pernah ditepati.

Setahun berlalu telah kulalui tanpa hadirnya. Terlalu banyak liku perjalanan pahit dan sulitnya menggapai satu keyakinan, untuk tetap berdiri di tengah lelahnya berjuang.

Andai saja aku tak berpegang teguh pada jalannya suatu takdir. Andai saja bukan karena Biera, andai saja tak ada Ayah di sisiku. Mungkin saja aku tak akan bisa sekuat ini. Mungkin saja aku bisa gila, hanya karena tak kuasa atas segala hantaman hebat yang telah kulalui di masa lalu.

Dan sekarang ... setelah apa yang terjadi kemarin lalu, pria yang kuanggap menjadi malaikat dalam hidupku. Pria yang kuanggap mampu memberi warna dalam kelabuku. Pria yang telah meluluh-lantakkan benteng hebat dalam diriku, nyatanya hanyalah ilusi saja.

Dia yang gagah berjalan ke arahku kini, tak ubahnya hanyalah seorang pecundang yang berani mengumbar kata manis daripada kata kerja.

Aku mengepalkan kedua tangan saat jarak kami hanya terbilang tiga langkah. Dadaku berdegup keras. Bukan-bukan karena aku gugup oleh bahagia, melainkan letupan  amarah yang kian membuncah. Kedua mataku memanas, hampir saja genangan dari bola mata ini siap bergulir di depannya, kalau saja Dr Khalil tak  datang tepat waktu, menyelamatkanku dari kerapuhan.

"Airin ... "

Mas El yang terkejut dengan panggilan Dr Khalil di belakang punggungnya, sontak langsung menoleh. Namun, hanya sekilas, karena kini pandangannya kembali memanahku lagi dengan sorot penuh curiga. Wajah yang memerah. Dan kedua tangannya mengepal, memang tak bisa ditutupi lagi, jika Mas El tengah diliputi cemburu.

"Sudah makan?" Dengan entengnya Dr Khalil tersenyum semringah. Bertanya, seraya berjalan santai ke arahku.

Seolah paham akan isyarat yang ditujukan padaku, aku mengangguk lemah, buru-buru mengusap sudut mata yang basah.

"Kita pulang?" Ajakan Dr Khalil membuatku mendongak dengan gelisah. Sementara Mas El  yang masih betah memaku dirinya di belakang kami, langsung bertindak dengan mensejajarkan diri dengan Dr Khalil.

Dia berdeham sesaat. Meraih jemariku tanpa izin, lalu melangkah lagi, menyamakan posisi denganku menghadap Dr Khalil.

"Siapa anda beraninya mengajak istri saya pulang? Lebih baik anda pergi. Atau jika tidak ingin wajah mulus anda bersimbah darah, hanya karena ulah tangan saya," usirnya dingin.

Kulihat Dr Khalil terkekeh pelan. "Sejak kapan anda menganggap dia istri? Karena setahu saya dan selama kami mengenal pun, sosok anda, sayangnya tidak pernah terlihat selama ini. Ah, saya lupa, bahkan anda adalah pusat daripada keterpurukan Airin selama ini." Sindir Dr Kahlil dengan tenangnya. Tanpa memperdulikan bagaimana reaksi pria di sebelahku.

Mendengar sindiran tajam Dr Khalil yang disematkan untuk Mas El, kupikir ia tak akan bertindak sejauh ini, mengusik kebenaran yang terjadi, namun sebenarnya diranah yang salah.

Mendengar itu, bisa kurasakan tautan jemari Mas El kini semakin menguat. Kulihat bibirnya mengatup, gerahamnya terdengar bergemelutuk. Memahami situasi yang semakin memanas. Belum lagi harus menahan malu karena menjadi pusat perhatian para tamu undangan. Aku berusaha melepas tautan jemari Mas El.

"Lepasin tangan aku, Mas!"

"Nggak akan!" Mas El bergumam pelan, menarik paksa lengan ini menuju luar.

Begitu sesampainya di parkiran. Aku menyentak kasar genggamannya hingga terlepas, lantas menatapnya tajam.

"Nggak usah berlaku semenanya sama aku dan ikut campur urusanku, Mas!"

"Kenapa? Kamu masih istri Mas. Mas berhak dong at-"

"Berhak? Atas apa? Atas semua yang udah Mas lakuin sama aku? Apa pantas Mas bilang gitu?" Sindirku yang membuatnya Terdiam memaku.

"Airin ... Mas minta maaf."

"Maaf?" Aku sontak terkekeh sinis.

"Setelah apa yang kamu lakuin sama aku selama ini? Maaf, Mas. Aku rasa maaf saja nggak pernah cukup menebus semuanya."

"Oke. Mas bisa jelasin semuanya."

"Nggak ada yang perlu dijelasin, Mas. Semua udah cukup untuk membuktikan segalanya. Dan aku nggak akan pernah percaya lagi, " tukasku sinis dan bersamaan itu  suara telepon dari dalam tas berdering.

Aku sontak mengusap pipi yang basah, lalu mengambil langkah menjauh untuk menerima telepon dari Bi Ratih.

"Waalaikumsalam. Kenapa Bi?"

"Neng Biera demam."

"Demam?" Aku menyipit mata tak percaya. Bukannya saat aku pergi, Biera baik-baik saja.

"Iya, Neng. Barusan Bibi udah kasih obat parasetamol, tapi demamnya belum turun. Mana Bapak nggak ada lagi."

"Memangnya Ayah ke mana?"

"Bapak ke Jakarta dijemput koleganya tadi abis Magrib."

"Yaudah, aku pulang sekarang, Bi. Udah itu Bibi siap-siap aja, kita bawa Biera ke klinik," ucapku lalu menutup sambungan telepon.

"Biera demam?" Suara Mas El terdengar khawatir dari belakang membuatku terkejut.

"Bukan urusan kamu!" Aku melangkah, namun Mas El menahan lenganku untuk tetap bergeming.

"Kita pulang sekarang. Gimana pun Mas adalah Ayah kandungnya. Kamu nggak berhak bicara begitu," tukasnya, lantas menarikku paksa menuju mobilnya.

Mobil yang dikemudi Mas El kini melaju membelah jalanan meninggalkan hotel. Aku duduk gelisah, seraya menatap jajaran pohon di tengah sunyinya malam yang terasa kelam. Aku meremat jemariku, rasanya tak sabar ingin segera melihat keadaan Biera sekarang. Baru kali ini, saat aku tengah tak ada, Biera jatuh sakit.

Aku tak bisa lagi mengelak atau menyembunyikan Biera di depan Mas El. Karena semuanya sudah terlanjur tahu, untuk sementara, aku memang harus mengenyampingkan ego dan amarahku demi Biera yang tengah berjuang di tengah sakitnya.

Begitu sesampainya di depan rumah. Aku turun, berlari kecil menuju rumah. Tampak Bi Ratih sudah berada di ambang pintu dengan Biera dalam dekapannya.

"Keadaan Biera gimana?" tanyaku, lantas meraup tubuh mungilnya yang terasa panas, lalu membawanya ke dalam.

"Udah sedikit mendingan. Tadi Bibi balurin minyak sama tumbukan bawang merah."

Aku mengecup pucuk kepalanya, mengelus punggungnya naik-turun. "Bi, udah siapin susu buat Biera?"

"Sudah, Neng. Tinggal diambil."

"Kita ke rumah sakit sekarang?" Mas El yang berada di ambang pintu langsung mengemukakan pendapat, menatap Bi Ratih yang tampak terkejut, lalu melirik ke arahku.

Aku mengangguk lemah. Meskipun demamnya sudah reda, tapi perasaan khawatir masih tetap saja melayang di kepala. Aku harus memastikan semua aman dan mencari sebab, asal muasal demamnya dari mana.

___

    "Kamu tidur aja. Biar Mas yang gendong Biera." Kurasakan langkah Mas El berjalan ke arah kasur, di mana aku tengah duduk, menggendong Biera dalam pelukan.

"Nggak usah. aku udah biasa kayak gini dari dulu. Jadi lebih baik Mas pulang aja. Lagipula nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Mas sendiri juga tahu 'kan, keadaan Biera kata Dokter baik-baik aja." Aku berusaha acuh, tak memperdulikan keberadaannya sejak tadi. Dan lucunya, seberapa kali  dijudesin, Mas El seolah menyabarkan diri untuk tak kebal dengan sikapku ini.

Kesal karena tak digubris, aku menoleh dengan tatapan tak suka. "Ini udah malam. Sebaiknya Mas pulang!"

Bukannya peka dengan perintah dariku, Mas El memilih membanting tubuhnya di kursi, melipat kedua tangan di dadanya seraya tersenyum tipis.

"Sayangnya keinginan kamu nggak akan Mas penuhi," jawabnya enteng lantas berdeham.

"Mas akan tidur di sini." Sambungnya lagi yang membuat kedua bola mataku melebar tak percaya.

KALI KEDUA (sekuel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang