Please vote before reading! Thank you
Happy reading___________________________
"Apa yang akan kamu katakan, sampai harus mengajak kita semua kemari?” Helz bertanya sembari menatap sekeliling loteng yang sedikit berantakan oleh tumpukan barang yang tidak terpakai yang nyaris memenuhi seluruh ruangan, menyisakan sedikit area yang kosong.“Tidak apa, aku hanya mau kita tidur bersama disini,” sahut Juloan mulai menyingkirkan beberapa barang ke pinggir ruangan agar memperluas area yang kosong. Sebenarnya tidak disingkirkan pun tempatnya sudah cukup untuk 7 oran
g, tapi setelah tahu bagaimana Sion tidur Juloan sedikit berinisiatif memperluas tempatnya.Celetuk Jean, memelototi Juloan “Setelah semua yang terjadi?”
Sejenak Juloan menghela napas, lantas berujar, “Apa yang salah? Ini menyenangkan kok, soal yang kemarin lupakan saja. Ingat mengenang trauma bukan hal yang perlu untuk diterapkan apa lagi dipertahankan, terus terpaku pada hal yang mengganggu hanya akan menghalangi saja. Menyedihkan memang kalau terus di ingat.”
Setelah mendengar semua kalimat Juloan, semua langsung menganga diiringi tepuk tangan pelan. Kecuali Jean, dia malah bolak-balik melihat Juloan dan Helz, bergantian. Tiba-tiba menepuk pundak Helz.
“Kak Helz, apa kamu sedang membagi jiwa mu?” tanya Jean menatap Helz intens.
Mendengar itu, Helz mengangkat satu alisnya, menatap Jean bingung, “Hah?”
“Dengar? Tiba-tiba saja dia berbicara sepertimu?” tambah Jean sambil menunjuk Juloan.
Sejenak Helz terkekeh, lalu menggelengkan kepalanya. “Bagus kan kalau cepat paham,” ujar Helz kemudian.
Jean beralih melihat ke Juloan. Kemudian berganti menatap lainnya, lantas bertanya, “Kalian setuju?”
“Aku setuju saja, karena itu terdengar masuk akal,” sahut Jave mengangguk-angguk, begitu juga dengan Sloan, dia juga ikut setuju.
“Aku hanya ikut saja,” ujar Riven, dia terlihat tidak terlalu peduli dengan semua percakapan yang dia dengar.
“Jangan tanya aku, aku sendiri bingung,” sahut Sion, menggelengkan kepalanya sambil mengayunkan tangannya.
“Dasar,” gerutu Jean kemudian menghela napas.
“Kak Jean kalau kalah bilang saja,” ejek Juloan, terlihat puas melihat Jean tampak kalah suara.
Jean pun mengernyitkan dahi lalu bergerak mengunci leher Juloan. “Apa tadi kata mu, hah?” geramnya.
“Lepas kak, sesak tahu,” Julaon mengerang sambil menahan tangan Jean agar tidak terlalu mencekik lehernya. Namun Jean dengan sengaja memperkuat kuncian nya, membuat Juloan berlagak seperti orang yang kehabisan napas alias pingsan.
KAMU SEDANG MEMBACA
✓INSIDE HOUSE 【 Open PO 】
HorrorTerbit melalui event Pensi TEORI KATA PUBLISHING Vol 14. Kisah dimulai dengan kehidupan ketujuh laki-laki yang tinggal bersama seorang wanita tua bernama Lenny, disebuah rumah kecil sederhana, sebelum akhirnya tinggal di panti asuhan bersama Ethel...