Please vote before reading! Thank you
Happy reading___________________________
Di depan kelas Rein sedang menggambarkan sebuah bangun yang berdiri di tengah-tengah padang rumput serta beberapa orang di sekitar bangunan itu, di papan tulis. Di bawah gambar itu Rein menambah 5 pertanyaan.
1. Apa yang kamu lihat?
2. Ada apa saja di sana?
3. Adakah yang tidak ada di sana?
4. Berapa orang yang berada di sana?
5. Dan, kenapa di sekitar sana hanya ada satu bangunan?Setelah selesai menulis pertanyaan itu, Rein langsung duduk di kursinya. Mengetuk-ngetuk meja dengan sebuah tongkat kayu yang ramping dengan ujung yang tumpul, lalu menunjuk ke papan tulis.
"Sekarang jawab semua semua pertanyaan itu di selembar kertas kemudian kumpulkan di meja ini," ujarnya latang memenuhi seisi kelas.
Helz, Jave, Sion, Sloan, dan Jean serentak mengangguk dan mulai menuliskan 5 pertanyaan itu di selembar kertas di atas meja mereka. Sementara Riven hanya mencoret-coret asal kertas di mejanya itu, dan Juloan malah tertidur di meja dengan melipat kedua tangan sebagai bantalan kepalanya, mereka terlihat tidak memperhatikan apa yang didepan.
Sion yang duduk di antara Juloan dan Riven di bangku belakang, menepuk pundak mereka, menyadarkan mereka.
Juloan pun langsung bangun lalu mengusap-usap matanya. Sejenak melihat ke papan tulis lalu mengangguk-angguk "Hanya itu? Lima detik saja tentu sudah selesai,"gumam Juloan diiringi erangan pelan. Mulai mengerjakan apa yang di tulis di papan tulis.
Sementara Riven dibuat tersentak, celingak-celinguk panik dan hendak berteriak, beruntung Sion langsung membungkam mulutnya dan mulai memberitakan sesuatu, "Cepat kerjakan itu lalu dikumpulkan," ujar Sion sejenak, lalu kembali fokus mengerjakan.
Riven langsung menyipitkan matanya, melihat ke papan tulis itu sambil mencolek-colek lengan Sion. Kemudian bertanya, "Apa aku boleh melihat punya mu?"
Mendengar itu Sion langsung menyerong ke kiri menghadap Juloan, mencoba mengabaikannya, dia tidak mau lagi berurusan dengan Riven yang selalu saja meminta jawaban dengan alasan melihatnya saja.
"Ayolah Sion, ya..."
"Panggil aku, kak, dasar tidak tahu diri. Kebiasaan sekali kamu memanggil ku langsung dengan nama."
"Ahh, padahal Juloan seperti itu dan kamu tidak keberatan, kenapa aku tidak?"
"Kerjakan saja punyamu itu!"
Lima detik berjalan, sesuai yang Juloan katakan kalau itu akan selesai dalam 5 detik. Dia pun langsung berdiri dan segera mengumpulkan lembaran kertas miliknya itu. Seketika semua mata tertuju padanya, mata-mata tabjuk dengan mulut terbuka-menganga lebar.
Juloan segera menyadari itu, balas menatap dengan satu alis terangkat. Lantas berujar, "Apa? Kenapa kalian memandangku seolah sedang kaget dengan pertanyaan yang sulit, hah? Dari semua ini apa yang sulit, isinya bahkan tidak jauh dari kita semua. Mulai dari gambarnya, jumlah orang, dan bayangan, hanya itu. Keterlaluan memang kalau tidak bisa menjawabnya."
Kemudian Juloan kembali ke tempatnya, lanjutkan tidurnya di sana. Setelah diingat apa yang membuatnya tertidur di kelas itu karena rencana konyolnya semalam, sengaja begadang demi memastikan kepastian dari ucapannya sendiri.
Beberapa saat setelah Juloan mengatakan itu, Jave menyusul menyelesaikan miliknya dan langsung berdiri mengumpulkan itu. Kelamaan, satu persatu mulai menyusul menyelesaikan miliknya masing-masing. Berakhir di Riven yang terakhir mengumpulkan lembaran miliknya.
Setelah ketujuh lebaran kertas itu terkumpul di atas meja. Rein menyempatkan diri untuk melihat-lihat setiap isi dari lembaran kertas itu membacanya sekilas sebelum akhirnya menutup jamnya.
"Kalian semua bisa keluar sekarang," ujar Rein sambil menghentakkan lembaran kertas itu kemudian melangkah keluar dari kelas.
"Terimakasih Miss Rein," ujar keenam laki-laki itu serentak, kecuali Juloan.
Setelah jam berakhir, helaan napas panjang terhembus. Sepanjang mengerjakan itu, semua nyaris tidak bernapas demi menjaga fokus dan kesunyian di sana. Satu persatu mulai meninggalkan kelas, hingga menyisakan Jave dan Juloan.
Sebelum akhirnya Jave meninggal kelas, dia selalu menyempatkan untuk menghapus papan tulis itu dan dilanjut dengan merapikan meja guru. Ditengah kesibukannya dia menyadari Juloan yang masih duduk di tempatnya. Sejenak dia memandangi dan perlahan melangkah menghampiri laki-laki itu.
"Tampaknya kamu kurang tidur, Juloan," tanya Jave duduk di kursi sebelah Juloan.
"Bukan apa-apa..." sahut Juloan mengangkat kepalanya, lalu mengusap matanya.
Tangan Jave terangkat, mengelus puncak kepala Juloan. "Hanya dugaan ku saja atau kamu memang sengaja tidak tidur semalam, kalau kamu tidak keberatan memberitahu aku. Sekarang coba katakan," ujarnya kemudian.
Sejenak Juloan menghela nafas panjang, matanya yang sayu terus menatap Jave datar. Menyandarkan punggung pada kursi dan berujar, "Memang tidak bisa kalau mau menyembunyikan sesuatu dari mu, kak, kamu selalu bisa menebak apapun secara akurat, kurasa yang lain tidak ada yang sadar dengan ini. Karena aku mempercayaimu aku tidak akan keberatan mengatakannya, tapi sebelum itu pasti disini tidak ada siapa-siapa."
Sejenak Jave memperhatikan sekelilingnya, hingga keluar kelas, lalu menggeleng-geleng. "Disini memang tidak ada siapa-siapa, Juloan, hanya aku dan kamu. Aku senang kamu mempercayai aku melebihi siapapun," ujung bibirnya melengkung ke atas.
"Dibanding dirimu aku lebih mempercayai Own sepenuhnya. Itu karena aku lebih suka membicarakan apapun saat di kamar, dan juga aku tidak suka ada orang yang masuk ke kamar ku, satu-satunya yang ada di kamar ku hanya Own," ungkap Juloan terus terang. Mengalihkan pandangannya dari Jave, berharap dia tidak merasa malu setelah mendengar ucapannya.
"Astaga, aku terlalu percaya diri," ujar Jave tertawa getir sambil menggaruk tengkuknya. Tanpa sadar wajahnya memerah, kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya berharap langsung bisa melupakan itu.
"Apa kamu bisa mengatakannya sekarang?"
---------- To be continued ----------
25 . 10 . 24
KAMU SEDANG MEMBACA
✓INSIDE HOUSE 【 Open PO 】
TerrorTerbit melalui event Pensi TEORI KATA PUBLISHING Vol 14. Kisah dimulai dengan kehidupan ketujuh laki-laki yang tinggal bersama seorang wanita tua bernama Lenny, disebuah rumah kecil sederhana, sebelum akhirnya tinggal di panti asuhan bersama Ethel...