【 10 - A FEW YEARS AGO 】

66 31 19
                                    

Please vote before reading! Thank you
Happy reading

Please vote before reading! Thank you Happy reading

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

___________________________

Aku pun mengangguk, lalu kami berdua menuruni tangga bersama langkah demi langkah. Sesampainya di bawah, kami berhenti di depan sebuah pintu yang diterangi lentera di atasnya. Tanpa berbasa-basi, kak Helz langsung membuka pintu itu dan kami berdua segera masuk kesana.

Di dalam, semua sudah ada disana, kak Jean, kak Jave, kak Sloan, Sion, Riven, dan juga mama, duduk melingkar diatas tikar, menyisakan dua tempat yang jelas untukku dan kak Helz. Sementara mama duduk di kursi, berada di sisi Utara.

Saat itu, kita semua masih kecil. Kak Helz

Saat kami hendak menghampiri, semua mata langsung tertuju kepada ku dan kak Helz, menatap heran. Mungkin bertanya-tanya kenapa kami berdua sangat lama. Kemudian berbalik fokus pada mama.

Kak Jave masih terus menatap lekat ke arah kami, tepatnya ke arah ku. Kemudian dia menyadari ada yang salah dengan ku dan langsung berdiri menghampiri kami, membantu kak Helz memapah ku.

Kami pun berjalan ke kumpulan itu lebih cepat dari sebelumnya. Langsung duduk berdampingan diantara mereka semua. Pandangan ku beralih pada kak Helz, dia terlihat sedang Meregangkan tangan dan bahunya, tampak sekali kalau dia lelah memapah ku dari atas tangga sampai turun kebawah.

“Maaf, kak,” lirihku sambil menundukkan kepala dan juga aku merubah posisi ku jadi duduk selonjoran.

“Kenapa? Justru malah aku yang salah, seharusnya aku tidak menarik mu,” ujar kak Helz sambil menepuk-nepuk pundak ku.

Tiba-tiba, mama bertepuk tangan sekali, meminta kami semua untuk diam. Tentu saja kamu langsung diam dan fokus melihat ke arahnya. Mama pun tersenyum sendu, menatap kami semua secara bergantian.

“Aku senang kalian semua datang kemari menemui ku dalam pertemuan kali ini. Ada hal yang ingin ku sampaikan tentang… nyonya Lenny,” ujarnya kemudian.

Kami semua saling menatap satu sama lain bergantian, saling bertanya-tanya. Mama pun menempelkan jari telunjuknya ke bibir diselingi desisan pelan.

“Nyonya Lenny ingin menemui kalian semua. Tapi sebelum itu aku ingin kalian memasuki peti ini,” lanjut mama, menunjuk sebuah peti kayu berwarna coklat kehitaman dengan tinggi… kira-kira sepuluh centi diatas ku dan diposisikan berdiri.

Melihat itu, jelas kami semua langsung melongo menatap peti itu. Tapi aku malah bingung, apa hubungannya peti itu dengan nenek? Dan bagaimana pula nenek menyampaikan keinginannya untuk bertemu kami semua disaat dirinya sudah benar-benar tiada? Apa mama mengarangnya?

“Mama, apa yang akan terjadi saat kita masuk kedalam peti itu? Dan juga apa kita perlu berbaring?”

Pertanyaan kak Jave membuat ku lega, itu memang membingungkan. Takutnya kalo berbaring tiba-tiba aku yang dikubur dengan peti itu. Kenapa aku tidak kepikiran untuk bertanya dan malah lebih memilih bingung sendiri.

Aku melihat mama menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian menjawab, “ Tentu saja iya, Jave sayang. Kalian tidak perlu berbaring di dalam peti itu, cukup berdiri saja. Kalian juga bisa masuk ke peti ini bersamaan, meskipun kelihatannya hanya cukup satu tapi sebenarnya bagian dalam peti ini jauh lebih luas daripada yang kalian kira.”

Aku, kak Helz, kak Jean, kak Jave, kak Sloan, Sion, dan Riven berada di ruang makan, tengah menikmati makan siang kami

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku, kak Helz, kak Jean, kak Jave, kak Sloan, Sion, dan Riven berada di ruang makan, tengah menikmati makan siang kami. Ditengah-tengah kegiatan, tiba-tiba kak Jave nyeletuk, “Apa yang kalian lihat?” Kemudian memasukkan sesuap potongan daging.

“Tunggu! Apa?” aku membatin, mengernyitkan dahi. Aku heran karena tidak ada apapun yang bisa aku lihat saat itu. Kemudian pandanganku langsung beralih ke Riven. Tiba-tiba saja dia memukul meja.

“Aku dulu! Tadi aku melihat nenek sedang duduk bersantai sambil minum secangkir kopi, di tempat yang sangat indah. Aku tidak bisa menjelaskan itu seperti apa,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

“Apa mengesankan itu?” aku membatin lagi. Aku tidak akan mengatakannya sampai aku mendengar yang lain mengatakannya juga. Pandanganku langsung berpindah ke kak Jean yang tiba-tiba menyahuti.

“Bagaimana kamu tahu nenek sedang minum kopi,” tanya nya, lalu meneguk segelas air hingga tandas.

“Jelas dari aromanya lah, aku jadi tahu karena kak Helz selalu diam-diam membuatnya dulu. Padahal sudah dilarang,” balas Riven menekan kalimat terakhirnya. Langsung ditatap tajam oleh kak Helz. Lalu dia beralih melihat ke arah ku, tersenyum simpul.

“Apa yang tadi kamu lihat, Juloan?”

Tiba-tiba aku tersedak, memukul-mukul dada ku kemudian meraih segelas air dengan asal tidak peduli itu punya siapa, meneguknya dengan cepat hingga tandas. Kemudian menjawab, “Tidak ada.”

Mendengar itu semua langsung melotot ke arah ku, mengernyitkan dahinya. Kemudian kak Jave bertanya, “Kamu bercanda?”

Aku menggeleng cepat. Mau apa lagi kalau kenyataannya hanya itu?

---------- To be continued ----------

---------- To be continued ----------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

16 . 10 . 24

✓INSIDE HOUSE 【 Open PO 】Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang