Halo guys, aku balik lagi
Sapaan ini sebatas merayakan diriku yang sudah menulis sampai bab 20-an, yeee ngga juga tapi.Aku ada bilang mau kasih sesuatu tapi sebelum itu, baca dan vote ya. Terimakasih.
___________________________
Helz mengerjapkan matanya berkali-kali perlahan, bola mata berputar kesana kemari memastikan keberadaan sekaligus mencoba mengingat sesuatu. Lama-lama dilihat, dia menyadari kalau dirinya sedang tidak berada di kamarnya, namun berada di ruangan yang rasanya baru semalam dia datangi.
Helz mencoba mengerjakan badannya, namun ada sesuatu yang menahannya untuk bergerak, perlahan mencoba melihat badannya yang berbaring terlentang di atas sebuah papan kayu.
Matanya mendelik mengetahui badannya terikat sebuah tali di bagian pergelangan tangan, pergelangan kaki, serta pinggangnya. Lalu dia menggerakkan badannya karena berpikir tali itu tidak benar-benar terikat. Namun kenyataannya tali itu terikat begitu kuat dan akan semakin kuat saat apa yang terikat itu bergerak.
Helz berteriak, tak henti-hentinya bergerak terus berusaha melepaskan dirinya dengan kuat begitu juga dengan talinya.
"Siapapun tolong aku! Apa yang sebenarnya terjadi? Ayo siapapun jawab aku!!," pekiknya masih bergerak, matanya berputar dari sudut ke sudut mencari keberadaan seseorang yang diharapkan untuk datang dan menolong. Tak sadar giginya menggeretak kuat di selingi erangan pelan, pergelangan tangan, kaki serta pinggangnya seolah dibuat menyusut oleh tali itu.
Suara tawa yang tak asing terdengar pun menggema kembali memekakkan telinga. Kali ini Helz berfokus menggerakkan kedua tangan untuk bisa menutup kedua telinganya agar tidak lagi mendengar suara tawa menyebalkan itu, namun hasilnya masih sama bukan sebuah kebebasan yang didapat justru kesengsaraan. Tali di pergelangan tangan itu menguat hingga Helz seolah merasa tangannya itu hendak putus.
Beberapa saat suara tawa itu perlahan terdengar samar kemudian berangsur tidak lagi terdengar. Saat itu juga Helz langsung bernapas lega dan akhirnya juga berhenti bergerak-gerak paksa seperti tadi. Napasnya tersengal-sengal, keringat bercucuran di sekujur tubuhnya-membuat pakaiannya terlihat basah, dadanya naik turun, tanpa sadar tali-tali yang tadi mengikatnya perlahan melonggar bahkan terlepas dengan sendirinya. Saking tidak sadarnya Helz mengelap keringat di dahi dengan lengan kanan
Tangan kirinya terangkat kemudian...
...
Bugh!
"Aaaarrg!!" pekik Helz mengerang kuat bangkit dari tidurnya, lalu mengelus-elus batang hidungnya yang entah bagaimana ceritanya ditinju oleh tangannya sendiri.
"Oh, tunggu? Itu barusan mimpi? Apa yang terjadi? Aku ada di kamar dan juga di atas kasurku? Aku? Aku?" Helz meraba-raba tubuhnya sambil sedikit menepuk-nepuk kedua pipinya nya. Beralih menatap cermin di sisi kirinya-memperlihatkan dirinya yang berantakan dengan piyama putih melekat di tubuhnya dan juga rambut hitam menjabrik tak karuan-dan bernapas lega, lalu kembali membaringkan punggungnya.
Helz mengangkat tangan kiri dan menatapnya datar, kemudian mengayunkan tangannya hingga jatuh menepuk pipinya.
Helz mengerang lantas berujar penuh tanya, "Ini sakit, syukurlah tadi hanya mimpi. Kapan ya terakhir kali aku berjalan kemari?" sambil menatap langit-langit kamarnya yang gelap.

Beberapa jam yang lalu...
Helz menuruni tangga memasuki ruangan bawah tanah itu dan menemui Ray dan Rey seperti yang Ethel katakan.
"Helz, aku senang kamu datang," sambut Ray menepuk-nepuk pundak laki-laki itu.
Helz hanya bisa tersenyum terkekeh kecil tak sadar wajahnya memerah, lalu bertanya demi mengusir perasaannya itu, "Sebenarnya ada apa di sini?"
Ray tidak menjawab sementara Rey, menarik tangan lengan Helz membawanya menghadap sebuah meja yang diatasnya terdapat sebuah gelas berukuran segenggam tangan berbentuk balok dengan sudut tumpul di setiap sisinya, berisi air berwarna biru menyala.
Seketika alis Helz sedikit berkerut, bertanya-tanya. Beralih memandangi Ray dan Rey bergantian. "Itu apa?" Tanyanya kemudian.
Rey meraih gelas itu dan langsung menyerahkan kepada Helz, tersenyum cerah tanpa mengatakan apapun tentang isi gelas itu. Dengan tangan sedikit bergetar Helz menerima gelas itu, namun Ray mengambil alih gelas itu dan langsung mendekatkan ujung gelas itu pada bibir laki-laki itu.
Helz sedikit menjauhkan wajahnya pada gelas itu, menatap ragu kedua wanita di sebelahnya.
"Ayolah Helz, habis kan," bujuk Ray terus mendekatkan gelas itu pada bibir Helz.
Helz menggeleng cepat, terus menghindar. Rasanya hendak kabur namun kedua wanita itu terus menggandeng lengannya dibuat terdesak, bahkan pikirannya jadi buntu karena situasi ini.
Pada akhirnya Helz pasrah dengan perlakuan kedua wanita itu. Mengambil alih gelas itu dari tangan Ray, lantas meminumnya hingga tandas. Sejenak terdiam mengerutkan alisnya mencoba mencerna rasa dari air berwarna biru menyala itu. Wujud air itu terlihat seperti air pada umumnya, namun saat diminum entah bagaimana malah langsung hilang mengudara-menguap.
"Tidak ada yang salah, kan, dari awal memang seperti itu," ujar Rey tersenyum simpul. Matanya sedikit menyipit.
Mendengar itu membuat Helz tersenyum canggung, lantas berpamitan, "Hanya untuk ini saja kan aku diminta kemari, kalau iya aku akan pergi sekarang. Aku khawatir mereka mencari saat giliran ku di periksa." Kemudian berlari ke arah pintu segera menaiki anak tangga menuju ke ruang 099.
---------- To be continued ----------
05 . 11 . 24
Gimana guys, sudah baca?
Aku senang kalian udah mengikuti ini sampai disini, ada kabar baik untuk diriku dan juga kalian semua. Tapi sebelum itu kalian bisa mampir ke profil dan cek link yang ada di bio, pilih opsi saluran WhatsApp.
Kenapa aku mengarah kan kalian kesana? Karena aku menaruh semua hal tersebut informasi terpenting di sana. Ku harap segera join biar tidak ketinggalan kabar seputar cerita ini berikutnya.
Makasih semua, sinih kumpul peluk jauh.
(Alah lebay, tapi gapapa)
KAMU SEDANG MEMBACA
✓INSIDE HOUSE 【 Open PO 】
HorrorTerbit melalui event Pensi TEORI KATA PUBLISHING Vol 14. Kisah dimulai dengan kehidupan ketujuh laki-laki yang tinggal bersama seorang wanita tua bernama Lenny, disebuah rumah kecil sederhana, sebelum akhirnya tinggal di panti asuhan bersama Ethel...